• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: Malaysia

Pemilu Malaysia,Pertarungan Najib-Mahathir

07 Monday May 2018

Posted by Setiawan in asia tenggara, Hubungan Internasional

≈ Leave a comment

Tags

asia tenggara, Malaysia, pemilu

Penulis: Asep Setiawan Kepala Media Research Center Metro TV Pada: Sabtu, 05 Mei 2018, 00:25 WIB Opini
 

Pemilu Malaysia,Pertarungan Najib-Mahathir

AFP PHOTO / Mohd RASFAN

PEMILU 9 Mei 2018 di Malaysia nanti secara tidak langsung mempertunjukkan persaingan dua tokoh besar. PM Najib Razak, 65, yang memimpin Barisan Nasional (BN) akan menghadapi mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang tahun ini berusia 93 tahun yang melakukan manuver dengan kelompok koalisi baru Pakatan Harapan (PH). Basis kedua koalisi ini relatif sama dengan basis politik aliran di Malaysia yang menyertakan etnik Melayu, Tiongkok, dan India.

Mengapa pertarungan dua tokoh ini akan menentukan? Bagaimanapun nama Mahathir adalah tokoh yang memiliki karisma dengan pengalaman memimpin negeri jiran selama 22 tahun. Tentu banyak catatan positif yang diwariskan Mahathir terhadap Malaysia, selain sikapnya yang keras.

Meski sudah berusia lanjut, Mahathir berani terjun kembali ke politik praktis karena antara lain melihat perilaku penyimpangan seperti sikap koruptif di kalangan pucuk pimpinan Malaysia.

Namun, PM Najib Razak bukanlah politisi baru di kancah dinamika politik aliran Malaysia. Najib putra pendiri dan PM kedua Malaysia Tun Abdul Razak Hussein. Najib merupakan tokoh sentral yang ingin mempertahankan citranya sebagai tokoh Malaysia terdepan, sekalipun harus berhadapan dengan mentornya. Kemenangan pemilu Mei ini menentukan nasibnya memegang kendali pemerintahan baik di hadapan partainya UMNO dan juga mitranya, Malaysia Chinese Association (MCA) dan Malaysian Indian Congress (MIC) yang masuk BN.

Andalan Mahathir
Apa yang menjadi andalan Mahathir dalam menghadapi pemilu kali ini? Modal kekuatan Mahathir tidak boleh dianggap enteng. Dengan semangatnya sebagai tokoh senior Malaysia, Mahathir masih menjadi magnet kaum Melayu di negeri ini. Rekam jejak Mahathir juga yang dapat diandalkan ialah bersihnya dari skandal korupsi yang justru sekarang melanda pemerintahan PM Najib Razak.

Dapat dikatakan, jika andalan kelompok pendukung Mahathir ialah nama besar mantan PM yang memerintah Malaysia dari 1981-2003. Dengan bekal nama Mahathir, ikon pemimpin ini dijadikan andalan merebut para pemilih.

Mahathir yang berbekal Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) yang didirikan pada 2016 hanya mendapatkan satu kursi di parlemen. Jika dihitung partai oposisi lainnya yang sekarang masuk Pakatan Harapan, jumlahnya cukup besar dengan kursi mencapai 77 kursi jika Partai Islam Semalaysia (PAS) diduga sudah dekat ke BN.

Partai Amanah, pemisahan dari Partai Islam Semalaysia (PAS) menguasai 7 kursi, sedangkan kelompok oposisi lain yang sudah cukup lama seperti Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang didirikan mantan PM Anwar Ibrahim mencapai 28 kursi, dan Democratic Action Party (DAP) mencapai 36 kursi, masih konsisten tidak bergabung ke dalam BN.

Dengan adanya gabungan kekuatan Mahathir yang namanya jadi ikon Malaysia bergabung dengan tokoh oposisi lama yang digulingkannya, yakni Anwar Ibrahim, ini juga menjadi salah satu andalan koalisi harapan. Anwar Ibrahim yang digulingkan pada 1998 ikut pemilu dan menang, kemudian dilarang berpolitik sampai Juni 2018. Dengan kata lain, karena kepentingan bersama, Mahathir dan Anwar dipandang sedang rujuk menghadapi Pemilu 2018. Tentu kekuatan dua tokoh nasional Malaysia ini tidak dapat dianggap remeh Najib Razak.

Mahathir juga memiliki kekuatan isu yang jadi sorotan publik tahun terakhir, yakni skandal megakorupsi dana 1MDB yang diduga sekitar US$700 miliar masuk rekening pribadi Najib Razak.

Andalan Najib
Bergabungnya kekuatan Mahathir dan Anwar dalam Pakatan Harapan tidak serta merta meruntuhkan dominasi BN pimpinan Najib di Dewan Rakyat. Di tubuh parlemen Malaysia sekarang kekuatan koalisi Pakatan Harapan (PH) belum mengancam langsung BN.

Parlemen masih dikuasai Barisan Nasional (BN) dengan UMNO yang mengantongi 86 kursi, Malaysia Chinese Association (MCA) 7 kursi, dan Malaysian Indian Congress (MIC) 4 kursi, serta anggota koalisi BN lainnya 35, praktis menduduki mayoritas kursi dengan jumlah total 132 kursi lebih dari setengah kursi parlemen yang berjumlah 222. Jika PAS 13 kursi yang sekarang dekat BN dimasukkan ke koalisi pimpinan Najib Razak ini praktis sudah mengumpulkan 145 kursi.

Mengenai persepsi publik terhadap skandal korupsi ini menunjukkan hanya 3% warga yang mempertanyakan integritas Najib. Jadi, dapat dikatakan nama Najib masih menjadi jaminan kepemimpinan di Malaysia walaupun tingkat popularitasnya turun mencapai 20% pada 2015.

Najib juga masih bisa mengandalkan kinerja ekonomi Malaysia yang masih kuat dengan pertumbuhan 2017 mencapai 5,8 %, angka tertinggi sejak 2014. Hanya pertumbuhan tinggi ini tidak dinikmati semua warga karena tertahannya kenaikan gaji dan naiknya biaya hidup.

Dalam jajak pendapat pada Maret 2018, 42% pemilih masih mendukung Barisan Nasional. Angka di bawah 50% ini menguntungkan kelompok oposisi sehingga rata-rata tingkat popularitas Pakatan Harapan bisa mencapai 65%. Pemerintahan Najib menyadari kelemahan ini maka menjelang Pilihan Raya, pada Maret diadakan perubahan aturan mengenai pemetaan suara dan perolehan kursi parlemen.

Berdasarkan aturan baru ini pemerintah menyatukan daerah pendukung oposisi ke dalam satu konstituen. Konsekuensinya, kelompok oposisi hanya mendapatkan satu kursi meski suara yang dihimpun lebih banyak. Perubahan mendadak ini langsung menjadi heboh nasional di Malaysia. Namun, putusan ini jelas menguntungkan koalisi yang berkuasa.

Tidak hanya mengubah pemetaan perolehan suara, pemerintahan Najib pada 2 April lalu juga mengeluarkan UU Antiberita Palsu. Berdasarkan perangkat hukum baru ini, penyebar berita palsu dapat dihukum maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga 500 ribu ringgit (Rp1,8 miliar).

Di tengah hadirnya Akta Keamanan Dalam Negeri dan juga Akta Hasutan, PM Najib dan koalisinya akan leluasa memanfaatkan media baru tanpa diserang berita-berita bohong yang menjadi fenomena pemilu di beberapa negara. Dua perangkat politik ini juga menjadi kekuatan penguasa melanjutkan dominasinya di Malaysia.

Dengan lanskap persaingan dua tokoh besar ini-sementara Anwar masih dilarang berpolitik sampai Juni nanti-maka pemilu Malaysia menjadi perhatian internasional. BN bagaimanapun tengah mengalami kemerosotan terutama sejak Pemilu 2013, yakni kelompok partai pembangkang menikmati kenaikan jumlah kursi di parlemen.

Perubahan itu tidak hanya karena variasi isu, yakni oposisi menggunakan isu memajukan etnik Melayu agar hak bumiputera diperluas. Namun, juga memanfaatkan kehadiran Mahathir dengan Parti Pribumi Bersatu Malaysia, dengan isu yang sangat melekat kepada kepentingan mayoritas etnik Melayu dari sekitar 32 juta rakyat Malaysia.

http://www.mediaindonesia.com/read/detail/158972-pemilu-malaysiapertarungan-najib-mahathir.html

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Menunggu Angin Perubahan di Malaysia

10 Saturday Oct 2015

Posted by Setiawan in Asian Affairs

≈ Leave a comment

Tags

Malaysia, politik, reformasi

Oleh Asep Setiawan

UNJUK rasa yang diklaim melibatkan lebih dari 100 ribu orang di Kuala Lumpur akhir Agustus lalu tergolong langka. Meskipun banyak dituduh sebagai bagian dari aksi kubu oposisi, pengerahan massa dalam jumlah besar itu memiliki makna lebih luas. Peristiwa ini langka karena di Malaysia unjuk rasa bisa berujung penjara akibat ketatnya Akta Keselamatan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA).

Kehadiran mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad menambah bobot dari urgensi pesan yang disampaikan para pengunjuk rasa. Dengan mengusung demo Bersih 4.0, pesan dan sasarannya jelas. Massa menginginkan perubahan segera setelah terungkap adanya aliran dana ratusan juta dolar AS ke rekening pribadi PM Malaysia Najib Razak. Mereka menuntut empat hal; 1) Pemilu yang bersih, 2) Pemerintah yang bersih, 3) Penyelamatan ekonomi Malaysia, dan 4) Hak membantah (berpendapat).

Kini tinggal menunggu waktu ke mana arah angin perubahan di Malaysia. Apakah akan berujung pada pemakzulan PM Najib atau pada pemilu yang dipercepat. Bisa juga desakan perubahan ini akan berimbas kepada tubuh UMNO di tengah semakin kuatnya kelompok oposisi di parlemen. Setidaknya kasus ini telah memakan korban di tingkat elite, dengan dipecatnya Deputi PM Muhyiddin Yassin dan Jaksa Agung Abdul Gani Patail. Najib juga memecat Shafie Adpal dari jabatan menteri pembangunan perdesaan.

Selama dua dekade PM Mahathir Mohamad berkuasa, 1981-2003, salah satu bentuk pengekangan yang dipeliharanya untuk menstabilkan politik dan memelihara kelanjutan pembangunan ekonomi ialah ISA. Sikap Mahathir yang keras terhadap politik dalam negeri Malaysia ini diikuti oleh suksesornya yakni Abdullah Badawi dan kemudian Najib Razak. Kini, dengan kasus Najib, sebagian masyarakat berharap akan ada perubahan politik.

Tidak kurang pakar politik dari Australia, Harold Crouch (1992), menyebut pemerintah Malaysia sebagai semiautoritarian. Pakar lainnya, William Case (1993), memberi label semidemokrasi. Adapun pakar di Malaysia, Zakaria Haji Ahmad (1989), menilai Malaysia sebagai negara demokrasi semu. Mantan Ketua Wanita UMNO Dr Siti Zaharah menyebut Malaysia menganut apa yang dinamakan ‘pemerintahan yang kuat’.

Reformasi iklim politik
Gerakan reformasi di Indonesia pada 1998 memberi inspirasi kepada negeri jiran tersebut untuk meniru. Saat itu, Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim menjadi korban politik setelah dipecat oleh Mahathir. Anwar sejak itu menyuarakan gerakan reformasi di Malaysia.

Menurut Prof Dr Shamsul Amri Baharudin dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), ada perbedaan besar antara model kepemimpinan Anwar dan Mahathir. Setelah ada gerakan reformasi di Indonesia, perbedaan itu semakin kentara. Mahathir, kata Shamsul, mendasarkan model kepemimpinannya kepada kewirausahaan. Semua pesan dan tekanan Mahathir adalah membangkitkan sikap-sikap entrepreneur terutama etnik Melayu di Malaysia. Adapun Anwar Ibrahim, kata Syamsul, menekankan model kepemimpinan apa yang disebut keadilan sosial. Anwar dalam pesan-pesannya selalu menekankan kepada keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Malaysia terutama juga etnik Melayu.

Dengan penekanan akan keadilan sosial itulah, Anwar memperjuangkan perubahan dalam demokrasi di Malaysia yang berdasarkan pada pembagian etnik. Politik Malaysia tidak bisa lepas dari politik aliran, politik berdasarkan garis etnik. Ada parpol berbasis Melayu seperti United Malays National Organization (UMNO), berbasis Tionghoa seperti Malaysian Chinese Association (MCA), dan berbasis etnik keturunan India dalam Malaysian Indian Congress (MIC). Sejauh ini perjuangan Anwar baru melahirkan Partai Keadilan Nasional yang semakin besar dan melibatkan multietnik sehingga namanya berubah menjadi Partai Keadilan Rakyat.

Di parlemen Malaysia, hasil pemilu 2013 gabungan kekuatan oposisi sudah mencapai 89 kursi, sedangkan koalisi berkuasa Barisan Nasional merebut 133 kursi parlemen. Bandingkan dengan 2008, ketika koalisi berkuasa yakni MCA, MIC, dan UMNO, menguasai 140 kursi. Suara oposisi semakin lama semakin kuat, tetapi belum menentukan. Mereka yang berada di luar pemerintah bersatu untuk menggugat kepemimpinan Najib.

Angin perubahan
Dengan modal sekitar 40% kursi di parlemen, kubu oposisi menggunakan momentum tuduhan korupsi terhadap Najib sebagai pemicu untuk mendorong reformasi di Malaysia. Angin perubahan ini masih akan berproses karena sangat tergantung beberapa hal. Antara lain, seberapa besar tekanan yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Najib terhadap para pengikut oposisi. Sudah ada tanda-tanda para pendukung unjuk rasa diperiksa dan ditanya motifnya. Bahkan terhadap Mahathir juga sudah ada indikasi untuk diperiksa.

Kedua, bagaimana kelanjutan pengungkapan dugaan aliran uang ke rekening Najib bisa meyakinkan publik bahwa ada masalah dengan dana tersebut. Kecaman terhadap Najib itu berawal dari laporan surat kabar Wall Street Journal tentang adanya aliran dana US$700 juta (hampir Rp10 triliun) ke rekening pribadinya dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah lembaga yang dibentuknya pada 2009 dengan tujuan membuat Kuala Lumpur menjadi pusat keuangan.

Ketiga, sebenarnya kehadiran Mahathir mendukung pengusutan kasus ini dan mendorong PM Najib mempertanggungjawabkan aliran dana ke rekeningnya. Namun, Mahathir tidak lagi banyak pe­ngaruhnya. Keempat, sejauh ini jika melihat fenomena monumental unjuk rasa besar seperti terjadi titik temu antara Mahathir dan para pendukung Anwar Ibrahim. Bahkan istri Anwar, Wan Azizah, melakukan orasi di tengah unjuk rasa yang mengecam Najib.

Berbeda dengan Indonesia yang ada dukungan kelas menengah dan sebagian kalangan militer, desakan perubahan di Malaysia kurang mendapat respons kelas menengah yang sudah menikmati kue pembangunan. Dalam istilah di Malaysia, jika warga sudah puas dengan ekonomi, tidak ada pemicu untuk terjadinya perubahan fundamental. Di sinilah uniknya Malaysia. Ada pendapat kuat bahwa kemakmuran ekonomi menyebabkan warga Malaysia enggan mempertanyakan isu-isu politik termasuk soal korupsi di tingkat elite. Kubu oposisi masih bisa menggalang kekuatan opini, tetapi Najib dkk tidak akan tinggal diam. Bisa saja dalam perkembangan selanjutnya, Najib masih akan mempertahankan posisinya meskipun di tubuh UMNO jelas sudah ada sikap yang berbeda. Pemecatan Muhyiddin Yassin menjadi bukti.

 

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/15198/Menunggu-Angin-Perubahan-Baru-di-Malaysia/2015/09/09

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Anwar Ibrahim on The Asian Renaissance

26 Monday Oct 2009

Posted by Setiawan in Archives, Asian Affairs

≈ Leave a comment

Tags

Malaysia

By   Asep Setiawan[*]

I. IntroductionAnwar Ibrahim maybe one of the leading figures in Malaysian politics. His views on the process of development and Islamic issues have become  the references not only for the local leaders but even for some of the top leaders in the region. It is not suprising if he is called an Asian prospective  leader.Probably is  because his government position  as a Deputy Prime Minister that  gives him the power to express his ideas. The portfolio job as the Minister of Finance also gives him  a chance to evaluate the economic side of Malaysia’s development. Those experiences as well as his activities a long time ago before he became a politician had profound influence on Anwar’s thought.The article has two objections. Firstly, to explore his outlook on Asian economic recovery as a phenomenon of more holistic event rather than economic progress. Secondly, to  look more precisely how Anwar’s  thought on Islamic ummah’s role in  Asian renaissance.II. Asia’s reawakeningAnwar Ibrahim states, Asian economic growth is only a dimension for a much deeper, more profound and far-reaching reawakening of the continent which may be called the Asian Renaissance. What is the Asian Renaissance ? According to Anwar, it is the revival of arts and sciences under the influence of classical models on strong moral and religious foundations [1].In addition, Anwar interprets that Asian Renaissance as a cultural dominated by reflowering of art and literature, architecture and music. Another  interpretation is this concept is related to advancements in science and technology.[2]It seems  that Anwar considers reawakening in Asian not merely business progress but also cultural and social development. He makes comparative view to distinguish Asian and European Renaissance.For Anwar, European Renaissance that took place between fourteenth and sixteenth centuries was the cornerstone, the intense assertion of the power of individual to determine his own destiny led to flourishing of secular humanism at the expense of Judeo-Christian religiousity. This judgement lead to interpretation that Anwar sees Asian resurgence  has been influenced by system of belief.Based on his judgement, it can be argued that Anwar considers moral values as  the core  of changes. Thus,  in viewing Asian progress, Anwar believes Asian Renaissance differs from European because of its foundation in religion and traditions such as Islam, Confucianism, Buddhism, Hinduism and Christianity.Some of criticism toward Anwar stance on this issue was reflected by Ignas Kleden, scholar on philosophy. He argues that secularism was not the character of European Renaissance. He claims that changes in Europe did not exclude religion from the life of people. Ignas indicates religion took another form which incorporate into business and political life. Thus, he rejects Anwar view’s that European Renaissance was departed from religiosity toward secularism and the Asian Renaissance embraces  moral values as the foundation of reawakening.Anwar’s efforts to involve Asian thinker and philosopher such as Confucius, Jose Rizal, Muhammad Iqbal and  Rabindranath Tagore can be seen as an effort to cultivate Asian values to translate into modern reality. He thinks they would enrich Asian people toward new millennium. He often quotes them as a reason for evaluating the Western thinkers.On economics, Anwar argues that it cannot be totally separated from social, political, moral and cultural issues. He asserts economic progress must not be achieved at the expense of social justice. Anwar says, financial and industrial policies must take into account the needs of the marginalized and disadvantage groups in our teeming cities as well as in the remote parts of the region.Anwar’s stance on social justice can be said as basic element of his thought. Prof.  Dr Shamsul Amri Baharudin of Universiti Kebangsaan Malaysia thinks that the emphasising on social justice is one factor that distinguished from Mahathir Mohamad, mentor of Anwar on politics.  He says that Mahathir emphasises on entrepreneurial and Anwar focus on social justice. Entrepreneurship is supported by business community either from Chinese or Indian even from Malay businessmen.[3]Yet Anwar treats it carefully because of Mahathir’s presence. In his book, he appreciates Mahathir for  giving him the chance to express his thought. Thus Anwar recognises some of differences with Mahathir, however, he is not willing to exploit it.III. The need of moderationAs a former Islamic youth organisation activist, Anwar cannot be separated form its identity as an Islamic leader. Many people in Malaysia even in Indonesia still regard him as an example of an Islamic  young leader who is success in politics.In his book, Anwar believes that major predicament of Muslim is the failure to come to terms with present-day realities. It should be recognised that the causes of general confusion and malaise of the Muslims are rooted in history. Here, Anwar tries to understand the past for evaluating the failure of Ummah today.After analysing the Islamic history, Anwar concludes that the future of the Muslims will be determined more by careful planning and concrete action than by the beauty of conceptual formulation or the fervour of moral exhortation.He states, “Muslim intellectuals have been content to abandon the centre stage of worldly action, preferring instead to the comfort of the moral high ground.” His remarks illustrate that he tends to actualise Islamic ideals into concrete action rather than formulating and conceptualising in beautiful words.In order to implement  these ideals, he agrees with moderate attitude rather than extremes action. He says that “The seed of militancy are everywhere and each community must ensure that they will not germinate and multiply through discontent and alienation. So, participation and social justice is fundamental in Southeast Asia in the of the nation-state.” [4]It seems that Anwar is against extremism that arises from Muslims when they actualise their ideals. This statement can be traced from Anwar’s experience in Malaysia. He was one of the extreme leaders who often criticised Mahathir. However, after he joint toward larger political activities within UMNO, Anwar slightly changed particularly when he expresses Islamic aspiration.He praises Indonesian motto “Bhinneka Tunggal Ika” (Unity in Diversity) as proper definition which should take account by Muslim community. The challenge to Muslims and the people of other confessions is to effectively articulate their moral vision and intensity faiths the search for common ethical ground, Anwar says.IV.ConclusionAnwar resumes his view with following words. As Asia’s reawakening proceeds apace, both East and West should forge symbiosis of cultures and realise the universal community of the human race.He also concludes that the wave of Islamic revivalism that began with the anti-imperialist struggles of the previous century has gained further momentum in our time among Muslims in Southeast Asia. He asserts, the energy potential must be properly directed so as not to deteriorate or be corrupted into blind fanaticism which could precipitate into violent clashes with other cultures.

References

Ahmad, Aziz Zariza. Mahathir’s Paradigm Shift. Kuala Lumpur: Firma, 1997.Ibrahim, Anwar. The Asian Renaissance. Singapore: Times Books International,          1996Means, Gordon P. Malaysian Politics: The Second Generation. Singapore:   Oxford, University, Press, 1991Moraris, J. Victor. Anwar Ibrahim: Resolute in Leadership. Kuala Lumpur, Arena     Buku, 1983Putra, Tunku Adul Rahman. Contemporary Issues in Malaysian Politics.        Malaysia, Pelanduk, 1984Time, October 6,
1997Notes


[*][*] Drs Asep Setiawan MA, journalis at the Kompas Daily, lecturer at the Department of Politics in The University of Muhammadiyah Jakarta and Department of International Relations in The University of Pasundan. The paper is presented at the regular discussion The University of Muhammadiyah Jakarta.


[1] Anwar Ibrahim, The Asian Renaissance. Singapore, Times Books International, 1996, page 18.[2] Op.cit. page 18[3] Author’s interview  with Dr Shamsul, August, 22 1997[4] Op.cit. page 123

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • An Analysis of Current Indo-Pacific Dynamics
  • Challenges Faced by Journalism
  • Role of Indonesia in Shaping Indo-Pacific
  • In Seeking Global Supremacy in Technology: A Case of Rivalry The US-China
  • Ninik Rahayu dan Asep Setiawan Lengkapi Kepengurusan Dewan Pers 2022-2025

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Follow Following
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: