Tags

, , ,

Pengantar: artikel ini dikirim ke sebuah media cetak di Indonesia 28 Januari 2011 tetapi tampaknya tidak dimuat. Skenario dalam artikel ini tampaknya mendekati kenyataan bahwa militer Mesir kini berkuasa. What next dengan militer nanti saya coba uraikan lagi dalam tulisan lain. Terimakasih

Gejolak menuju transisi di Mesir
Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia merupakan kelanjutan dari desakan untuk terjadinya pergantian kepemimpinan. Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad.
Tidak seperti di Tunisia yang akhirnya Presiden Zine el Abedine Ben Ali tergulingkan setelah berbulan-bulan unjuk rasa dipicu oleh pengangguran dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Mesir memiliki karakteristik berbeda. Bahkan jika terjadi perubahan pun gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta.
Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi.
Transisi
Tanda-tanda bahwa transisi politik sedang diupayakan oleh elit dari keluarga Mubarak yang berusia 82 tahun terhadap anaknya Jamal Mubarak. Husni Mubarak sudah diketahui belakangan ini mengidap berbagai masalah kesehatan. Dan anaknya yang berusia 47 tahun sudah dibesarkan untuk menggantikan dia seperti berlangsung di Suriah. Namun jelas tidak mudah merekayasa pergantian dalam sebuah negara sebesar Mesir.
Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler  maupun Islam.
Satu hal lain yang menyulitkan masa transisi di Mesir adalah situasi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis finansial dan tingginya harga pangan. Rakyat Mesir merasakan sekali terutama kalangan bawah dan menengah bawah bagaimana biaya hidup semakin hari semakin berat sementara sebagian elit menikmati kemakmuran.
Sementara itu meski pemerinah menyatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, tinginya investasi asing dan merupakan pasar menarik bagi asing namun kalangan oposisi dan pegiat Islam menuduh tingginya korupsi, ketidakmampuan para pejabat dan jurang kaya-miskin yang lebar.
Dalam sebuah pertemuan tahunan Partai Demokratik Nasional Jamal Mubarak yang memang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis menyatakan perlunya tindakan cepat agar pertumbuhan antara 7-8 persen dengan pembangunan infrastruktur tahun 2011 ini. Namun liberalisasi ekonomi Mesir ini sering dicurigai oleh sebagian pihak hanya memperkaya kalangan elit.
Meskipun analisa akan adanya perubahan itu kuat namun Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi.
Skenario
Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat kepresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya.
Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang terlihat di Cairo dan Suez, merupakan cikal bakal muncul ketidakpuasan semakin luas terhadap rejim lama.
Bagaimanapun besarny
a dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.
Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat
Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.
Penolakan akan keras terhadap kehadiran militer ini sehingga masih akan berlangsung gejolak yang pada akhirnya memberikan pembenaran agar militer tetap berkuasa. Kehadiran militer tidak hanya akan membawa ketegangan di kalangan rakyat, demokrasi akan semakin ditinggalkan Mesir setelah sekian lama hidup dalam demokrasi semu.
Sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan,
Namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.
Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.***
A. Setiawan, pengamat internasional, lulusan Universitas Birmingham, Inggris
CV: Asep Setiawan adalah pengelola blog The Global Politics (theglobalpolitics.com) yang memfokuskan kepada masalah politik internasional dan nasional. Setelah lulus Universitas Padjadjaran jurusan Hubungan Internasional, melanjutkan S2 di International Studies di Universitas Birmingham, Inggris.
Email: asepsetia@yahoo.com

Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia merupakan kelanjutan dari desakan untuk terjadinya pergantian kepemimpinan. Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad.

Tidak seperti di Tunisia yang akhirnya Presiden Zine el Abedine Ben Ali tergulingkan setelah berbulan-bulan unjuk rasa dipicu oleh pengangguran dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Mesir memiliki karakteristik berbeda. Bahkan jika terjadi perubahan pun gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta.

Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi.

Transisi

Tanda-tanda bahwa transisi politik sedang diupayakan oleh elit dari keluarga Mubarak yang berusia 82 tahun terhadap anaknya Jamal Mubarak. Husni Mubarak sudah diketahui belakangan ini mengidap berbagai masalah kesehatan. Dan anaknya yang berusia 47 tahun sudah dibesarkan untuk menggantikan dia seperti berlangsung di Suriah. Namun jelas tidak mudah merekayasa pergantian dalam sebuah negara sebesar Mesir.

Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler  maupun Islam.

Satu hal lain yang menyulitkan masa transisi di Mesir adalah situasi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis finansial dan tingginya harga pangan. Rakyat Mesir merasakan sekali terutama kalangan bawah dan menengah bawah bagaimana biaya hidup semakin hari semakin berat sementara sebagian elit menikmati kemakmuran.

Sementara itu meski pemerinah menyatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, tinginya investasi asing dan merupakan pasar menarik bagi asing namun kalangan oposisi dan pegiat Islam menuduh tingginya korupsi, ketidakmampuan para pejabat dan jurang kaya-miskin yang lebar.

Dalam sebuah pertemuan tahunan Partai Demokratik Nasional Jamal Mubarak yang memang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis menyatakan perlunya tindakan cepat agar pertumbuhan antara 7-8 persen dengan pembangunan infrastruktur tahun 2011 ini. Namun liberalisasi ekonomi Mesir ini sering dicurigai oleh sebagian pihak hanya memperkaya kalangan elit.

Meskipun analisa akan adanya perubahan itu kuat namun Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi.

Skenario

Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat k
epresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya.

Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang terlihat di Cairo dan Suez, merupakan cikal bakal muncul ketidakpuasan semakin luas terhadap rejim lama.

Bagaimanapun besarnya dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.

Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat

Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.

Penolakan akan keras terhadap kehadiran militer ini sehingga masih akan berlangsung gejolak yang pada akhirnya memberikan pembenaran agar militer tetap berkuasa. Kehadiran militer tidak hanya akan membawa ketegangan di kalangan rakyat, demokrasi akan semakin ditinggalkan Mesir setelah sekian lama hidup dalam demokrasi semu.

Sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan,

Namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.

Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.***