• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Academic Profile

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: reformasi

Menunggu Angin Perubahan di Malaysia

10 Saturday Oct 2015

Posted by Setiawan in Asian Affairs

≈ Leave a comment

Tags

Malaysia, politik, reformasi

Oleh Asep Setiawan

UNJUK rasa yang diklaim melibatkan lebih dari 100 ribu orang di Kuala Lumpur akhir Agustus lalu tergolong langka. Meskipun banyak dituduh sebagai bagian dari aksi kubu oposisi, pengerahan massa dalam jumlah besar itu memiliki makna lebih luas. Peristiwa ini langka karena di Malaysia unjuk rasa bisa berujung penjara akibat ketatnya Akta Keselamatan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA).

Kehadiran mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad menambah bobot dari urgensi pesan yang disampaikan para pengunjuk rasa. Dengan mengusung demo Bersih 4.0, pesan dan sasarannya jelas. Massa menginginkan perubahan segera setelah terungkap adanya aliran dana ratusan juta dolar AS ke rekening pribadi PM Malaysia Najib Razak. Mereka menuntut empat hal; 1) Pemilu yang bersih, 2) Pemerintah yang bersih, 3) Penyelamatan ekonomi Malaysia, dan 4) Hak membantah (berpendapat).

Kini tinggal menunggu waktu ke mana arah angin perubahan di Malaysia. Apakah akan berujung pada pemakzulan PM Najib atau pada pemilu yang dipercepat. Bisa juga desakan perubahan ini akan berimbas kepada tubuh UMNO di tengah semakin kuatnya kelompok oposisi di parlemen. Setidaknya kasus ini telah memakan korban di tingkat elite, dengan dipecatnya Deputi PM Muhyiddin Yassin dan Jaksa Agung Abdul Gani Patail. Najib juga memecat Shafie Adpal dari jabatan menteri pembangunan perdesaan.

Selama dua dekade PM Mahathir Mohamad berkuasa, 1981-2003, salah satu bentuk pengekangan yang dipeliharanya untuk menstabilkan politik dan memelihara kelanjutan pembangunan ekonomi ialah ISA. Sikap Mahathir yang keras terhadap politik dalam negeri Malaysia ini diikuti oleh suksesornya yakni Abdullah Badawi dan kemudian Najib Razak. Kini, dengan kasus Najib, sebagian masyarakat berharap akan ada perubahan politik.

Tidak kurang pakar politik dari Australia, Harold Crouch (1992), menyebut pemerintah Malaysia sebagai semiautoritarian. Pakar lainnya, William Case (1993), memberi label semidemokrasi. Adapun pakar di Malaysia, Zakaria Haji Ahmad (1989), menilai Malaysia sebagai negara demokrasi semu. Mantan Ketua Wanita UMNO Dr Siti Zaharah menyebut Malaysia menganut apa yang dinamakan ‘pemerintahan yang kuat’.

Reformasi iklim politik
Gerakan reformasi di Indonesia pada 1998 memberi inspirasi kepada negeri jiran tersebut untuk meniru. Saat itu, Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim menjadi korban politik setelah dipecat oleh Mahathir. Anwar sejak itu menyuarakan gerakan reformasi di Malaysia.

Menurut Prof Dr Shamsul Amri Baharudin dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), ada perbedaan besar antara model kepemimpinan Anwar dan Mahathir. Setelah ada gerakan reformasi di Indonesia, perbedaan itu semakin kentara. Mahathir, kata Shamsul, mendasarkan model kepemimpinannya kepada kewirausahaan. Semua pesan dan tekanan Mahathir adalah membangkitkan sikap-sikap entrepreneur terutama etnik Melayu di Malaysia. Adapun Anwar Ibrahim, kata Syamsul, menekankan model kepemimpinan apa yang disebut keadilan sosial. Anwar dalam pesan-pesannya selalu menekankan kepada keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Malaysia terutama juga etnik Melayu.

Dengan penekanan akan keadilan sosial itulah, Anwar memperjuangkan perubahan dalam demokrasi di Malaysia yang berdasarkan pada pembagian etnik. Politik Malaysia tidak bisa lepas dari politik aliran, politik berdasarkan garis etnik. Ada parpol berbasis Melayu seperti United Malays National Organization (UMNO), berbasis Tionghoa seperti Malaysian Chinese Association (MCA), dan berbasis etnik keturunan India dalam Malaysian Indian Congress (MIC). Sejauh ini perjuangan Anwar baru melahirkan Partai Keadilan Nasional yang semakin besar dan melibatkan multietnik sehingga namanya berubah menjadi Partai Keadilan Rakyat.

Di parlemen Malaysia, hasil pemilu 2013 gabungan kekuatan oposisi sudah mencapai 89 kursi, sedangkan koalisi berkuasa Barisan Nasional merebut 133 kursi parlemen. Bandingkan dengan 2008, ketika koalisi berkuasa yakni MCA, MIC, dan UMNO, menguasai 140 kursi. Suara oposisi semakin lama semakin kuat, tetapi belum menentukan. Mereka yang berada di luar pemerintah bersatu untuk menggugat kepemimpinan Najib.

Angin perubahan
Dengan modal sekitar 40% kursi di parlemen, kubu oposisi menggunakan momentum tuduhan korupsi terhadap Najib sebagai pemicu untuk mendorong reformasi di Malaysia. Angin perubahan ini masih akan berproses karena sangat tergantung beberapa hal. Antara lain, seberapa besar tekanan yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Najib terhadap para pengikut oposisi. Sudah ada tanda-tanda para pendukung unjuk rasa diperiksa dan ditanya motifnya. Bahkan terhadap Mahathir juga sudah ada indikasi untuk diperiksa.

Kedua, bagaimana kelanjutan pengungkapan dugaan aliran uang ke rekening Najib bisa meyakinkan publik bahwa ada masalah dengan dana tersebut. Kecaman terhadap Najib itu berawal dari laporan surat kabar Wall Street Journal tentang adanya aliran dana US$700 juta (hampir Rp10 triliun) ke rekening pribadinya dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah lembaga yang dibentuknya pada 2009 dengan tujuan membuat Kuala Lumpur menjadi pusat keuangan.

Ketiga, sebenarnya kehadiran Mahathir mendukung pengusutan kasus ini dan mendorong PM Najib mempertanggungjawabkan aliran dana ke rekeningnya. Namun, Mahathir tidak lagi banyak pe­ngaruhnya. Keempat, sejauh ini jika melihat fenomena monumental unjuk rasa besar seperti terjadi titik temu antara Mahathir dan para pendukung Anwar Ibrahim. Bahkan istri Anwar, Wan Azizah, melakukan orasi di tengah unjuk rasa yang mengecam Najib.

Berbeda dengan Indonesia yang ada dukungan kelas menengah dan sebagian kalangan militer, desakan perubahan di Malaysia kurang mendapat respons kelas menengah yang sudah menikmati kue pembangunan. Dalam istilah di Malaysia, jika warga sudah puas dengan ekonomi, tidak ada pemicu untuk terjadinya perubahan fundamental. Di sinilah uniknya Malaysia. Ada pendapat kuat bahwa kemakmuran ekonomi menyebabkan warga Malaysia enggan mempertanyakan isu-isu politik termasuk soal korupsi di tingkat elite. Kubu oposisi masih bisa menggalang kekuatan opini, tetapi Najib dkk tidak akan tinggal diam. Bisa saja dalam perkembangan selanjutnya, Najib masih akan mempertahankan posisinya meskipun di tubuh UMNO jelas sudah ada sikap yang berbeda. Pemecatan Muhyiddin Yassin menjadi bukti.

 

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/15198/Menunggu-Angin-Perubahan-Baru-di-Malaysia/2015/09/09

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

Gejolak menuju transisi di Mesir

19 Saturday Feb 2011

Posted by Setiawan in Archive, Blog, Hubungan Internasional

≈ Leave a comment

Tags

mesir, militer, reformasi, Revolusi

Pengantar: artikel ini dikirim ke sebuah media cetak di Indonesia 28 Januari 2011 tetapi tampaknya tidak dimuat. Skenario dalam artikel ini tampaknya mendekati kenyataan bahwa militer Mesir kini berkuasa. What next dengan militer nanti saya coba uraikan lagi dalam tulisan lain. Terimakasih

Gejolak menuju transisi di Mesir
Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia merupakan kelanjutan dari desakan untuk terjadinya pergantian kepemimpinan. Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad.
Tidak seperti di Tunisia yang akhirnya Presiden Zine el Abedine Ben Ali tergulingkan setelah berbulan-bulan unjuk rasa dipicu oleh pengangguran dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Mesir memiliki karakteristik berbeda. Bahkan jika terjadi perubahan pun gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta.
Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi.
Transisi
Tanda-tanda bahwa transisi politik sedang diupayakan oleh elit dari keluarga Mubarak yang berusia 82 tahun terhadap anaknya Jamal Mubarak. Husni Mubarak sudah diketahui belakangan ini mengidap berbagai masalah kesehatan. Dan anaknya yang berusia 47 tahun sudah dibesarkan untuk menggantikan dia seperti berlangsung di Suriah. Namun jelas tidak mudah merekayasa pergantian dalam sebuah negara sebesar Mesir.
Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler  maupun Islam.
Satu hal lain yang menyulitkan masa transisi di Mesir adalah situasi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis finansial dan tingginya harga pangan. Rakyat Mesir merasakan sekali terutama kalangan bawah dan menengah bawah bagaimana biaya hidup semakin hari semakin berat sementara sebagian elit menikmati kemakmuran.
Sementara itu meski pemerinah menyatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, tinginya investasi asing dan merupakan pasar menarik bagi asing namun kalangan oposisi dan pegiat Islam menuduh tingginya korupsi, ketidakmampuan para pejabat dan jurang kaya-miskin yang lebar.
Dalam sebuah pertemuan tahunan Partai Demokratik Nasional Jamal Mubarak yang memang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis menyatakan perlunya tindakan cepat agar pertumbuhan antara 7-8 persen dengan pembangunan infrastruktur tahun 2011 ini. Namun liberalisasi ekonomi Mesir ini sering dicurigai oleh sebagian pihak hanya memperkaya kalangan elit.
Meskipun analisa akan adanya perubahan itu kuat namun Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi.
Skenario
Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat kepresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya.
Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang terlihat di Cairo dan Suez, merupakan cikal bakal muncul ketidakpuasan semakin luas terhadap rejim lama.
Bagaimanapun besarny
a dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.
Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat
Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.
Penolakan akan keras terhadap kehadiran militer ini sehingga masih akan berlangsung gejolak yang pada akhirnya memberikan pembenaran agar militer tetap berkuasa. Kehadiran militer tidak hanya akan membawa ketegangan di kalangan rakyat, demokrasi akan semakin ditinggalkan Mesir setelah sekian lama hidup dalam demokrasi semu.
Sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan,
Namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.
Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.***
A. Setiawan, pengamat internasional, lulusan Universitas Birmingham, Inggris
CV: Asep Setiawan adalah pengelola blog The Global Politics (theglobalpolitics.com) yang memfokuskan kepada masalah politik internasional dan nasional. Setelah lulus Universitas Padjadjaran jurusan Hubungan Internasional, melanjutkan S2 di International Studies di Universitas Birmingham, Inggris.
Email: asepsetia@yahoo.com

Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia merupakan kelanjutan dari desakan untuk terjadinya pergantian kepemimpinan. Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad.

Tidak seperti di Tunisia yang akhirnya Presiden Zine el Abedine Ben Ali tergulingkan setelah berbulan-bulan unjuk rasa dipicu oleh pengangguran dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Mesir memiliki karakteristik berbeda. Bahkan jika terjadi perubahan pun gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta.

Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi.

Transisi

Tanda-tanda bahwa transisi politik sedang diupayakan oleh elit dari keluarga Mubarak yang berusia 82 tahun terhadap anaknya Jamal Mubarak. Husni Mubarak sudah diketahui belakangan ini mengidap berbagai masalah kesehatan. Dan anaknya yang berusia 47 tahun sudah dibesarkan untuk menggantikan dia seperti berlangsung di Suriah. Namun jelas tidak mudah merekayasa pergantian dalam sebuah negara sebesar Mesir.

Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler  maupun Islam.

Satu hal lain yang menyulitkan masa transisi di Mesir adalah situasi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis finansial dan tingginya harga pangan. Rakyat Mesir merasakan sekali terutama kalangan bawah dan menengah bawah bagaimana biaya hidup semakin hari semakin berat sementara sebagian elit menikmati kemakmuran.

Sementara itu meski pemerinah menyatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, tinginya investasi asing dan merupakan pasar menarik bagi asing namun kalangan oposisi dan pegiat Islam menuduh tingginya korupsi, ketidakmampuan para pejabat dan jurang kaya-miskin yang lebar.

Dalam sebuah pertemuan tahunan Partai Demokratik Nasional Jamal Mubarak yang memang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis menyatakan perlunya tindakan cepat agar pertumbuhan antara 7-8 persen dengan pembangunan infrastruktur tahun 2011 ini. Namun liberalisasi ekonomi Mesir ini sering dicurigai oleh sebagian pihak hanya memperkaya kalangan elit.

Meskipun analisa akan adanya perubahan itu kuat namun Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi.

Skenario

Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat k
epresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya.

Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang terlihat di Cairo dan Suez, merupakan cikal bakal muncul ketidakpuasan semakin luas terhadap rejim lama.

Bagaimanapun besarnya dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.

Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat

Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.

Penolakan akan keras terhadap kehadiran militer ini sehingga masih akan berlangsung gejolak yang pada akhirnya memberikan pembenaran agar militer tetap berkuasa. Kehadiran militer tidak hanya akan membawa ketegangan di kalangan rakyat, demokrasi akan semakin ditinggalkan Mesir setelah sekian lama hidup dalam demokrasi semu.

Sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan,

Namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.

Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.***

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

Cyberworld memicu revolusi Timur Tengah

18 Friday Feb 2011

Posted by Setiawan in Archive, Blog, Hubungan Internasional

≈ Leave a comment

Tags

facebook, maya, mesir, reformasi, Revolusi, twitter

Tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir. Paling jelas telah di Mesir dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari, jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting.

Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir. Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.

Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.

Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling. Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.

Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan. Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.

Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator. Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.

Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.

Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.

Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.

Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.

Next thing yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi. Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetapi hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina.

Tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir. Paling jelas telah di Mesir dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari, jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting.Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir.

Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling.

Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan.

Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator.

Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.

Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.Next thing yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi.

Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetapi hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

Recent Posts

  • Bencana Alam di Sumatera: Pemicu dan Solusi Berkelanjutan
  • Statecraft 3.0: AI dan Masa Depan Diplomasi
  • Perang Dagang Amerika-China 2025: Analisis Implikasi terhadap Ekonomi Asia Tenggara
  • Strategi Palestina Pasca Pengakuan Internasional
  • Perjuangan Palestina: Dari Pengakuan ke Kedaulatan Efektif

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Academic Profile
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Subscribe Subscribed
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d