• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Category Archives: Commentary

Ancaman Covid-19 Masih Tinggi di Indonesia

10 Friday Jul 2020

Posted by Editor in Commentary

≈ Leave a comment

Tags

covid-19, indonesia, virus corona

Penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia mencapai rekor tertinggi 2.657 kasus baru, pada Kamis (09/07). Tambahan terbesar dari klaster Sekolah Calon Perwira-Secapa AD di Bandung, Jawa Barat

Penambahan kasus baru harian positif virus corona ini mendorong jumlah keseluruhan kasus positif di Indonesia mencapai 70.736 orang.

Demikian dimuat di BBC Indonesia.

Data baru itu menunjukkan bahwa penyebaran Covid-19 di Indonesia belum selesai, bahkan belum mencapai puncaknya.

Brebagai langkah telah dicoba namun sikap tidak disiplin dan tidak hati-hati masyarakat menyebabkan kebijakan transisi PSBB atau bahkan bebas dari PSBB menjadi sia-sia.

Sudah diketahui umum bahwa gejala virus corona ini tidak bisa diketahui setelah 14 hari. Menuju hari ke-14 apabila badan seseorang sehat dan fit, gejala hampir tidak akan kelihatan. Kecuali, manusianya berumur lansia baru gejala itu akan terlihat secara kasat mata.

Kondisi inilah yang kemudian karena sikap tidak hati-hati, memudahkan dan serba santai menyebabkan pembendungan Covid-19 ini menjadi sangat sulit. Dan apabila ini terus berlanjut, ketika negara lain sudah bersiap pulih Indonesia kemungkinan akan terlambat. Dan jika terlambat konsekuensinya banyak.

Yang pertama tentu korban akan bertambah lagi, saat ini saja 10 Juli 2020 sudah mencapai 3.469. Di Asia Tenggara situasi di Indonesia jelas masuk kategori paling parah.

Konsekuensi lainnya, rumah sakit dan fasilitas kesehatan akan kewalahan melayani pasien sementara tenaga kesehatan juga terbatas.

Lebih lagi pada kegiatan ekonomi akan semakin lama terhambatnya dan semakin parah dampaknya. Kalau seandaianya kuartal pertama saja sudah turun dua persen maka ancaman pemulihan tahun depan semakin jauh dari harapan.

Selain ekonomi kehidupan sosial seperti pendidikan juga akan mengalami kesulitan baru. Sementara negara lain sudah memprediksi September akan dibuka lagi sekolah dengan protokol kesehatan, Di Indonesia dengan situasi yang tidak disiplin mungkin akan mundur lagi.

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email this to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Indonesia Perlu Antisipasi Perubahan Global

02 Thursday Jul 2020

Posted by Editor in Commentary

≈ Leave a comment

Tags

covid-19, Global, indonesia

PERUBAHANglobal akibat pandemi Covid-19 sudah dirasakan setiap orang yang hidup di planet bumi. Bahkan perubahan sudah dirasakan oleh berbagai negara yang menghadapi pandemik ini.

Sampai 28 Juni dari data yang dirilis Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sekitar 9,7 juta orang sudah terkena virus corona yang diketahui berasal dari Wuhan Desember 2019. Dari jumlah tersebut, di tingkat global sekitar 494 ribu orang meninggal dan 2.754 di antaranya meninggal di Indonesia.

Dengan penyebaran di dunia mencapai 216 negara maka tidak dapat disangsikan lagi inilah wabah paling hebat di awal abad ke-21 ketika dunia bersiap menghadapi era baru globalisasi di berbagai sektor. Berbagai perkiraan pertumbuhan ekonomi yang semula optimis di akhir 2019, maka sampai Juni berbagai data menunjukkan situasi ekonomi dunia menuju resesi.

Dengan tingkat korban yang terus bertambah serta situasi ekonomi, sosial, dan budaya yang tidak menentu ini jelas bahwa kehidupan umat manusia tidak lagi akan sama dengan berbagai perkiraan dari lembaga apapun yang kredibel. Variabel pandemi ini telah mengubah perjalanan hidup manusia, baik interaksi antarmanusia maupun interaksi antarnegara.

Baca selanjutnya di medcom

 

 

 

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email this to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI TIMUR TENGAH  

02 Tuesday Jun 2020

Posted by Editor in Commentary, Journal Articles, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

Arab Spring, Timur Tengah

ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI TIMUR TENGAH

 

Oleh Asep Setiawan

 Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: الثورات العربية‎, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir;  perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain,  Suriah,  and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat.[1]

Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah. Slogan pengunjuk rasa di dunia Arab yaitu Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (“Rakyat ingin menumbangkan rezim ini”).

Serangkaian protes dan demonstrasi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara telah dikenal luas dengan sebutan “The Arab Spring dan kadang “Musim Semi dan Dingin Arab”, “Kebangkitan Arab” atau “Pemberontakan Arab” meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.

Rangkaian ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18 Desember 2010 setelah pembakaran diri Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsi polisi dan perawatan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain, dengan unjuk rasa terbesar dan paling terorganisir terjadi pada “hari kemarahan”, biasanya hari Jumat setelah salat Jumat. Protes ini juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.

Per Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi tanggal 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia, dan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Selama periode kerusuhan regional ini, beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir.

Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014, meski unjuk rasa semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Protes di Yordania juga mengakibatkan pengunduran diri pemerintah sehingga mantan Perdana Menteri and Duta Besar Yordania untuk Israel Marouf al-Bakhit ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Raja Abdullah dan ditugaskan membentuk pemerintahan baru.

Pemimpin lain, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman, mengumumkan pada 23 April bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu 30 hari dengan imbalan kekebalan hukum, sebuah persetujuan yang diterima oposisi Yaman secara tidak formal pada 26 April; Saleh kemudian mengingkari persetujuan ini dan semakin memperpanjang pemberontakan di Yaman. Pemimpin Libya Muammar al-Gaddafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi.

Dampak protes ini secara geopolitik telah menarik perhatian global, termasuk usulan agar sejumlah pengunjuk rasa dicalonkan untuk menerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011.Tawakel Karman dari Yaman merupakan salah satu penerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011 sebagai salah seorang pemimpin penting dalam Musim Semi Arab.

 

Sebab dan Implikasi Arab Spring

Sebelum The Arab Spring bergejolak, ketiga negaranegara Arab tersebut (Tunisia, Mesir, dan Suriah) mempunyai beberapa kesamaan kondisi sosial ekonomi dan politik yang mempengaruhi The Arab Spring bergejolak. [2]

Pertama, ketiga negara tersebut masing-masing dipimpin oleh pemimpin otoriter yang berkuasa cukup lama serta pemimpin yang meraih kekuasaan dengan tidak melalui proses pemilihan yang demokratis. Di Tunisia, Ben Ali berkuasa sejak tahun

1987 melalui kudeta tidak berdarah. Ben Ali mengkudeta Habib Bourguiba setelah dia diangkat menjadi Perdana Menteri satu bulan sebelumnya.

Di Mesir, Hosni Mubarak menjadi Presiden Mesir pada tahun 1981 setelah Anwar Sadat terbunuh, sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Di Suriah, perjalanan Bashar al-Assad untuk menjadi

Presiden Suriah karena menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal pada 10 Juni 2000. Jauh sebelum Hafez al-Assad meninggal dunia, Bashar alAssad sebenarnya sudah dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua. Tariq Ramadan menambahkan bahwa rezim kediktatoran di negara-negara Arab sudah cukup lama memerlihatkan dirinya pada dunia sebagai kejahatan yang penting (a necessary evil), sebagai benteng pertahanan melawan kebangkitan gerakan politik Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah secara lebih luas (Barakat: 13).

Kedua, ketiga negara tersebut membangun rezim politik dengan sistem satu partai; di Tunisia, Ben Ali menguasai panggung politik dengan Rassemblement Constitutionnel Demoecratique (RCD), di Mesir, Mubarak125 berkuasa bersama dengan partai Hizbul Wathan (HW), di Suriah, al-Assad menguasai panggung politiknya dengan dominasi partai Ba’ath. Ketiga, negara-negara tersebut mempunyai banyak catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta membatasi ruang berekspresi kepada rakyatnya, termasuk dengan tidak adanya kebebasan pers. Keempat, krisis ekonomi dan pengangguran melanda rakyat yang dipimpinnya serta meningkatnya tingkat pengangguran. Hussein A. Hassouna juga mencatat bahwa mayoritas negaranegara Arab adalah negara sedang berkembang yang mana tingkat buta hurufnya sangat tinggi. Data pada tahun 2009 menunjukkan bahwatingkat buta huruf di Tunisia m encapai angkat 22,3, Mesir mencapai angka 33,6, dan Suria berada pada angka 16,9.

Oleh karena itu, gerakan massa yang berlangsung di negara-negara Arab mempunyai karakteristik yang sama, yaitu protes melawan kondisi sosial dan ekonomi, menolak kediktatoran, dan berjuang melawan korupsi. Nadar Hashemi juga melihatnya demikian. Menurutnya The Arab Spring merupakan kelanjutan dari perjuangan dan pencarian panjang dari dunia Arab yang mayoritas Islam untuk dapat menentukan dirinya sendiri, lepas dari cengkeraman, baik dari luar (asing) maupun dari kekuatan otoritarian internal sendiri (the Arab Spring is the continuation of a longer struggle and quest by the ArabIslamic world for self-determination from both external and internal authoritarian forces).

Kondisi kemiskinan, pengangguran yang dirasakan sejak zaman kolonialisme hingga sekarang masih dialami. Padahal kawasan Timur Tengah memiliki sumber daya alam minyak yang melimpah. Sementara negara-negara tetangga mereka di kawasan Eropa telah menikmati kemakmuran di abad ke-20. Rata-rata pendapatan per kapita rakyat di kawasan Timur Tengah 2 dolar per hari.

Kekayaan alam memang dikelola oleh negara, namun dikuasai oleh segelintir orang yang dekat dengan penguasa, termasuk aset-aset negara yang berupa perusahaan dan badan usaha. Sehingga kekayaan itu hanya menumpuk pada penguasa dan orang-orang yang dekat dengannya. Berangkat dari situasi sosial dan ekonomi politik yang terjadi dari ketiga negara tersebut, dapat dikatakan bahwa bergejolaknya The Arab Spring yang masih berlangsung hingga hari ini sebagai puncak dari gunung es akan harapan rakyat untuk hidup dengan kebebasan (demokratis).

Hidup dalam tekanan, penderitaan, dan penyiksaan oleh rezim yang sewenangwenang yang terjadi pada diri Mohammed Bouazizi sebenarnya dirasakan langsung oleh rakyat Tunisia pada umumnya dan rakyat negara-negara Arab secara lebih luas. Oleh karena itu, gejolak The Arab Spring yang menjadi awal untuk mengakhiri rezim otoritarianisme dan bangkitnya ekspektasi publik untuk kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi oleh ketiga negara tersebut.

Dalam membaca gerakan perlawanan oleh rakyat negara-negara Arab sejak 2011 lalu, L. Wilardjo memberikan analogi yang cukup menarik bahwa balon yang ditekan terus akhirnya meletus. Demikian pula masyarakat yang ditindas terus oleh penguasa akhirnya tidak tahan lagi, lalu pecahlah perlawanan. Teori Ign. Ismanto membenarkan hal tersebut. menurut Ismanto, setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi berakhirnya rezim otoritarian, yaitu

  1. Tekanan demokratisasi dari elemen-elemen yang berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi.
  2. Krisis ekonomi.

Dalam teori perubahan sosial, The Arab Spring ini merupakan perubahan sosial yang datangnya dari free market (pasar bebas), bukan perubahan yang dating dari negara yang mana kita ketahui bahwa perubahan sosial itu merupakan keniscayaan. Membahasa perubahan social itu sendiri tidak dapat lepas dari konteks filsafat barat, yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya.

Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa faktor bergejolaknya The Arab Spring sejak awal Januari 2011 lalu karena dua hal.

Pertama, kelompok-kelompok intelektual yang bergerak untuk perubahan rezim (untuk demokrasi) sudah lama tumbuh dan terus bergerak untuk membangun kesadaran masyarakat. Selain itu, inisia inisiatif untuk membangun sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara yang demokratis di negaranegara Arab sudah dilakukan, baik itu datangnya dar pihak luar (asing) maupun dari internal. Hal itu terlihat bahwa pada tahun 1994, Liga Arab telah menerima Piagam Hak Asasi Manusia/human right charter. Langkah ini merupakan salah satu upaya untu membangun sistem pemerintahan yang terbuka (transparan), akuntabel, dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik Maka dari itu, Nader Hashemi berpandangan bahwa The Arab Spring memungkinkan untuk diistilahkan “Fourth  wave of Democratization”, sebagai gelombang keempat demokratisasi .

Kedua, peran media massa. Peran media, selain peran intelektual, sangatlah besar dalam gejolak The Arab Spring di negara-negara Arab yang berlangsung sejak awal 2011 lalu. Karena media memainkan peran kunci itulah sehingga beberapa pengamat menyebutnya dengan istilah “Internet revolutions”. Media massalah yang berfungsi secara efektif dan massif menyampaikan protes dari rakyat terhadap rezim Ben Ali di Tunisia ke seluruh negara-negara Arab, bahkan
dunia. ***

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_dunia_Arab

[2] Ahmad Sahide, Syamsul Hadi, Siti Muti’ah Setiawati dan Bambang Cipto.2015.”The Arab Spring: Membaca Kronologi dan Faktor Penyebabnya”. Jurnal Hubungan Internasional, Vol 4. No 2.

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email this to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • Repository Academic
  • Bincang Dewan Pers : Urgensi Verifikasi Media
  • Bincang Dewan Pers
  • Ancaman Covid-19 Masih Tinggi di Indonesia
  • Rencana Aneksasi Israel terhadap Tepi Barat Berbahaya

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Cancel
%d bloggers like this: