Tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir. Paling jelas telah di Mesir dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari, jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting.
Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir. Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.
Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.
Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling. Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.
Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan. Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.
Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator. Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.
Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.
Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.
Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.
Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.
Next thing yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi. Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetapi hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina.
Tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir. Paling jelas telah di Mesir dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari, jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting.Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir.
Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling.
Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan.
Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator.
Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.
Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.Next thing yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi.
Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetapi hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina.