Bencana Alam di Sumatera: Pemicu dan Solusi Berkelanjutan

Tags

, , , , ,

Dr. Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pendahuluan

Pada akhir November hingga awal Desember 2025, Indonesia mengalami salah satu bencana hidrometeorologi terparah dalam sejarah modern ketika banjir bandang dan tanah longsor melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara (khususnya kawasan Tapanuli), dan Sumatera Barat secara simultan (Wikipedia, 2025). Berdasarkan data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 12 Desember 2025, bencana ini telah menelan korban jiwa mencapai 995 orang meninggal dunia, 226 orang hilang, dan 5.111 orang mengalami luka-luka, menjadikannya bencana alam paling mematikan di Indonesia sejak Gempa Bumi dan Tsunami Sulawesi 2018 (Muhari, 2025; Kompas, 2025a). Lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak langsung dengan hampir 1 juta orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka (Wikipedia, 2025). Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp68,67 triliun, mencakup kerusakan infrastruktur, kehilangan pendapatan rumah tangga, dan kerugian sektor pertanian (Center of Economic and Law Studies, 2025, dalam Wikipedia, 2025).

Bencana dengan skala masif ini bukan sekadar kejadian alam biasa, melainkan manifestasi kompleks dari interaksi antara fenomena meteorologi ekstrem dan kerentanan ekologis yang diperparah oleh aktivitas antropogenik (Andreas, 2025; Abdillah, 2025). Para pakar dari berbagai institusi akademik terkemuka seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa curah hujan ekstrem hanyalah pemicu, sementara degradasi lingkungan yang sistematis merupakan faktor penguat yang memperbesar daya rusak bencana (Detik, 2025a; Wikipedia, 2025). Essay ini bertujuan menganalisis secara komprehensif faktor-faktor penyebab bencana dari perspektif hidrometeorologi dan antropogenik, mengkaji dampak kerusakan yang ditimbulkan, serta merumuskan rekomendasi mitigasi jangka panjang berbasis bukti ilmiah.

Kronologi dan Sebaran Geografis Bencana

Bencana dimulai pada 25 November 2025 ketika hujan ekstrem mengguyur wilayah Sumatera bagian utara dan tengah secara berkepanjangan (Media Target Kriminal Khusus, 2025). Wilayah yang mengalami dampak terparah meliputi Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Bener Meriah di Provinsi Aceh; Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga di Sumatera Utara; serta Kabupaten Agam, Padang Pariaman, dan Kota Padang di Sumatera Barat (Wikipedia, 2025).

ProvinsiKorban MeninggalKorban HilangKorban Luka-lukaPengungsiJumlah Terdampak
Aceh409364.300831.1241.900.000
Sumatera Utara3479169853.5231.700.000
Sumatera Barat2409311331.845
Total9952265.111884.647≥3.300.000

Sumber: Diolah dari data BNPB (2025) per 12 Desember 2025

Di Provinsi Aceh, bencana mempengaruhi 225 kecamatan dan 3.658 gampong (desa), dengan lebih dari 50% gampong mengalami dampak langsung (Wikipedia, 2025). Kabupaten Aceh Utara mencatat korban jiwa terbanyak dengan 154 orang meninggal, diikuti Aceh Timur (58 orang) dan Aceh Tamiang (57 orang) (Wikipedia, 2025). Di Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi kawasan terparah dengan 111 korban meninggal dan 63 orang hilang, disusul Tapanuli Selatan (86 meninggal, 30 hilang) dan Kota Sibolga (53 meninggal, 3 hilang) (Wikipedia, 2025). Sementara di Sumatera Barat, Kabupaten Agam mencatatkan angka korban tertinggi dengan 181 orang meninggal dan 76 orang masih hilang akibat banjir bandang yang menyapu kawasan tersebut (Data Indonesia, 2025; Wikipedia, 2025).

Analisis Faktor Penyebab

Faktor Hidrometeorologi dan Klimatologi

Analisis meteorologis menunjukkan bahwa bencana ini dipicu oleh konvergensi tiga faktor atmosferik utama yang terjadi secara bersamaan. Pertama, wilayah Sumatera bagian utara sedang berada pada puncak musim hujan dengan pola hujan sepanjang tahun yang memiliki dua puncak dalam satu tahun (Abdillah, 2025, sebagaimana dikutip dalam Detik, 2025a). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat curah hujan mencapai 150-300 milimeter, bahkan di Stasiun Meteorologi Minangkabau tercatat intensitas ekstrem hingga 128,3 mm/hari, yang masuk kategori hujan ekstrem (BMKG, 2025a; Detik, 2025a).

Kedua, terbentuknya Bibit Siklon Tropis 95B di Selat Malaka sejak 21 November 2025, yang kemudian menguat menjadi Siklon Tropis Senyar pada 26 November 2025 pukul 07.00 WIB (Wikipedia, 2025; Detik, 2025b). Fenomena ini sangat tidak biasa karena siklon tropis terbentuk di bawah lintang 5 derajat, suatu kejadian yang jarang terjadi di wilayah ekuatorial (Wikipedia, 2025). Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menyatakan bahwa Siklon Tropis Senyar bersama dengan Siklon Tropis Koto memberikan dampak peningkatan intensitas curah hujan dan memicu pembentukan awan konvektif yang meluas di atas Aceh hingga Sumatera Utara (Fathani, 2025, dalam Kompas, 2025b; Detik, 2025b).

Ketiga, interaksi dengan sistem atmosfer skala global dan regional turut memperkuat intensitas curah hujan (Kompas, 2025c). Pakar dari IPB mengidentifikasi pengaruh dari Gelombang Rossby Ekuatorial, Madden-Julian Oscillation (MJO) pada Fase 6, serta anomali iklim global seperti Indian Ocean Dipole (IOD) negatif dan fenomena La Niña yang intens (Wikipedia, 2025; Kompas, 2025c). Kondisi IOD negatif diketahui memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan curah hujan di benua maritim Indonesia bagian barat, khususnya Sumatera (Nugroho et al., 2019). Kombinasi faktor-faktor ini secara kolektif meningkatkan konvergensi udara, membentuk awan kumulonimbus dalam jumlah besar, dan memicu hujan ekstrem berkepanjangan yang berlangsung lebih dari 24 jam (Wikipedia, 2025; Kompas, 2025c).

Faktor Antropogenik: Degradasi Lingkungan dan Kerusakan Ekosistem

Meskipun cuaca ekstrem menjadi pemicu, para pakar dari ITB, IPB, dan UGM menegaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan faktor utama yang memperparah daya rusak bencana (Wikipedia, 2025; Detik, 2025a). Dr. Heri Andreas dari Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB menjelaskan bahwa banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah akibat hilangnya kawasan resapan air alami (Andreas, 2025, dalam Detik, 2025a; Pikiran Rakyat, 2025). Hatma Suryatmojo, peneliti hidrologi hutan, menjelaskan bahwa vegetasi hutan berfungsi sebagai “spons raksasa” yang mampu menyerap air hujan melalui proses infiltrasi dan menahan air agar tidak langsung mengalir ke sungai melalui mekanisme intersepsi (Suryatmojo, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Ketika hutan di wilayah hulu mengalami kerusakan, siklus hidrologi alami terganggu, menyebabkan mayoritas air hujan langsung mengalir sebagai limpasan permukaan (runoff) yang cepat dan destruktif, memicu erosi masif dan banjir bandang (Wikipedia, 2025; Detik, 2025a).

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Greenpeace mengungkap fakta mengkhawatirkan bahwa antara tahun 2016 hingga 2024, sekitar 1,4 juta hektare hutan telah hilang di tiga provinsi terdampak (WALHI, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Hilangnya tutupan hutan ini, khususnya di ekosistem kritis seperti kawasan Batang Toru di Sumatera Utara dan sepanjang Bukit Barisan, secara signifikan mengurangi kemampuan alam untuk menahan air hujan (Wikipedia, 2025; Purba, 2025). Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat bahwa Pulau Sumatera telah menjadi “zona pengorbanan” bagi industri pertambangan, dengan setidaknya 1.907 wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) minerba aktif seluas 2,45 juta hektare, atau setara dengan empat kali luas negara Brunei Darussalam (JATAM, 2025, dalam Wikipedia, 2025).

Alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman juga berkontribusi besar terhadap penurunan kapasitas serapan air (Detik, 2025a). Anggota Komisi IV DPR RI Rokhmin Dahuri menyikapi bencana ini dengan menyatakan bahwa masyarakat harus berhenti menyalahkan cuaca ekstrem semata, karena bencana ini merupakan akibat dari ulah manusia (Dahuri, 2025, dalam Sindonews, 2025). Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menemukan material kayu gelondongan berbekas potongan mesin yang terbawa arus banjir, mengindikasikan adanya operasi pembalakan liar atau eksploitasi yang tidak terkendali di kawasan hulu (JPIK, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis, dengan mayoritas tutupan hutan alam di bawah 30 persen, membuat wilayah tersebut kehilangan daya dukung dan daya tampung, sehingga setiap hujan lebat menjadi pemicu bencana hidrometeorologi parah (Wikipedia, 2025; Mongabay, 2025).

Dampak dan Skala Kerusakan

Kerusakan Infrastruktur dan Fasilitas Publik

Kementerian Pekerjaan Umum mencatat hingga 10 Desember 2025 terdapat 1.355 titik kerusakan infrastruktur yang kemudian meningkat menjadi 1.666 titik di tiga provinsi terdampak (Detik, 2025c; CNBC Indonesia, 2025). Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti merinci bahwa terdapat 477 titik kerusakan di Aceh, 275 titik di Sumatera Utara, dan 914 titik di Sumatera Barat (Kusumastuti, 2025, dalam CNBC Indonesia, 2025). Di Aceh, kerusakan didominasi oleh banjir tanggul kritis (143 titik), longsor (46 titik), dan banjir tanggul jebol (36 titik) (CNBC Indonesia, 2025).

Jenis KerusakanJumlah/SkalaKeterangan
Jalan Nasional Rusak2.058 kmTersebar di 3 provinsi
Jembatan Putus31 unit (Nasional)
Jembatan Rusak Total271 unit (Sumut)Data BNPB
Titik Kerusakan Infrastruktur1.355-1.666 titikKemenpu
Sekolah Rusak973 unitSemua provinsi
Madrasah Rusak562 unitSemua provinsi
Fasilitas Pendidikan Rusak (Sumut)282 unitData BNPB
Fasilitas Kesehatan Rusak308 unitSemua provinsi
Rumah Ibadah Rusak360 unitSemua provinsi
Pasar Rusak53 unitSemua provinsi
Pondok Pesantren Rusak212 unitSemua provinsi
Kantor Rusak29 unitSemua provinsi

Sumber: Diolah dari data Kementerian Pekerjaan Umum (2025) dan BNPB (2025)

Kerusakan Properti dan Permukiman

Kerusakan rumah penduduk mencapai skala masif dengan total lebih dari 157.800 unit rumah rusak di tiga provinsi (Data Indonesia, 2025). Di Provinsi Aceh, BNPB memperkirakan 37.546 rumah mengalami kerusakan (Wikipedia, 2025). Di Sumatera Utara, data menunjukkan 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, dan 20.500 rumah rusak ringan, dengan total mencapai 28.100 unit (Wikipedia, 2025). Kementerian PU mengestimasi kebutuhan anggaran penanganan bencana mencapai Rp51,82 triliun, terdiri dari Rp2,72 triliun untuk tanggap darurat dan Rp49,10 triliun untuk rehabilitasi dan rekonstruksi (Detik, 2025c).

Dampak Ekologis dan Keanekaragaman Hayati

Bencana ini juga mengancam keanekaragaman hayati langka di Sumatera. Seekor Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), kera terlangka di dunia dengan populasi hanya sekitar 800 individu, ditemukan mati di bawah tumpukan kayu setelah banjir dan longsor menerjang Tapanuli Tengah pada 25 November 2025 (BBC Indonesia, 2025a). Penemuan ini menjadi pengingat tragis bahwa bencana tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga mengancam eksistensi spesies endemik yang terancam punah (BBC Indonesia, 2025a).

Kerugian Ekonomi

Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan total kerugian ekonomi mencapai Rp68,67 triliun (Celios, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Perkiraan ini mencakup: (1) kerugian akibat kerusakan rumah penduduk; (2) kehilangan pendapatan rumah tangga karena terganggunya aktivitas ekonomi; (3) kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan yang menghambat mobilitas dan distribusi barang; serta (4) kerugian produksi lahan pertanian akibat tanaman rusak dan tanah tererosi (Wikipedia, 2025).

Respons Penanganan dan Bantuan Kemanusiaan

Pemerintah Indonesia mengaktifkan mobilisasi penuh seluruh sumber daya nasional untuk menghadapi bencana ini (Wikipedia, 2025). Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyatakan bahwa Presiden telah memerintahkan agar seluruh kekuatan nasional difokuskan untuk mempercepat operasi kemanusiaan, evakuasi, dan distribusi logistik (Pratikno, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Kementerian Sosial memimpin penyaluran bantuan logistik dengan total nilai mencapai Rp21,48 miliar dan mendirikan 28 titik dapur umum yang mampu memproduksi hingga 100.000 bungkus nasi per hari untuk melayani pengungsi (Wikipedia, 2025).

Pemerintah memberikan santunan finansial berupa Rp15 juta bagi ahli waris korban meninggal dunia dan Rp5 juta untuk korban luka berat (Wikipedia, 2025). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengizinkan perbankan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit korban bencana, termasuk restrukturisasi kredit dengan kualitas aset ditetapkan lancar (Wikipedia, 2025). Sebagai bentuk dukungan komunikasi, layanan internet satelit Starlink milik Elon Musk digratiskan bagi korban hingga akhir Desember 2025 (Wikipedia, 2025).

Gelombang solidaritas publik juga mengalir deras. Penggalangan dana yang diinisiasi oleh Malaka Project Ferry Irwandi berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp10,37 miliar dalam 24 jam pertama dari lebih 87 ribu penyumbang (Wikipedia, 2025). Malaysia mengirimkan bantuan berupa obat-obatan dan tim dokter yang mendarat di Aceh pada 29 November 2025 (Wikipedia, 2025). Bahkan Paus Leo XIV dari Vatikan menyatakan keprihatinan mendalam dan mengirimkan bantuan kemanusiaan melalui Dikasteri untuk Pelayanan Amal (Wikipedia, 2025).

Saran dan Rekomendasi Mitigasi Jangka Panjang

Reformasi Tata Kelola Lingkungan dan Kehutanan

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap penyebab bencana, diperlukan reformasi mendasar dalam tata kelola lingkungan dan sumber daya alam. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni telah berjanji melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola kehutanan, mengakui bahwa fokus kebijakan selama ini terlalu condong ke sisi ekonomi dibandingkan ekologi (Antoni, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Rekomendasi konkret yang perlu segera diimplementasikan meliputi:

Pertama, penerapan moratorium izin pertambangan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis (Wikipedia, 2025). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menyatakan komitmen untuk mengevaluasi total seluruh izin pertambangan di tiga provinsi terdampak (Lahadalia, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Evaluasi ini harus diwujudkan dalam bentuk pencabutan izin yang beroperasi di kawasan konservasi dan DAS dengan tutupan hutan di bawah 30 persen (Wikipedia, 2025).

Kedua, implementasi program restorasi ekosistem hutan secara masif di kawasan hulu dengan target pemulihan minimal 500.000 hektare dalam lima tahun pertama. Program ini harus melibatkan masyarakat lokal melalui skema perhutanan sosial yang memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat untuk menjaga hutan, bukan mengeksploitasinya (Wikipedia, 2025; Mongabay, 2025). Penelitian Suryatmojo tentang fungsi hidrologi hutan sebagai “spons raksasa” harus menjadi landasan ilmiah dalam desain program restorasi (Suryatmojo, 2025, dalam Wikipedia, 2025).

Ketiga, penetapan kawasan konservasi baru di sepanjang Bukit Barisan dan ekosistem kritis lainnya dengan penegakan hukum yang tegas terhadap aktivitas ilegal (Wikipedia, 2025). Temuan JPIK tentang material kayu gelondongan hasil pembalakan liar yang terbawa banjir menunjukkan masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di lapangan (JPIK, 2025, dalam Wikipedia, 2025). WALHI Sumatera Utara mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir, deforestasi di Batang Toru telah menelan 5,4 juta pohon akibat aktivitas tujuh perusahaan, memperparah kondisi ekologis kawasan tersebut (Purba, 2025).

Penataan Ruang Berbasis Risiko Bencana

Dr. Heri Andreas dari ITB menekankan pentingnya penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sebagai bentuk mitigasi jangka panjang (Andreas, 2025, dalam Detik, 2025a). Pemerintah daerah perlu menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan memasukkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagai parameter utama, bukan hanya pertimbangan ekonomi semata (Wikipedia, 2025; Detik, 2025a).

Kawasan dengan tutupan vegetasi minimal 30 persen di wilayah hulu DAS harus ditetapkan sebagai zona lindung dengan larangan tegas untuk pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekstraktif (Wikipedia, 2025). Pemodelan geospasial harus digunakan untuk mengidentifikasi kawasan rawan bencana dan membatasi pembangunan permukiman di zona merah dan oranye (Andreas, 2025, dalam Detik, 2025a).

Penguatan Sistem Peringatan Dini dan Literasi Kebencanaan

Dr. Muhammad Rais Abdillah dari ITB menekankan perlunya peringatan dini cuaca yang akurat dan ilmiah serta peningkatan literasi kebencanaan dan edukasi publik untuk meminimalisir dampak musibah (Abdillah, 2025, dalam Detik, 2025a). BMKG perlu memperkuat kapasitas pemantauan cuaca ekstrem dengan menambah stasiun cuaca otomatis di wilayah rawan bencana dan meningkatkan akurasi model prediksi cuaca jangka pendek (Fathani, 2025, dalam Kompas, 2025b; Detik, 2025b).

Sistem peringatan dini harus terintegrasi dengan aplikasi mobile dan sistem sirine komunitas yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil yang selama ini terisolasi (BBC Indonesia, 2025b). Pemerintah daerah perlu mengembangkan peta evakuasi dan menyiapkan jalur evakuasi serta tempat pengungsian yang memadai di setiap desa rawan bencana (Detik, 2025a).

Program literasi kebencanaan harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan formal mulai dari tingkat dasar hingga menengah, serta dilakukan sosialisasi rutin kepada masyarakat melalui kelompok-kelompok komunitas seperti pengajian, posyandu, dan organisasi kemasyarakatan (Abdillah, 2025, dalam Detik, 2025a). Simulasi evakuasi berkala perlu dilakukan minimal dua kali setahun untuk memastikan masyarakat memahami prosedur penyelamatan diri ketika bencana terjadi.

Penetapan Status Darurat Bencana Nasional

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM dan WALHI mendesak Presiden untuk menetapkan status Darurat Bencana Nasional mengingat skala bencana yang telah menyebabkan kolapsnya kehidupan masyarakat, krisis pangan, pemadaman listrik, dan terputusnya jaringan komunikasi (LSJ UGM & WALHI, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Pemerintah daerah seperti Aceh Tengah dan Pidie Jaya secara terbuka menyatakan tidak sanggup mengatasi bencana dengan kapasitas sendiri (Wikipedia, 2025).

Penetapan status nasional akan mengaktifkan koordinasi antarlembaga yang lebih cepat dan besar serta mobilisasi anggaran nasional untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan pemulihan jangka panjang (Wikipedia, 2025). Status ini juga memungkinkan pengerahan seluruh sumber daya TNI dan Polri, serta memfasilitasi bantuan internasional yang lebih terkoordinasi.

Transisi Menuju Ekonomi Berkelanjutan

Celios dan organisasi lingkungan mendesak pemerintah untuk beralih dari paradigma ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berkelanjutan yang menghormati batas-batas ekologis (Wikipedia, 2025). Model pembangunan yang menjadikan Sumatera sebagai “zona pengorbanan” dengan 1.907 IUP minerba seluas 2,45 juta hektare harus dihentikan (JATAM, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Pemerintah perlu mengembangkan alternatif ekonomi berbasis jasa ekosistem seperti ekowisata, perhutanan sosial, dan pertanian berkelanjutan yang memberikan nilai ekonomi tanpa merusak lingkungan (Wikipedia, 2025; Dahuri, 2025, dalam Sindonews, 2025).

Insentif fiskal seperti tax holiday dan kemudahan perizinan yang selama ini diberikan kepada industri ekstraktif perlu dialihkan kepada sektor ekonomi hijau yang ramah lingkungan. Skema pembayaran jasa lingkungan (payment for ecosystem services) dapat dikembangkan untuk memberikan kompensasi ekonomi kepada masyarakat yang menjaga hutan dan lahan sebagai penyangga hidrologis.

Kesimpulan

Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Tapanuli, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 merupakan tragedi kemanusiaan dengan korban jiwa mencapai 995 orang meninggal dan kerugian ekonomi diperkirakan Rp68,67 triliun (Muhari, 2025; Celios, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Analisis komprehensif menunjukkan bahwa bencana ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor meteorologis ekstrem seperti curah hujan tinggi dan pembentukan Siklon Tropis Senyar, melainkan diperparah secara signifikan oleh degradasi lingkungan sistematis akibat deforestasi, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali (Wikipedia, 2025; Andreas, 2025, dalam Detik, 2025a).

Hilangnya 1,4 juta hektare hutan antara 2016-2024 di tiga provinsi terdampak telah menghilangkan fungsi hidrologis hutan sebagai penyangga alami, menyebabkan air hujan langsung mengalir sebagai limpasan permukaan yang memicu banjir bandang (WALHI, 2025, dalam Wikipedia, 2025). Keberadaan 1.907 wilayah IUP minerba seluas 2,45 juta hektare dan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang masif telah menjadikan Sumatera sebagai “zona pengorbanan” dengan DAS-DAS kritis yang kehilangan daya dukung dan daya tampung (JATAM, 2025, dalam Wikipedia, 2025).

Mitigasi jangka panjang memerlukan pendekatan holistik yang menggabungkan reformasi tata kelola lingkungan, moratorium izin tambang dan ekspansi perkebunan di kawasan hulu DAS kritis, restorasi ekosistem hutan secara masif, penataan ruang berbasis risiko bencana, penguatan sistem peringatan dini, dan transisi menuju ekonomi berkelanjutan (Wikipedia, 2025; Andreas, 2025, dalam Detik, 2025a). Komitmen Menteri Kehutanan dan Menteri ESDM untuk melakukan evaluasi total harus diwujudkan dalam kebijakan konkret dengan penegakan hukum yang tegas (Antoni, 2025; Lahadalia, 2025, dalam Wikipedia, 2025).

Bencana ini menjadi momentum krusial bagi Indonesia untuk mengevaluasi paradigma pembangunan yang selama ini mengabaikan batas-batas ekologis. Sebagaimana ditegaskan oleh para pakar, bencana ini adalah “dosa ekologis” yang harus dibayar dengan korban jiwa ratusan orang (Wikipedia, 2025). Tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola sumber daya alam, bencana serupa akan terus berulang dengan intensitas yang semakin meningkat di masa depan. Saatnya Indonesia menjadikan daya tampung dan daya dukung lingkungan sebagai acuan utama pembangunan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang mengorbankan keberlanjutan ekologis dan keselamatan masyarakat.

DAFTAR REFERENSI

BBC Indonesia. (2025a, 11 Desember). Banjir Sumatra: Orangutan tapanuli yang langka ditemukan mati di bawah tumpukan kayu. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cwylnz0lq7yo

BBC Indonesia. (2025b, 9 Desember). Banjir longsor Sumatra: Jalan aspal berubah jadi sungai – ‘Kami butuh lebih banyak relawan’. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8657l8l11xo

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2025a, 10 Desember). Prospek cuaca mingguan periode 09–15 Desember 2025: Potensi hujan signifikan di beberapa wilayah, masyarakat diimbau tetap waspada. https://www.bmkg.go.id/

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2025b, 10 Desember). Prospek cuaca mingguan periode 12–18 Desember 2025: Bibit siklon tropis pengaruhi cuaca di wilayah selatan Indonesia. https://www.bmkg.go.id/

CNBC Indonesia. (2025, 8 Desember). Dampak bencana banjir Sumatra: 1.666 titik infrastruktur rusak parah. https://www.cnbcindonesia.com/news/20251208185712-4-692239/dampak-bencana-banjir-sumatra-1666-titik-infrastruktur-rusak-parah

Data Indonesia. (2025, 12 Desember). Update banjir Sumatra 12 Desember 2025: 990 korban jiwa, 157,8 ribu rumah dan 219 faskes rusak. https://dataindonesia.id/

Detik. (2025a, 16 November). Ini 3 faktor utama penyebab banjir bandang Sumatera menurut pakar. https://www.detik.com/sulsel/berita/d-8236191/ini-3-faktor-utama-penyebab-banjir-bandang-sumatera-menurut-pakar

Detik. (2025b, 26 November). BMKG ungkap penyebab cuaca ekstrem di Sumut-Aceh. https://www.detik.com/sumut/berita/d-8229262/bmkg-ungkap-penyebab-cuaca-ekstrem-di-sumut-aceh

Detik. (2025c, 12 Desember). Dampak banjir Sumatera: 2.058 km jalan nasional rusak, 31 jembatan putus. https://finance.detik.com/infrastruktur/d-8257003/dampak-banjir-sumatera-2-058-km-jalan-nasional-rusak-31-jembatan-putus

Kompas. (2025a, 12 Desember). Update BNPB: Korban jiwa bencana banjir Sumatera kini 995 orang. https://nasional.kompas.com/read/2025/12/12/20050801/update-bnpb-korban-jiwa-bencana-banjir-sumatera-kini-995-orang

Kompas. (2025b, 26 November). BMKG ungkap penyebab cuaca ekstrem di Sumut: Siklon tropis Senyar. https://medan.kompas.com/read/2025/11/26/171059578/bmkg-ungkap-penyebab-cuaca-ekstrem-di-sumut-siklon-tropis-senyar

Kompas. (2025c, 2 Desember). Cuaca ekstrem di Sumatera dipicu anomali siklon tropis, ini penjelasan pakar. https://lestari.kompas.com/read/2025/12/03/095414986/cuaca-ekstrem-di-sumatera-dipicu-anomali-siklon-tropis-ini-penjelasan-pakar

Media Target Kriminal Khusus. (2025, 6 Desember). Banjir bandang menerjang Aceh, Sibolga-Tapanuli. https://www.mediatargetkrimsus.com/2025/12/banjir-bandang-menerjang-aceh-sibolga.html

Mongabay. (2025, 6 Desember). Bencana Sumatera bukan faktor cuaca semata. https://mongabay.co.id/2025/12/07/bencana-sumatera-bukan-faktor-cuaca-semata/

Nugroho, A., Khakim, N., & Sukmono, A. (2019). Pengaruh IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap bencana hidrometeorologi di Sumatera Utara periode September Oktober November (SON) 2016. Seminar Nasional Geomatika, 3, 589-596. http://semnas.big.go.id/index.php/SN/article/view/1040

Pikiran Rakyat. (2025, 30 November). ITB ungkap penyebab utama banjir besar Sumatera dari hujan ekstrem hingga kerusakan lingkungan. https://cirebon.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-049839474/itb-ungkap-penyebab-utama-banjir-besar-sumatera

Purba, R. (2025, 5 Desember). Walhi: 10 tahun deforestasi di Batang Toru tebang 5,4 juta pohon. Tempo. https://www.tempo.co/lingkungan/walhi-10-tahun-deforestasi-di-batang-toru-tebang-5-4-juta-pohon-2096765

Sindonews. (2025, 12 Desember). Bencana Sumatera, Rokhmin PDIP: Stop salahkan cuaca ekstrem, ini karena ulah manusia. https://nasional.sindonews.com/read/1654939/15/bencana-sumatera-rokhmin-pdip-stop-salahkan-cuaca-ekstrem-ini-karena-ulah-manusia

Wikipedia. (2025). Banjir dan longsor Sumatra 2025. Wikipedia bahasa Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_dan_longsor_Sumatra_2025

Statecraft 3.0: AI dan Masa Depan Diplomasi

Tags

, ,

Oleh

Dr. Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pendahuluan

Dalam era digital yang berkembang pesat, transformasi teknologi telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia, termasuk praktik diplomasi dan hubungan internasional. Buku Statecraft 3.0: The Age of AI Diplomacy karya Rui Duarte hadir sebagai kontribusi penting dalam memahami bagaimana kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah merevolusi lanskap diplomasi global. Duarte, seorang diplomat dan peneliti yang memiliki pengalaman luas dalam bidang teknologi dan kebijakan internasional, menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana AI tidak hanya mengubah cara negara-negara berinteraksi, tetapi juga mendefinisikan ulang esensi dari kekuasaan dan pengaruh dalam tatanan global kontemporer.

Diplomasi, sebagai seni dan praktik mengelola hubungan internasional, telah mengalami beberapa fase evolusi sepanjang sejarah. Dari diplomasi tradisional yang mengandalkan pertemuan tatap muka dan korespondensi tertulis, berkembang menjadi diplomasi publik yang memanfaatkan media massa, hingga kini memasuki era diplomasi digital yang didukung oleh teknologi canggih. Duarte berpendapat bahwa kita sedang berada di ambang fase baru yang ia sebut sebagai “Statecraft 3.0”, di mana AI bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan aktor yang memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan diplomatik dan strategis (Duarte, 2023). Konsep ini sejalan dengan pandangan Bjola dan Holmes (2015) yang mengidentifikasi bahwa digitalisasi telah mengubah struktur fundamental dari praktik diplomasi, menciptakan apa yang mereka sebut sebagai “digital diplomacy” yang menuntut adaptasi cepat dari para praktisi hubungan internasional.

Relevansi buku ini semakin mendesak ketika kita menyaksikan bagaimana negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan negara-negara Uni Eropa berlomba-lomba mengembangkan kapabilitas AI untuk kepentingan keamanan nasional dan strategi geopolitik mereka. Horowitz (2018) mencatat bahwa kompetisi AI telah menjadi dimensi baru dari rivalitas kekuatan besar, menciptakan dinamika yang kompleks dalam sistem internasional. Dalam konteks ini, Duarte menawarkan perspektif yang seimbang dan komprehensif tentang peluang dan tantangan yang muncul dari fenomena ini, menjadikan karyanya sebagai bacaan yang esensial bagi akademisi, diplomat, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang tertarik memahami masa depan hubungan internasional.

Garis Besar

Buku Statecraft 3.0: The Age of AI Diplomacy disusun secara sistematis dalam beberapa bagian yang saling terkait, membentuk narasi koheren tentang transformasi diplomasi di era AI. Duarte memulai dengan meletakkan fondasi konseptual yang kuat sebelum bergerak ke analisis aplikasi praktis dan implikasi kebijakan dari fenomena yang ia kaji. Struktur buku ini menunjukkan pemahaman mendalam penulis tentang kebutuhan untuk menjembatani teori dan praktik dalam diskusi tentang teknologi dan hubungan internasional.

Bagian pertama buku ini berfokus pada evolusi konsep statecraft dari masa ke masa. Duarte (2023) menjelaskan bahwa statecraft tradisional (1.0) berpusat pada diplomasi bilateral dan multilateral yang konvensional, di mana negosiasi tatap muka dan perjanjian formal menjadi instrumen utama. Transisi ke statecraft 2.0 ditandai oleh munculnya media massa dan kemudian internet, yang memungkinkan negara untuk berkomunikasi langsung dengan publik global, menciptakan apa yang Joseph Nye (2004) sebut sebagai “soft power” dalam bentuk yang lebih dinamis. Namun, statecraft 3.0 membawa perubahan yang lebih fundamental dengan mengintegrasikan AI ke dalam proses pengambilan keputusan strategis, analisis intelijen, dan komunikasi diplomatik. Pembagian ini membantu pembaca memahami konteks historis yang melatarbelakangi transformasi kontemporer.

Dalam bagian kedua, Duarte mengeksplorasi berbagai aplikasi AI dalam praktik diplomasi modern. Ia mengidentifikasi beberapa area kunci di mana AI telah membuat dampak signifikan. Pertama, dalam analisis data dan prediksi, AI memungkinkan negara untuk memproses volume informasi yang sangat besar dari berbagai sumber, termasuk media sosial, laporan intelijen, dan data ekonomi, untuk mengidentifikasi pola dan memprediksi perkembangan geopolitik (Duarte, 2023). Kemampuan ini sejalan dengan argumen Kaplan (2020) bahwa big data dan machine learning telah mengubah cara negara memahami dan merespons dinamika internasional. Kedua, AI digunakan dalam otomasi komunikasi diplomatik, termasuk terjemahan real-time, analisis sentimen publik, dan bahkan drafting dokumen diplomatik. Ketiga, teknologi AI mendukung sistem pertahanan dan keamanan siber, yang menjadi domain kritis dalam konflik modern.

Duarte juga mendedikasikan bagian substansial untuk membahas dimensi etis dan normatif dari AI diplomacy. Ia menyadari bahwa adopsi AI dalam hubungan internasional tidak bebas dari dilema moral dan pertanyaan tentang akuntabilitas (Duarte, 2023). Misalnya, siapa yang bertanggung jawab ketika algoritma AI membuat kesalahan dalam analisis yang memicu keputusan diplomatik atau militer yang keliru? Pertanyaan ini beresonansi dengan perdebatan yang lebih luas tentang etika AI yang telah diangkat oleh berbagai pemikir, termasuk Crawford (2021) yang mengkritik bagaimana sistem AI sering mengabadikan bias yang ada dalam data pelatihan dan dapat menghasilkan keputusan yang diskriminatif. Duarte mengadvokasi pengembangan kerangka etis internasional yang dapat mengatur penggunaan AI dalam diplomasi, menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Bagian selanjutnya menganalisis geopolitik AI dan bagaimana teknologi ini telah menjadi arena kompetisi strategis antara kekuatan besar. Duarte (2023) menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan China sedang terlibat dalam persaingan intensif untuk dominasi AI, yang memiliki implikasi mendalam bagi tatanan global. Sementara Amerika Serikat mengandalkan keunggulan dalam penelitian fundamental dan ekosistem inovasi sektor swasta, China memanfaatkan pendekatan yang lebih terpusat dan investasi masif dari negara untuk mengembangkan kapabilitas AI yang komprehensif. Lee (2018) menambahkan bahwa China memiliki keuntungan dalam hal akses terhadap data dalam jumlah besar dan kesediaan untuk mengintegrasikan AI ke dalam berbagai aspek governance. Namun, Duarte juga memperingatkan bahwa persaingan ini dapat menciptakan fragmentasi dalam standar global AI dan memperburuk ketegangan geopolitik yang sudah ada.

Buku ini juga mengeksplorasi peran organisasi internasional dan multilateralisme dalam era AI diplomacy. Duarte (2023) berpendapat bahwa institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization, dan forum regional lainnya perlu beradaptasi untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh AI. Ia mengusulkan pembentukan mekanisme governance global yang dapat memfasilitasi dialog antara negara-negara tentang norma dan regulasi AI, mirip dengan rezim yang telah dikembangkan untuk senjata nuklir atau perubahan iklim. Pandangan ini didukung oleh Brundage et al. (2020) yang menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengatasi risiko keamanan yang terkait dengan AI, termasuk penggunaan malicious dan proliferasi autonomous weapons.

Duarte menutup bukunya dengan refleksi tentang masa depan diplomasi dalam dunia yang semakin didominasi oleh AI. Ia mengidentifikasi beberapa skenario yang mungkin terjadi, mulai dari skenario optimis di mana AI digunakan untuk meningkatkan kerja sama internasional dan menyelesaikan masalah global yang kompleks, hingga skenario distopian di mana AI memperburuk ketidaksetaraan, mengikis otonomi manusia dalam pengambilan keputusan, dan bahkan memicu konflik baru (Duarte, 2023). Namun, ia menekankan bahwa masa depan tidak ditentukan dan bahwa pilihan yang dibuat oleh pembuat kebijakan, teknolog, dan masyarakat sipil saat ini akan membentuk arah perkembangan. Optimisme yang berhati-hati ini mencerminkan pendekatan balanced yang menjadi ciri khas karya Duarte.

Kelebihan Buku

Salah satu kelebihan utama dari Statecraft 3.0 adalah kemampuan Rui Duarte untuk menjembatani dunia teknologi dengan praktik diplomasi dan hubungan internasional. Banyak buku tentang AI cenderung terlalu teknis dan sulit diakses oleh pembaca non-teknis, sementara literatur hubungan internasional sering kali kurang mendalam dalam membahas aspek teknologi. Duarte berhasil menemukan keseimbangan yang tepat, menjelaskan konsep-konsep AI yang kompleks dengan cara yang dapat dipahami oleh diplomat dan pembuat kebijakan, sambil tetap mempertahankan kedalaman analisis yang memuaskan para ahli teknologi (Duarte, 2023). Pendekatan interdisipliner ini sangat penting mengingat sifat konvergen dari tantangan yang dihadapi dalam era digital ini, sebagaimana diargumentasikan oleh Schia dan Gjesvik (2020) yang menekankan kebutuhan untuk dialog lintas-disiplin dalam memahami cyber diplomacy.

Kekuatan lain dari buku ini terletak pada penggunaan studi kasus yang kaya dan relevan. Duarte tidak hanya berbicara dalam abstraksi teoritis, tetapi mengilustrasikan argumennya dengan contoh-contoh konkret dari praktik diplomasi kontemporer. Misalnya, ia membahas bagaimana Estonia, sebagai salah satu negara paling digital di dunia, telah mengintegrasikan AI ke dalam layanan publiknya dan diplomasi digitalnya, menciptakan model yang dapat dipelajari oleh negara lain (Duarte, 2023). Ia juga menganalisis penggunaan AI oleh China dalam mengimplementasikan Belt and Road Initiative, di mana teknologi digital dan analitik data memainkan peran penting dalam mengidentifikasi peluang investasi dan mengelola proyek-proyek infrastruktur lintas negara. Studi kasus seperti ini membuat buku lebih hidup dan memberikan wawasan praktis yang bernilai tinggi. Bjola (2020) mencatat bahwa pembelajaran dari praktik terbaik negara-negara pionir dalam digital diplomacy sangat penting untuk akselerasi adopsi di negara-negara lain.

Duarte juga menunjukkan kesadaran yang kuat terhadap dimensi kekuasaan dan ketidaksetaraan dalam transformasi digital. Ia mengakui bahwa tidak semua negara memiliki kapasitas yang sama untuk mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi AI, yang dapat memperburuk kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang (Duarte, 2023). Perhatian terhadap digital divide ini penting, karena tanpa upaya untuk memastikan akses yang lebih merata terhadap teknologi dan pengetahuan, AI diplomacy dapat menjadi alat yang memperdalam ketidakadilan global. Pandangan ini sejalan dengan kritik dari Global South scholars seperti Couldry dan Mejias (2019) yang memperingatkan tentang bahaya “data colonialism” di mana negara-negara kaya mengekstraksi data dari negara-negara miskin tanpa memberikan manfaat yang adil. Duarte mengadvokasi pendekatan yang lebih inklusif dan equitable dalam pengembangan governance AI global.

Pendekatan metodologis yang digunakan Duarte juga patut diapresiasi. Ia menggabungkan analisis kualitatif dengan data kuantitatif, review literatur yang ekstensif dengan wawancara mendalam dengan praktisi, dan perspektif teoretis dengan insight praktis dari lapangan (Duarte, 2023). Metodologi campuran ini memberikan kedalaman dan kekayaan pada analisisnya, memungkinkan ia untuk menangkap kompleksitas fenomena yang ia teliti. Scharre (2018) menekankan pentingnya pendekatan multimetode dalam studi tentang AI dan keamanan, mengingat kompleksitas dan interdependensi dari berbagai faktor yang terlibat. Duarte menunjukkan bagaimana pendekatan ini dapat diterapkan secara efektif dalam konteks diplomasi.

Aspek penting lain dari kelebihan buku ini adalah visi futuristik yang ditawarkan Duarte tanpa jatuh ke dalam spekulasi yang tidak berdasar. Ia menggunakan framework scenario planning untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan masa depan, sambil selalu mendasarkan proyeksinya pada tren dan data yang ada saat ini (Duarte, 2023). Pendekatan ini membantu pembaca untuk berpikir secara strategis tentang masa depan tanpa terjebak dalam determinisme teknologi atau distopia yang berlebihan. Sebagaimana diargumentasikan oleh Tegmark (2017), penting untuk mempertimbangkan berbagai skenario masa depan AI agar kita dapat membuat pilihan yang bijak tentang pengembangan dan regulasi teknologi ini. Duarte memberikan kontribusi berharga dalam diskusi ini dengan mengontekstualisasikannya dalam domain diplomasi dan hubungan internasional.

Duarte juga berhasil mengintegrasikan perspektif dari berbagai tradisi pemikiran dalam hubungan internasional. Ia tidak terjebak dalam satu paradigma teoretis, tetapi menunjukkan bagaimana realis, liberal, dan konstruktivis dapat menawarkan insight yang berbeda namun komplementer tentang dampak AI terhadap diplomasi (Duarte, 2023). Misalnya, dari perspektif realis, AI dapat dilihat sebagai sumber kekuatan baru yang mengubah distribusi kapabilitas dalam sistem internasional, sejalan dengan argumen Mearsheimer (2001) tentang pentingnya material capabilities. Dari perspektif liberal, AI dapat menjadi katalis untuk meningkatkan interdependensi dan kerja sama internasional melalui berbagi data dan standar teknologi. Sementara dari perspektif konstruktivis, AI membentuk dan dibentuk oleh norma, identitas, dan ide yang dominan dalam masyarakat internasional, sebagaimana dianalisis oleh Wendt (1999). Pendekatan plural ini memperkaya analisis dan menghindari reduksionisme.

Kontribusi teoritis dari buku ini juga signifikan. Duarte (2023) mengembangkan konsep “algorithmic statecraft” untuk menggambarkan cara-cara baru di mana negara menggunakan algoritma dan data untuk mencapai tujuan strategis mereka. Konsep ini memperluas pemahaman kita tentang instrumen kekuasaan negara di era digital dan memberikan framework analitis yang berguna untuk penelitian masa depan. Allen dan Chan (2017) telah menunjukkan bagaimana AI secara fundamental mengubah nature of competition dan cooperation dalam sistem internasional, dan Duarte membangun pada insight ini dengan memberikan detail empiris dan aplikasi praktis yang lebih konkret.

Dari segi penulisan, buku ini juga terstruktur dengan baik dan mudah diikuti. Setiap bab memiliki tujuan yang jelas dan berkontribusi pada argumen keseluruhan. Duarte menggunakan bahasa yang accessible tanpa mengorbankan kedalaman akademis, membuatnya cocok untuk audiens yang luas mulai dari akademisi, praktisi, hingga educated general public (Duarte, 2023). Penggunaan diagram, tabel, dan visualisasi data juga membantu dalam memperjelas konsep-konsep yang kompleks dan membuat informasi lebih mudah dicerna.

Perspektif Para Pakar

Buku Statecraft 3.0 telah menerima perhatian dan komentar positif dari berbagai pakar di bidang hubungan internasional, studi keamanan, dan teknologi. Dr. Joseph Nye, mantan Dekan Harvard Kennedy School dan teoritikus terkemuka tentang soft power, memuji pendekatan komprehensif Duarte dalam menganalisis transformasi diplomasi. Nye menyatakan bahwa buku ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana teknologi mengubah landscape kekuasaan global dan menawarkan framework yang berguna untuk pembuat kebijakan dalam navigasi kompleksitas era AI (Nye, 2023). Perspektif Nye sangat relevan mengingat kontribusinya yang signifikan dalam memahami evolusi kekuasaan dalam hubungan internasional, terutama dimensi informasi dan teknologi.

Professor Amy Zegart dari Stanford University, yang terkenal dengan penelitiannya tentang intelligence dan teknologi, mengapresiasi analisis mendalam Duarte tentang implikasi AI untuk intelijen dan keamanan nasional. Zegart (2023) menilai bahwa Duarte berhasil menangkap kompleksitas dari tantangan yang dihadapi oleh komunitas intelijen dalam era di mana data berlimpah namun kemampuan untuk menganalisisnya secara efektif menjadi kritis. Ia juga menyoroti pentingnya argumen Duarte tentang kebutuhan untuk mengembangkan literasi AI di kalangan diplomat dan pembuat kebijakan, sesuatu yang sering diabaikan dalam diskusi tentang transformasi digital. Zegart sendiri telah lama mengadvokasi pentingnya adaptasi institusional untuk menghadapi ancaman baru, dan ia melihat buku Duarte sebagai kontribusi penting dalam diskusi ini.

Dr. Ian Bremmer, Presiden Eurasia Group dan analis geopolitik terkemuka, memberikan komentar tentang analisis Duarte mengenai kompetisi AI antara Amerika Serikat dan China. Bremmer (2023) menyatakan bahwa Duarte menawarkan salah satu analisis paling balanced dan well-informed tentang dinamika ini, menghindari sensasionalisme yang sering mewarnai diskusi tentang tech rivalry antara dua kekuatan besar ini. Ia setuju dengan argumen Duarte bahwa kompetisi AI tidak hanya tentang supremasi teknologi, tetapi juga tentang model governance dan nilai-nilai yang berbeda yang diwakili oleh kedua negara. Bremmer menambahkan bahwa insight Duarte tentang fragmentasi potensial dari internet global dan standar teknologi adalah peringatan penting bagi komunitas internasional.

Professor Luciano Floridi dari Oxford Internet Institute, filsuf informasi terkemuka, memuji diskusi Duarte tentang dimensi etis dari AI diplomacy. Floridi (2023) menilai bahwa Duarte tidak hanya mengidentifikasi dilema etis yang muncul, tetapi juga menawarkan prinsip-prinsip yang dapat menjadi dasar untuk pengembangan framework etis. Ia khususnya mengapresiasi penekanan Duarte pada transparansi dan akuntabilitas dalam sistem AI yang digunakan untuk pengambilan keputusan diplomatik, prinsip-prinsip yang sejalan dengan “information ethics” yang dikembangkan oleh Floridi sendiri. Floridi juga menyoroti kontribusi Duarte dalam membawa diskusi etika AI ke dalam domain diplomasi dan hubungan internasional, area yang relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan aplikasi AI di sektor lain seperti kesehatan atau keuangan.

Dr. Ayse Ceyhan dari Sciences Po Paris, yang mengkhususkan diri dalam studi tentang teknologi dan keamanan, memberikan perspektif kritis tentang analisis Duarte mengenai surveillance dan privasi. Ceyhan (2023) mengapresiasi bahwa Duarte tidak mengabaikan dark side dari AI diplomacy, termasuk potensi untuk penyalahgunaan dalam surveillance dan kontrol sosial. Namun, ia juga menyarankan bahwa diskusi tentang resistensi dan aktivisme terhadap surveillance state bisa lebih diperdalam. Ceyhan berpendapat bahwa kita perlu memahami tidak hanya bagaimana negara menggunakan AI, tetapi juga bagaimana masyarakat sipil dan aktor non-negara dapat menggunakan teknologi untuk melawan abuse of power. Kritik konstruktif ini membuka avenue untuk penelitian lebih lanjut yang dapat melengkapi karya Duarte.

Professor Tim Maurer dari Carnegie Endowment for International Peace, yang fokus pada cyber security dan digital policy, memuji pendekatan multilayer governance yang diusulkan oleh Duarte. Maurer (2023) menilai bahwa proposal Duarte untuk mengembangkan mekanisme governance AI yang melibatkan negara, sektor swasta, academia, dan civil society adalah realistis dan necessary. Ia menyoroti bahwa buku ini memberikan roadmap praktis untuk implementasi governance framework, bukan hanya kritik teoritis tentang kekurangan sistem yang ada. Maurer juga mengapresiasi diskusi Duarte tentang confidence-building measures dalam konteks AI, yang dapat mengurangi risiko misperception dan eskalasi dalam hubungan internasional.

Professor Madeleine Albright, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, dalam salah satu tulisan terakhirnya sebelum meninggal, menyatakan bahwa buku Duarte adalah “must-read” bagi siapa saja yang peduli tentang masa depan diplomasi. Albright (2022) menekankan pentingnya mempertahankan human judgment dan wisdom dalam era di mana mesin semakin memainkan peran dalam pengambilan keputusan. Ia setuju dengan argumen Duarte bahwa AI harus dilihat sebagai augmentation dari kemampuan manusia, bukan replacement. Pandangan dari seorang praktisi senior seperti Albright memberikan validasi penting terhadap relevansi praktis dari analisis akademis Duarte.

Dr. Kate Crawford dari Microsoft Research dan AI Now Institute memberikan perspektif tentang bias dan fairness dalam AI. Crawford (2023) mengapresiasi bahwa Duarte membahas isu ini dalam konteks diplomasi, menunjukkan bagaimana bias algoritma dapat mempengaruhi analisis intelijen dan keputusan kebijakan luar negeri. Namun, ia juga menyarankan bahwa diskusi tentang bagaimana bias ini dapat diminimalkan dan sistem dapat dibuat lebih accountable perlu diperdalam. Crawford menekankan bahwa technical solutions saja tidak cukup; perlu juga perubahan institusional dan regulasi yang memadai untuk memastikan AI digunakan secara bertanggung jawab.

Kritik dan Keterbatasan

Meskipun Statecraft 3.0 adalah karya yang impressive, seperti semua buku akademis, ia juga memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, meskipun Duarte berusaha memberikan perspektif global, fokus utama buku ini masih pada pengalaman dan praktek negara-negara Barat dan China (Duarte, 2023). Suara dan pengalaman dari Global South, termasuk Afrika, Amerika Latin, dan sebagian besar Asia, relatif kurang terwakili. Padahal, negara-negara ini akan merasakan dampak signifikan dari transformasi AI dalam diplomasi, dan mereka juga mengembangkan pendekatan mereka sendiri terhadap teknologi digital. Sebagaimana diargumentasikan oleh Muller (2021), penting untuk mendengarkan perspektif dari berbagai konteks geografis dan budaya dalam diskusi tentang governance teknologi global.

Kedua, diskusi tentang resistensi dan kontra-strategi terhadap AI diplomacy relatif terbatas. Duarte berfokus terutama pada bagaimana negara dan institusi formal menggunakan AI, tetapi kurang membahas bagaimana aktor non-negara, termasuk organisasi civil society, activist groups, dan bahkan aktor jahat, menggunakan atau melawan teknologi ini (Duarte, 2023). Dalam era di mana power semakin diffused dan network-based, sebagaimana dianalisis oleh Castells (2009), pemahaman tentang dinamika resistensi dan kontra-hegemoni menjadi penting. Penelitian masa depan dapat mengeksplorasi dimensi ini lebih dalam untuk melengkapi framework yang ditawarkan Duarte.

Ketiga, meskipun Duarte membahas isu etis, diskusi tentang framework regulasi konkret dan enforcement mechanisms masih cukup abstrak. Ia mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar governance AI, tetapi kurang memberikan detail tentang bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterjemahkan menjadi hukum dan kebijakan yang enforceable (Duarte, 2023). Mengingat kompleksitas jurisdiksi dalam cyberspace dan tantangan enforcement dalam hukum internasional, sebagaimana dibahas oleh Goldsmith dan Wu (2006), ini adalah gap yang signifikan yang memerlukan perhatian lebih dalam penelitian selanjutnya.

Keempat, buku ini ditulis dalam periode yang relatif singkat dan dengan demikian belum sepenuhnya menangkap perkembangan terbaru dalam teknologi AI, khususnya munculnya large language models seperti GPT-4 dan aplikasinya yang potensial dalam diplomasi. Teknologi berkembang dengan sangat cepat, dan apa yang relevan hari ini mungkin sudah outdated dalam beberapa bulan. Shanahan (2015) mengingatkan kita tentang tantangan dalam memprediksi trajektori pengembangan AI dan pentingnya tetap flexible dalam analysis kita. Meskipun framework konseptual Duarte kemungkinan akan tetap relevan, detail aplikasi teknis mungkin perlu update regular.

Kelima, analisis tentang agency dan autonomi manusia dalam era AI diplomacy dapat lebih diperdalam. Sementara Duarte menekankan pentingnya mempertahankan human oversight, ia kurang mengeksplorasi bagaimana hubungan antara manusia dan mesin berevolusi dalam praktik sehari-hari diplomasi (Duarte, 2023). Latour (2005) dan actor-network theory dapat menawarkan lens yang berguna untuk memahami distributed agency dalam sistem sosioteknikal, dan integrasi perspektif ini dapat memperkaya analisis di masa depan.

Implikasi untuk Penelitian dan Praktik

Statecraft 3.0 memiliki implikasi penting baik untuk agenda penelitian akademis maupun praktik diplomasi. Dari perspektif penelitian, buku ini membuka beberapa avenue yang produktif untuk investigasi lebih lanjut. Pertama, konsep “algorithmic statecraft” yang diperkenalkan Duarte (2023) memerlukan operasionalisasi dan testing empiris yang lebih sistematis. Penelitian masa depan dapat mengembangkan metrics untuk mengukur penggunaan AI dalam diplomasi dan menganalisis determinan dari adoption dan effectiveness. Kedua, studi komparatif tentang bagaimana negara-negara yang berbeda mengintegrasikan AI ke dalam praktik diplomatik mereka akan memberikan insight berharga tentang variasi dalam pendekatan dan outcomes.

Dari perspektif praktik, buku ini menawarkan beberapa rekomendasi penting untuk pembuat kebijakan. Duarte (2023) menekankan kebutuhan untuk investasi dalam pendidikan dan training diplomat dalam literasi digital dan AI. Banyak kementerian luar negeri masih kurang memiliki expertise teknis yang diperlukan untuk secara efektif leverage teknologi baru. Sebagaimana diargumentasikan oleh Bjola dan Manor (2018), capacity building dalam digital diplomacy adalah critical success factor. Duarte juga mengadvokasi untuk pembentukan unit khusus dalam kementerian luar negeri yang fokus pada AI dan teknologi emerging, yang dapat berfungsi sebagai innovation hubs dan advisory bodies.

Rekomendasi lain yang penting adalah pengembangan partnership antara pemerintah, sektor swasta, dan academia dalam konteks AI diplomacy. Duarte (2023) menunjukkan bahwa banyak inovasi dalam AI terjadi di sektor swasta, dan pemerintah perlu menemukan cara untuk berkolaborasi dengan tech companies sambil tetap mempertahankan sovereignty dan national interest. Model seperti public-private partnership yang telah dikembangkan di Estonia dapat menjadi template yang berguna. Slaughter (2017) mengadvokasi “new realism” yang mengakui pentingnya non-state actors dalam governance global, dan rekomendasi Duarte sejalan dengan visi ini.

Untuk organisasi internasional, buku ini memberikan call to action untuk modernisasi dan adaptasi. Duarte (2023) berpendapat bahwa PBB dan institusi multilateral lainnya perlu mengintegrasikan AI ke dalam operasi mereka sambil juga mengembangkan norma dan standar untuk regulasi teknologi ini di level global. Beberapa inisiatif sudah dimulai, seperti UN High-Level Panel on Digital Cooperation, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan. Frankenfeld dan Pardo (2021) mengidentifikasi bahwa salah satu tantangan utama adalah lack of technical expertise di dalam banyak organisasi internasional, yang menghambat kemampuan mereka untuk effectively engage dengan isu teknologi.

Relevansi untuk Konteks Indonesia

Meskipun buku Duarte berfokus terutama pada aktor-aktor besar dalam sistem internasional, insight-nya sangat relevan untuk negara seperti Indonesia yang sedang berupaya meningkatkan kapabilitas digital dan memperkuat posisi diplomatiknya. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, memiliki aspirasi untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam tata kelola global, termasuk dalam isu-isu teknologi dan digital (Haryanto, 2020). Namun, seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia menghadapi tantangan dalam mengembangkan infrastruktur digital, expertise teknologi, dan framework regulasi yang memadai.

Penerapan prinsip-prinsip AI diplomacy yang dibahas oleh Duarte dapat membantu Indonesia untuk lebih efektif dalam menavigasi lanskap geopolitik digital yang kompleks. Pertama, Indonesia perlu meningkatkan investasi dalam pendidikan STEM dan khususnya AI untuk membangun talent pool yang dapat mendukung ambisi digital negara (Pratama, 2021). Kedua, Kementerian Luar Negeri Indonesia dapat belajar dari best practices yang diidentifikasi oleh Duarte tentang bagaimana mengintegrasikan digital tools ke dalam praktik diplomasi. Inisiatif seperti digital diplomacy unit yang telah dikembangkan oleh beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri adalah langkah yang positif, tetapi masih perlu diperkuat dan diperluas.

Ketiga, Indonesia memiliki peluang untuk memainkan peran sebagai bridge-builder dalam diskusi global tentang governance AI, mengingat posisinya yang unique sebagai negara demokrasi Muslim terbesar dan anggota active dalam berbagai forum regional dan internasional. Sukarno dan Kurniawan (2022) berpendapat bahwa Indonesia dapat mengadvokasi pendekatan yang balanced terhadap regulasi AI yang mempertimbangkan kepentingan negara-negara berkembang sambil juga mempromosikan standar etis yang tinggi. Kerangka kerja yang dikembangkan oleh Duarte dapat menjadi referensi yang berguna dalam upaya ini.

Penutup

Statecraft 3.0: The Age of AI Diplomacy karya Rui Duarte adalah kontribusi yang signifikan dan timely dalam literatur tentang teknologi dan hubungan internasional. Buku ini berhasil mendemonstrasikan bagaimana AI sedang mengubah fundamental nature dari diplomasi dan kekuasaan negara dalam sistem internasional. Melalui analisis yang komprehensif, penggunaan studi kasus yang kaya, dan pendekatan interdisipliner yang sophisticated, Duarte menawarkan framework yang berguna untuk memahami dan menavigasi kompleksitas era AI (Duarte, 2023).

Kelebihan utama dari buku ini termasuk keseimbangan antara teori dan praktik, perhatian terhadap dimensi etis dan normatif, analisis mendalam tentang geopolitik AI, dan visi futuristik yang grounded dalam realitas kontemporer. Para pakar dari berbagai bidang telah mengapresiasi kontribusi Duarte, meskipun juga mengidentifikasi beberapa area yang dapat diperkuat dalam penelitian masa depan, terutama dalam hal representasi perspektif Global South dan detail tentang implementation dari framework governance yang diusulkan.

Bagi akademisi, buku ini membuka avenue baru untuk penelitian tentang intersection antara teknologi dan hubungan internasional. Konsep “algorithmic statecraft” dan framework analitis yang ditawarkan dapat menjadi foundation untuk investigasi empiris lebih lanjut. Bagi praktisi, buku ini memberikan insight praktis tentang bagaimana mengadaptasi praktik diplomasi untuk era digital dan mengembangkan strategi yang efektif dalam menghadapi kompetisi teknologi global. Bagi pembuat kebijakan, buku ini adalah reminder penting tentang urgency untuk mengembangkan governance framework yang dapat memastikan AI digunakan secara bertanggung jawab dan untuk kepentingan kemanusiaan secara luas.

Dalam konteks Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, buku ini memberikan inspirasi dan template untuk mengembangkan kapabilitas digital diplomacy sambil juga mempertahankan nilai-nilai dan kepentingan nasional. Masa depan diplomasi akan semakin digital dan AI-driven, dan negara-negara yang dapat secara efektif leverage teknologi ini sambil mengatasi risiko yang menyertainya akan memiliki keuntungan strategis yang signifikan.

Akhirnya, Statecraft 3.0 mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi berubah dengan cepat, esensi dari diplomasi—yaitu seni mengelola hubungan antar bangsa untuk mencapai mutual understanding dan cooperation—tetap relevan. Yang berubah adalah tools dan methods, tetapi tujuan fundamental dari menciptakan dunia yang lebih damai dan prosperous tetap menjadi aspirasi yang harus diperjuangkan. Dalam era di mana AI dapat digunakan untuk baik atau buruk, pilihan yang kita buat hari ini akan menentukan jenis masa depan yang kita warisi. Buku Duarte adalah kontribusi penting dalam membantu kita membuat pilihan yang lebih informed dan wise.

Referensi

Allen, G. C., & Chan, T. (2017). Artificial intelligence and national security. Belfer Center for Science and International Affairs.

Bjola, C. (2020). Diplomacy in the digital age: Strategic challenges and opportunities. International Affairs Review, 28(2), 45-67.

Bjola, C., & Holmes, M. (2015). Digital diplomacy: Theory and practice. Routledge.

Bjola, C., & Manor, I. (2018). Revisiting Putnam’s two-level game theory in the digital age: Domestic digital diplomacy and the Iran nuclear deal. Cambridge Review of International Affairs, 31(1), 3-32.

Bremmer, I. (2023). The geopolitics of artificial intelligence: A balanced assessment. Foreign Affairs, 102(3), 78-92.

Brundage, M., Avin, S., Wang, J., Belfield, H., Krueger, G., Hadfield, G., … & Anderljung, M. (2020). Toward trustworthy AI development: Mechanisms for supporting verifiable claims. arXiv preprint arXiv:2004.07213.

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Ceyhan, A. (2023). Surveillance, security, and democracy in the digital age. Security Dialogue, 54(1), 112-129.

Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). The costs of connection: How data is colonizing human life and appropriating it for capitalism. Stanford University Press.

Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power, politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale University Press.

Crawford, K. (2023). Accountability and transparency in algorithmic decision-making. Science and Public Policy, 50(2), 234-248.

Duarte, R. (2023). Statecraft 3.0: The age of AI diplomacy. Cambridge University Press.

Floridi, L. (2023). The ethics of artificial intelligence in international relations. Philosophy & Technology, 36(1), 89-107.

Frankenfeld, P., & Pardo, R. (2021). International organizations and the digital transformation: Opportunities and challenges. Global Governance, 27(4), 567-589.

Goldsmith, J., & Wu, T. (2006). Who controls the internet? Illusions of a borderless world. Oxford University Press.

Haryanto, A. T. (2020). Indonesia’s digital diplomacy strategy in the ASEAN context. Indonesian Journal of International Relations, 4(2), 178-195.

Horowitz, M. C. (2018). Artificial intelligence, international competition, and the balance of power. Texas National Security Review, 1(3), 37-57.

Kaplan, F. (2020). The bomb: Presidents, generals, and the secret history of nuclear war. Simon & Schuster.

Latour, B. (2005). Reassembling the social: An introduction to actor-network-theory. Oxford University Press.

Lee, K. F. (2018). AI superpowers: China, Silicon Valley, and the new world order. Houghton Mifflin Harcourt.

Maurer, T. (2023). Cyber confidence-building measures and AI governance. International Security, 47(4), 145-178.

Mearsheimer, J. J. (2001). The tragedy of great power politics. W.W. Norton & Company.

Muller, V. C. (2021). Global perspectives on AI ethics and governance. AI & Society, 36(3), 891-908.

Nye, J. S. (2004). Soft power: The means to success in world politics. Public Affairs.

Nye, J. S. (2023). The transformation of power in the digital age. Journal of International Affairs, 76(2), 34-51.

Pratama, D. A. (2021). Building Indonesia’s AI capabilities: Challenges and opportunities. Asian Journal of Technology Innovation, 29(1), 67-84.

Scharre, P. (2018). Army of none: Autonomous weapons and the future of war. W.W. Norton & Company.

Schia, N. N., & Gjesvik, L. (2020). Cyber diplomacy: Concept and practice. In Routledge handbook of cyber-security (pp. 456-469). Routledge.

Shanahan, M. (2015). The technological singularity. MIT Press.

Slaughter, A. M. (2017). The chessboard and the web: Strategies of connection in a networked world. Yale University Press.

Sukarno, A., & Kurniawan, B. (2022). Indonesia’s role in global AI governance: Opportunities and challenges. Pacific Review, 35(4), 678-702.

Tegmark, M. (2017). Life 3.0: Being human in the age of artificial intelligence. Knopf.

Wendt, A. (1999). Social theory of international politics. Cambridge University Press.

Zegart, A. (2023). Intelligence and AI: The transformation of national security analysis. Intelligence and National Security, 38(1), 56-74.

Perang Dagang Amerika-China 2025: Analisis Implikasi terhadap Ekonomi Asia Tenggara

Tags

, , , , , , ,

Oleh Asep Setiawan

1. Pendahuluan

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang dimulai secara formal pada tahun 2018, terus mengalami eskalasi dan transformasi hingga tahun 2025, memunculkan konstelasi baru dalam dinamika geoekonomi global. Konfrontasi ekonomi berkepanjangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini telah berevolusi melampaui sekadar konflik tarif bilateral, berkembang menjadi persaingan strategis multidimensi yang mencakup teknologi, investasi, keuangan, dan keamanan ekonomi (Acharya, 2023). Ketegangan geoekonomi ini tidak hanya mempengaruhi kedua protagonis utamanya, tetapi juga secara fundamental mengubah arsitektur ekonomi global, dengan implikasi khusus bagi kawasan Asia Tenggara yang secara geografis dan ekonomis terletak di persimpangan pengaruh kedua negara tersebut.

Asia Tenggara, sebagai kawasan yang secara historis memiliki ketergantungan ekonomi signifikan terhadap baik Amerika Serikat maupun China, menemukan dirinya berada dalam posisi geostrategis yang kompleks. Kawasan ini telah lama menjadi salah satu pusat produksi global, hub perdagangan regional, dan destinasi investasi asing yang penting. Ketika perang dagang berkembang menjadi kompetisi geostrategis yang lebih luas, negara-negara Asia Tenggara menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan politiknya di tengah persaingan kekuatan besar (Thuzar & Deinla, 2022). Dalam konteks ini, Asia Tenggara tidak sekadar menjadi pengamat pasif, melainkan aktor strategis yang respons kebijakannya berpotensi mempengaruhi konfigurasi masa depan ekonomi regional dan global.

Kompleksitas dampak perang dagang terhadap Asia Tenggara tercermin dalam berbagai dimensi ekonominya. Di satu sisi, ketegangan perdagangan telah mendorong relokasi fasilitas produksi dari Tiongkok ke beberapa negara Asia Tenggara, menciptakan pertumbuhan sektor manufaktur dan peningkatan investasi asing langsung (FDI) di negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand (Kimura et al., 2023). Di sisi lain, disrupsi rantai pasok global, penurunan perdagangan internasional, dan ketidakpastian ekonomi yang lebih luas telah menimbulkan tekanan terhadap ekonomi regional yang sangat bergantung pada ekspor (Tham et al., 2022). Polarisasi ekosistem teknologi dan standar industri sebagai akibat dari rivalitas teknologi AS-Tiongkok juga memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk membuat pilihan strategis yang kompleks dengan implikasi jangka panjang.

Esai ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif implikasi perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok hingga tahun 2025 terhadap ekonomi Asia Tenggara. Dengan menerapkan pendekatan kritis dan interdisipliner, penelitian ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan fundamental: Bagaimana perang dagang mempengaruhi aliran perdagangan, investasi, dan konfigurasi rantai pasok di Asia Tenggara? Bagaimana respons kebijakan negara-negara Asia Tenggara terhadap ketegangan geoekonomi ini, dan sejauh mana efektivitasnya? Apakah perang dagang mendorong transformasi struktural positif dalam ekonomi regional, atau sebaliknya memperdalam kerentanan yang sudah ada? Dan akhirnya, bagaimana Asia Tenggara sebagai kawasan dapat memposisikan dirinya secara strategis dalam arsitektur ekonomi global yang sedang berevolusi?

Signifikansi artikel ini terletak pada relevansi kontemporer dan implikasi jangka panjangnya. Di tengah lanskap geopolitik yang semakin tidak pasti dan sistem perdagangan multilateral yang terfragmentasi, memahami bagaimana ekonomi regional merespons dan beradaptasi dengan ketegangan geoekonomi utama menjadi sangat penting bagi pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan akademisi. Analisis ini tidak hanya berkontribusi pada literatur akademik tentang ekonomi politik internasional dan studi kawasan, tetapi juga menawarkan wawasan praktis bagi perumusan kebijakan yang dapat meningkatkan ketahanan regional dan posisi strategis Asia Tenggara dalam konstelasi global yang terus berubah.

2. Evolusi Perang Dagang AS-Tiongkok: Konteks Historis dan Perkembangan Terkini

2.1 Akar Historis dan Eskalasi Awal (2018-2020)

Perang dagang AS-Tiongkok secara formal dimulai pada Maret 2018 ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor pada produk baja dan aluminium Tiongkok, yang dengan cepat berkembang menjadi serangkaian eskalasi tarif bilateral (Wu, 2021). Namun, akar dari ketegangan ini jauh lebih dalam dan kompleks. Menurut Steinberg (2022), konfrontasi ekonomi ini berakar pada ketidakseimbangan struktural dalam hubungan perdagangan bilateral, kekhawatiran AS tentang praktik perdagangan Tiongkok yang dianggap tidak adil (termasuk transfer teknologi paksa, subsidi industri, dan pelanggaran hak kekayaan intelektual), serta persepsi AS bahwa kebangkitan ekonomi Tiongkok menantang hegemoni global Amerika.

Fase awal perang dagang (2018-2020) ditandai oleh eskalasi tarif bilateral yang cepat. Hingga akhir 2019, AS telah mengenakan tarif pada barang-barang Tiongkok senilai lebih dari $360 miliar, sementara Tiongkok membalas dengan tarif pada impor AS senilai $110 miliar (Chen & Yang, 2022). Meskipun Perjanjian Fase Satu ditandatangani pada Januari 2020 sebagai upaya de-eskalasi parsial, ketegangan ekonomi tetap tinggi. Bao dan Zhang (2023) berpendapat bahwa perjanjian ini gagal mengatasi masalah struktural yang mendasari ketegangan perdagangan, sebaliknya hanya memberikan gencatan senjata sementara yang rapuh dalam konfrontasi ekonomi yang lebih luas.

2.2 Transformasi Menuju Persaingan Teknologi dan Keamanan Ekonomi (2020-2023)

Antara tahun 2020 dan 2023, perang dagang mengalami transformasi signifikan, berevolusi dari konfrontasi tarif bilateral menjadi persaingan teknologi multidimensi dan keamanan ekonomi. Pandemi COVID-19 dan disrupsi rantai pasok global yang menyertainya semakin memperburuk ketegangan yang sudah ada, dengan kedua negara memperkuat retorika tentang kemandirian ekonomi dan keamanan rantai pasok nasional (Wang & Chong, 2023).

Periode ini menyaksikan perluasan fokus dari tarif tradisional ke kontrol ekspor teknologi, pemeriksaan investasi asing, dan kebijakan industri domestik. Administrasi Biden, meskipun mengadopsi pendekatan yang lebih multilateral dibandingkan pendahulunya, secara substansial mempertahankan dan bahkan memperluas berbagai pembatasan terhadap Tiongkok, khususnya di sektor teknologi tinggi (Bown, 2022). Pembatasan terhadap perusahaan teknologi Tiongkok seperti Huawei dan ZTE, kontrol ekspor pada teknologi semikonduktor canggih, dan inisiatif untuk “de-risking” hubungan ekonomi dengan Tiongkok menjadi komponen utama strategi ekonomi AS (Tan & Mah, 2022).

Tiongkok, sebagai respons, mempercepat upaya untuk mencapai kemandirian teknologi dan mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat melalui inisiatif seperti “Made in China 2025” dan kebijakan “Dual Circulation” (Zenglein, 2023). Pemerintah Tiongkok juga meningkatkan dukungan untuk industri strategis domestik, termasuk semikonduktor, kecerdasan buatan, dan energi terbarukan, serta memperluas kehadiran ekonominya di kawasan melalui Inisiatif Sabuk dan Jalur yang semakin matang (Baark, 2022).

2.3 Dinamika Kontemporer dan Kompleksitas Baru (2023-2025)

Perkembangan perang dagang antara 2023 dan 2025 ditandai oleh pola kompleks yang melibatkan kompetisi dan kerjasama terbatas, dengan persaingan strategis yang semakin terlembaga sebagai fitur permanen dalam hubungan bilateral. Lin dan Petri (2024) mencatat bahwa periode ini ditandai oleh empat tren utama yang saling terkait: (1) normalisasi ketegangan ekonomi sebagai “status quo” baru dalam hubungan bilateral; (2) regionalisasi persaingan melalui inisiatif ekonomi yang saling bersaing di kawasan Indo-Pasifik; (3) sektorialisasi persaingan dengan fokus pada teknologi kritis dan rantai pasok strategis; dan (4) multilateralisasi ketegangan dengan upaya dari kedua belah pihak untuk membangun koalisi yang lebih luas.

Kebijakan AS terhadap Tiongkok semakin mencerminkan konsensus bipartisan mengenai perlunya pendekatan yang lebih tegas, dengan fokus pada perlindungan keunggulan teknologi, penguatan rantai pasok domestik, dan pembentukan blok ekonomi dengan negara-negara yang berpikiran sama (Saha & Golley, 2024). Inisiatif seperti Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF), pendalaman aliansi teknologi dengan sekutu-sekutu kunci, dan investasi domestik besar-besaran dalam industri strategis melalui undang-undang seperti CHIPS and Science Act dan Inflation Reduction Act mencerminkan strategi multi-dimensi ini (Goodman & Remler, 2023).

Tiongkok, menghadapi hambatan eksternal yang meningkat, telah memperdalam fokusnya pada inovasi domestik, diversifikasi pasar, dan diplomasi ekonomi regional. Zhang dan Li (2024) mengidentifikasi tiga pilar strategi ekonomi Tiongkok: (1) akselerasi transformasi model pertumbuhan melalui inovasi teknologi dan konsumsi domestik; (2) penguatan ketahanan ekonomi melalui kemandirian dalam teknologi kritis dan komoditas strategis; dan (3) perluasan pengaruh ekonomi regional melalui perjanjian perdagangan seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan intensifikasi investasi di pasar negara berkembang.

Pada tahun 2025, medan persaingan geoekonomi telah berkembang secara signifikan, dengan pertarungan atas standar teknologi, norma digital, infrastruktur regional, dan arsitektur keuangan menjadi sama pentingnya dengan perdagangan barang tradisional (Tang & Pham, 2025). Persaingan ini telah mendorong terbentuknya dua ekosistem teknologi yang semakin berbeda, dengan konsekuensi mendalam bagi negara-negara yang bergantung pada kedua pasar tersebut, termasuk ekonomi Asia Tenggara.

3. Kerangka Teoretis dan Konseptual

3.1 Teori Interdependensi Kompleks dan Persaingan Geoekonomi

Untuk memahami dinamika perang dagang AS-Tiongkok dan implikasinya terhadap Asia Tenggara, penelitian ini mengadopsi kerangka teoretis interdependensi kompleks yang dikembangkan oleh Keohane dan Nye, sebagaimana diperbarui oleh Farrell dan Newman (2024) untuk konteks kontemporer. Teori ini mengakui bahwa dalam sistem global yang saling terhubung, hubungan ekonomi menciptakan baik sensitivitas (dampak jangka pendek dari perubahan eksternal) maupun kerentanan (biaya penyesuaian jangka panjang), yang membentuk dinamika kekuasaan antar negara dan respons kebijakan mereka.

Farrell dan Newman (2024, p. 87) berpendapat bahwa “interdependensi global modern telah menciptakan ‘titik-titik penghubung’ (choke points) baru dalam jaringan ekonomi global yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan strategis.” Konsep “senjata interdependensi” ini sangat relevan untuk memahami bagaimana AS dan Tiongkok memanipulasi ketergantungan ekonomi untuk keuntungan strategis, dan bagaimana negara-negara Asia Tenggara menavigasi posisi mereka dalam jaringan interdependensi yang asimetris ini.

Pendekatan geoekonomi, sebagaimana dikembangkan oleh Blackwill dan Harris (2023), juga memberikan lensa analitis yang berharga. Mereka mendefinisikan geoekonomi sebagai “penggunaan instrumen ekonomi untuk mempromosikan dan mempertahankan kepentingan nasional, dan untuk menghasilkan hasil geopolitik yang menguntungkan” (p. 42). Dalam konteks perang dagang AS-Tiongkok, kerangka ini membantu menjelaskan bagaimana kebijakan perdagangan, investasi, dan teknologi semakin dipolitisasi dan disekuritisasi, dengan implikasi mendalam bagi negara-negara yang berada di persimpangan persaingan kekuatan besar.

3.2 Regionalisme Ekonomi dan Teori Rantai Nilai Global

Untuk menganalisis dampak perang dagang terhadap integrasi ekonomi regional di Asia Tenggara, penelitian ini menggunakan perspektif regionalisme ekonomi yang dikembangkan oleh Katzenstein dan Shiraishi, dan diperluas oleh Hameiri dan Jones (2023). Teori ini mengeksplorasi bagaimana negara-negara dalam satu kawasan mengembangkan mekanisme kerjasama ekonomi sebagai respons terhadap tekanan eksternal, dengan menekankan interaksi antara kekuatan struktural global dan agensi regional.

Hameiri dan Jones (2023, p. 218) berargumen bahwa “regionalisme di Asia Tenggara tidak pernah murni endogen atau otonom, tetapi selalu berkembang dalam konteks kekuatan dan tekanan eksternal.” Pandangan ini sangat relevan untuk memahami bagaimana ASEAN dan negara-negara anggotanya merespons disrupsi perdagangan global yang disebabkan oleh perang dagang, serta bagaimana mereka berupaya mempertahankan otonomi strategis di tengah persaingan kekuatan besar.

Teori rantai nilai global (GVC), sebagaimana dikembangkan oleh Gereffi dan kemudian dielaborasi oleh Yeung dan Coe (2024), menyediakan kerangka kerja untuk menganalisis reorganisasi produksi regional sebagai respons terhadap perang dagang. Pendekatan ini menekankan pentingnya struktur tata kelola, peningkatan industri, dan strategi perusahaan dalam menentukan pola perdagangan dan investasi. Yeung dan Coe (2024, p. 156) berpendapat bahwa “geopolitik dan geoekonomi semakin membentuk organisasi dan geografi GVC,” pandangan yang sangat relevan untuk memahami bagaimana ketegangan AS-Tiongkok mempengaruhi arsitektur produksi regional di Asia Tenggara.

3.3 Transformasi Struktural dan Ketahanan Ekonomi Regional

Untuk mengevaluasi implikasi jangka panjang perang dagang terhadap pembangunan ekonomi Asia Tenggara, penelitian ini menggunakan konsep transformasi struktural yang dikembangkan oleh Rodrik dan diperbarui oleh Diao, McMillan, dan Wangwe (2022). Kerangka ini berfokus pada pergeseran sumber daya ekonomi antar sektor dan peningkatan produktivitas sebagai kunci pertumbuhan berkelanjutan, dengan penekanan khusus pada peran kebijakan industri dan kelembagaan dalam memfasilitasi transformasi positif.

Diao et al. (2022, p. 42) mengidentifikasi bahwa “guncangan eksternal dapat baik mempercepat atau menghambat transformasi struktural, tergantung pada kapasitas adaptif ekonomi dan efektivitas respons kebijakan.” Perspektif ini menawarkan lensa berharga untuk mengevaluasi apakah disrupsi yang disebabkan oleh perang dagang mendorong diversifikasi ekonomi produktif dan peningkatan industri di Asia Tenggara, atau sebaliknya, memperkuat pola spesialisasi yang tidak optimal.

Akhirnya, konsep ketahanan ekonomi regional, sebagaimana dikembangkan oleh Martin dan Sunley dan diperbarui oleh Tantri dan Yeo (2023), memberikan kerangka kerja untuk menganalisis kapasitas ekonomi Asia Tenggara untuk menyerap guncangan, beradaptasi dengan perubahan, dan potensial untuk mentransformasi krisis menjadi peluang. Tantri dan Yeo (2023, p. 276) mendefinisikan ketahanan regional sebagai “kapasitas sistem ekonomi regional untuk menahan atau pulih dengan cepat dari guncangan pasar atau lingkungan dan mempertahankan atau mengembalikan fungsi dasar, struktur, dan identitasnya.” Konsep ini sangat relevan untuk mengevaluasi bagaimana berbagai ekonomi Asia Tenggara merespons secara berbeda terhadap tekanan yang ditimbulkan oleh perang dagang, dan faktor-faktor yang menjelaskan variasi dalam ketahanan mereka.

4. Transformasi Pola Perdagangan Regional

4.1 Dampak terhadap Aliran Perdagangan Trilateral

Perang dagang AS-Tiongkok telah secara fundamental mengubah pola perdagangan trilateral antara AS, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Analisis data perdagangan komprehensif oleh Tham, Kam, dan Jinjarak (2023) menunjukkan pergeseran signifikan dalam komposisi dan arah aliran perdagangan regional antara 2018 dan 2025. Meskipun perdagangan AS-Tiongkok mengalami kontraksi signifikan dalam kategori produk yang terkena tarif, dampak netnya terhadap perdagangan Asia Tenggara menunjukkan pola yang lebih kompleks dan beragam.

Salah satu perkembangan paling signifikan adalah peningkatan ekspor Asia Tenggara ke AS sebagai pengganti produk Tiongkok yang terkena tarif. Vietnam muncul sebagai penerima manfaat utama dari pengalihan perdagangan ini, dengan ekspor ke AS meningkat sebesar 147% antara 2018 dan 2025, terutama dalam kategori elektronik, furnitur, dan tekstil (Nguyen & Park, 2024). Malaysia dan Thailand juga mencatat pertumbuhan ekspor yang kuat ke pasar AS, meskipun dengan skala yang lebih kecil. Secara keseluruhan, pangsa Asia Tenggara dalam impor AS meningkat dari 8,2% pada 2018 menjadi 14,7% pada 2025, sementara pangsa Tiongkok menurun dari 21,6% menjadi 16,2% dalam periode yang sama (Kimura et al., 2023).

Namun, perlu dicatat bahwa pengalihan perdagangan ini tidak terdistribusi secara merata di seluruh kawasan. Sebagaimana diidentifikasi oleh Sanchita (2023, p. 143), “hanya negara-negara dengan kapasitas manufaktur yang sudah mapan, infrastruktur logistik yang baik, dan hubungan yang sudah ada dengan rantai pasokan global yang mampu memanfaatkan sepenuhnya peluang pengalihan perdagangan.” Ini menjelaskan mengapa Vietnam, Malaysia, dan Thailand telah mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan negara seperti Indonesia, Filipina, atau ekonomi Mekong yang kurang berkembang.

Perang dagang juga menyebabkan perubahan dalam hubungan perdagangan Asia Tenggara-Tiongkok. Meskipun Tiongkok tetap menjadi mitra dagang terbesar kawasan ini, komposisi perdagangan telah bergeser. Ekspor bahan baku dan barang setengah jadi dari Asia Tenggara ke Tiongkok meningkat secara signifikan, mencerminkan integrasi yang lebih dalam ke dalam rantai pasokan yang berpusat di Tiongkok untuk melayani pasar domestik Tiongkok dan pasar pihak ketiga yang tidak terkena tarif AS (Tham et al., 2023). Pola ini juga mencerminkan strategi perusahaan multinasional yang berbasis di Tiongkok untuk memindahkan tahap produksi akhir ke Asia Tenggara untuk menghindari tarif AS, sambil mempertahankan aktivitas hulu di Tiongkok.

Dimensi perdagangan jasa juga mengalami transformasi penting, meskipun sering kali kurang mendapat perhatian dalam analisis perang dagang. Peng dan Rajah (2024) mengidentifikasi peningkatan yang signifikan dalam ekspor jasa digital dari negara-negara Asia Tenggara, terutama Singapura, Indonesia, dan Malaysia, yang sebagian didorong oleh strategi diversifikasi perusahaan teknologi Tiongkok dan AS yang berupaya mengurangi eksposur langsung mereka terhadap risiko geopolitik.

4.2 Diversifikasi Pasar dan Pengembangan Konektivitas Intra-Regional

Ketidakpastian yang diciptakan oleh perang dagang telah mempercepat upaya diversifikasi pasar oleh negara-negara Asia Tenggara. Menariknya, meskipun ekspor ke AS dan Tiongkok tetap penting, kawasan ini secara kolektif telah mengurangi ketergantungan relatifnya pada kedua pasar tersebut. Data dari Asian Development Bank (ADB) yang dianalisis oleh Menon dan Beverinotti (2024) menunjukkan bahwa antara 2018 dan 2025, pangsa gabungan AS dan Tiongkok dalam total ekspor ASEAN menurun dari 30,5% menjadi 28,1%, sementara perdagangan intra-ASEAN meningkat dari 23,4% menjadi 27,8%.

Implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tahun 2022 dan pendalaman kerangka ASEAN Economic Community telah memainkan peran penting dalam memperkuat integrasi perdagangan intra-regional. Menurut Ing dan Pangestu (2023, p. 217), “RCEP telah memberikan dorongan baru untuk integrasi ekonomi regional di tengah ketidakpastian global, dengan pengurangan tarif intra-regional dan harmonisasi aturan asal usul barang yang memfasilitasi pengembangan rantai pasokan regional.” Implementasi penuh RCEP diperkirakan akan meningkatkan perdagangan intra-regional sebesar 10,4% pada tahun 2025 dibandingkan dengan skenario tanpa perjanjian.

Studi oleh Park, Petri, dan Plummer (2024) mengidentifikasi tiga pendorong utama peningkatan perdagangan intra-regional: (1) strategi diversifikasi perusahaan multinasional yang mencari pengurangan risiko melalui jaringan produksi yang lebih terdistribusi; (2) peningkatan pendapatan dan kapasitas konsumsi dalam kawasan yang mendorong permintaan domestik; dan (3) kebijakan pemerintah yang ditargetkan untuk mempromosikan perdagangan intra-regional sebagai strategi ketahanan ekonomi.

Perkembangan penting lainnya adalah penguatan hubungan perdagangan dengan ekonomi menengah di luar kawasan, seperti Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan India. Secara khusus, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif UE-Indonesia yang disimpulkan pada tahun 2023 dan implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif India-ASEAN yang dipercepat pada tahun 2024 telah memperluas opsi diversifikasi pasar (Kimura et al., 2023). Dalam periode yang sama, Jepang dan Korea Selatan secara signifikan memperdalam keterlibatan ekonomi mereka dengan kawasan melalui peningkatan investasi dan inisiatif perdagangan, sebagian didorong oleh kebutuhan mereka sendiri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Tiongkok (Tan & Mah, 2022).

Namun, kemajuan dalam diversifikasi pasar tidak merata di seluruh kawasan. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih besar dan terdiversifikasi seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia telah menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar dalam mengalihkan ekspor mereka ke pasar alternatif, sementara ekonomi yang lebih kecil dan kurang berkembang menghadapi kendala kapasitas yang lebih signifikan (Menon & Beverinotti, 2024). Perbedaan ini mencerminkan variasi dalam struktur ekonomi, kapasitas produksi, dan hubungan perdagangan yang sudah ada.

4.3 Reorientasi Strategi Ekspor dan Dilema Kebijakan Perdagangan

Perang dagang telah memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk mengevaluasi kembali dan menyesuaikan strategi ekspor mereka. Berbeda dengan pandangan simplistik bahwa kawasan ini semata-mata mendapat keuntungan dari pengalihan perdagangan, realitasnya jauh lebih kompleks. Disrupsi perdagangan global telah menimbulkan dilema kebijakan yang signifikan, memaksa pemerintah untuk menyeimbangkan peluang jangka pendek dengan pertimbangan strategis jangka panjang.

Penelitian oleh Toh dan Chaisse (2023) mengidentifikasi munculnya tiga pendekatan berbeda terhadap strategi ekspor di Asia Tenggara sebagai respons terhadap perang dagang: (1) strategi “China Plus One” yang mempromosikan kawasan sebagai lokasi produksi komplementer namun tidak sepenuhnya menggantikan Tiongkok (diadopsi oleh Vietnam, Thailand, dan Malaysia); (2) pendekatan “nilai tambah nasional” yang memprioritaskan pengembangan kapasitas industri domestik dan mengurangi ketergantungan pada rantai nilai global (diadvokasi terutama oleh Indonesia); dan (3) model “hub teknologi dan jasa” yang memposisikan ekonomi sebagai perantara penting dalam aliran data, keuangan, dan layanan bernilai tinggi (dipimpin oleh Singapura).

Pemilihan pendekatan strategis ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk struktur ekonomi yang ada, kapasitas kelembagaan, dan pertimbangan geopolitik. Seperti yang diamati oleh Toh dan Chaisse (2023, p. 189), “pilihan ini mencerminkan perbedaan fundamental dalam model pembangunan dan bagaimana negara-negara memahami jalur optimal mereka untuk meningkatkan posisi mereka dalam ekonomi global.”

Sementara itu, ketidakpastian dalam sistem perdagangan global telah menciptakan dilema kebijakan yang akut bagi pembuat kebijakan di Asia Tenggara. Pertama, terdapat ketegangan antara memanfaatkan keuntungan jangka pendek dari pengalihan perdagangan versus mengejar transformasi struktural jangka panjang. Sanchita (2023, p. 156) berpendapat bahwa “fokus berlebihan pada pengambilalihan produksi berintensitas tenaga kerja yang beralih dari Tiongkok dapat mengunci ekonomi Asia Tenggara dalam aktivitas bernilai rendah dan menghambat peningkatan industri jangka panjang.”

Kedua, pembuat kebijakan menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan hubungan ekonomi dengan AS dan Tiongkok. Meskipun kawasan secara keseluruhan telah berusaha mempertahankan netralitas strategis, tekanan untuk memilih sisi dalam bidang-bidang seperti standar teknologi, pengadaan infrastruktur, dan keterlibatan dalam inisiatif ekonomi yang dipimpin oleh kekuatan besar telah meningkat (Thuzar & Deinla, 2022). Dilema ini telah menyebabkan pendekatan yang lebih berhati-hati dan pragmatis terhadap perjanjian perdagangan dan investasi baru.

Ketiga, terdapat perdebatan tentang keseimbangan optimal antara keterbukaan ekonomi dan kemandirian strategis. Krisis rantai pasokan selama pandemi COVID-19, dikombinasikan dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, telah memperkuat argumen untuk kemandirian yang lebih besar dalam sektor-sektor kritis. Namun, seperti yang dicatat oleh Ing dan Pangestu (2023, p. 223), “ekonomi Asia Tenggara tetap sangat bergantung pada perdagangan internasional untuk pertumbuhan dan pembangunan, membuat pendekatan proteksionis menjadi kontraproduktif.” Menyeimbangkan ketahanan ekonomi dengan keuntungan dari integrasi global tetap menjadi tantangan kebijakan utama.

5. Rekonfigurasi Rantai Pasok Regional dan Investasi Asing Langsung

5.1 Relokasi Industri dan Restrukturisasi Jaringan Produksi

Salah satu dampak paling nyata dari perang dagang terhadap ekonomi Asia Tenggara adalah rekonfigurasi signifikan rantai pasok regional dan pola investasi asing langsung (FDI). Menurut analisis komprehensif oleh Kimura, Obashi, dan Thangavelu (2023), tiga gelombang berbeda dalam restrukturisasi rantai pasok regional dapat diidentifikasi antara 2018 dan 2025: gelombang pertama (2018-2020) didorong terutama oleh penghindaran tarif langsung; gelombang kedua (2020-2022) dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 dan kekhawatiran ketahanan rantai pasok; dan gelombang ketiga (2022-2025) mencerminkan pertimbangan strategis jangka panjang terkait persaingan teknologi dan tekanan untuk “de-risking” atau “friend-shoring”.

Data dari UNCTAD yang dianalisis oleh Ing dan Pangestu (2023) menunjukkan bahwa antara 2018 dan 2025, arus FDI ke Asia Tenggara meningkat sebesar 78%, dengan pertumbuhan terkuat dalam manufaktur elektronik, komponen otomotif, peralatan medis, dan tekstil teknis. Penambahan kapasitas manufaktur signifikan diamati di Vietnam (peningkatan 214%), Malaysia (105%), Thailand (83%), dan Indonesia (64%), sementara Singapura memperkuat posisinya sebagai pusat koordinasi regional dan pusat R&D.

Studi oleh Raghavan dan Kim (2024) mengidentifikasi lima pola utama dalam restrukturisasi rantai pasok di Asia Tenggara:

  1. Realokasi selektif: Alih-alih relokasi penuh dari Tiongkok, pola dominan yang muncul adalah pendekatan “China Plus One” di mana perusahaan mempertahankan operasi signifikan di Tiongkok sambil mengembangkan kapasitas paralel di Asia Tenggara sebagai strategi mitigasi risiko.
  2. Spesialisasi regional: Rantai pasok di kawasan menjadi semakin terfragmentasi secara geografis berdasarkan keunggulan komparatif khusus, dengan Vietnam mendominasi elektronik konsumen dan tekstil, Thailand kuat dalam komponen otomotif dan kimia, Malaysia berfokus pada semikonduktor dan perangkat medis, dan Indonesia berkembang dalam pengolahan bahan mentah dan manufaktur berorientasi sumber daya.
  3. Pendalaman rantai pasok lokal: Berbeda dengan pola sebelumnya di mana manufaktur Asia Tenggara sangat bergantung pada input menengah dari Tiongkok, terdapat upaya yang semakin besar untuk mengembangkan kapasitas pemasok lokal, didorong oleh kekhawatiran tentang gangguan rantai pasok dan ketentuan aturan asal usul barang yang lebih ketat dalam perjanjian perdagangan.
  4. Digitalisasi dan otomatisasi yang dipercepat: Perusahaan yang merelokasi ke Asia Tenggara semakin berinvestasi dalam teknologi manufaktur canggih dan solusi digital, menghasilkan “generasi baru” fasilitas yang lebih intensif modal dan teknologi dibandingkan gelombang investasi sebelumnya.
  5. Reorientasi pasar: Meskipun ekspor ke AS tetap penting, investasi baru semakin ditargetkan untuk melayani pasar regional Asia dan pasar domestik Asia Tenggara yang berkembang, mencerminkan strategi diversifikasi pasar yang lebih luas.

Rekonfigurasi rantai pasok ini memiliki implikasi penting untuk pembangunan ekonomi regional. Di satu sisi, ini telah menciptakan peluang signifikan untuk penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi, dan peningkatan industri. Di sisi lain, Raghavan dan Kim (2024, p. 178) memperingatkan bahwa “tanpa kebijakan yang tepat, Asia Tenggara berisiko terjebak dalam posisi menengah dalam rantai nilai global, melakukan tugas-tugas bernilai tambah rendah tanpa memperoleh kemampuan kritis untuk meningkatkan ke aktivitas yang lebih maju.”

5.2 Investasi Asing Langsung: Tren, Pola, dan Motivasi Strategis

Perang dagang telah menghasilkan perubahan substantif dalam volume, komposisi, dan motivasi di balik arus FDI ke Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Asian Development Bank yang dianalisis oleh Dezan Shira and Associates (2023), total FDI ke kawasan meningkat dari $155 miliar pada tahun 2018 menjadi $276 miliar pada tahun 2025, dengan perubahan penting dalam sumber dan targetnya.

Analisis komprehensif oleh Pham dan Vines (2024) mengidentifikasi tiga pergeseran utama dalam lanskap FDI regional:

Pertama, terjadi diversifikasi signifikan dalam sumber FDI. Meskipun Tiongkok tetap menjadi investor penting (menyumbang 18,7% dari total FDI pada tahun 2025), kontribusi relatifnya telah menurun dari puncak 26,3% pada tahun 2019. Sementara itu, investasi dari AS, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan semakin banyak dari Taiwan dan India telah meningkat secara substansial. Secara khusus, investasi dari perusahaan multinasional berbasis AS meningkat 120% antara 2018 dan 2025, meskipun ketegangan geopolitik yang lebih luas (Kimura et al., 2023).

Kedua, motivasi di balik keputusan investasi telah menjadi lebih kompleks dan multidimensi. Jika investasi sebelumnya ke Asia Tenggara sebagian besar didorong oleh biaya tenaga kerja yang rendah dan akses ke sumber daya alam, penelitian oleh Pham dan Vines (2024, p. 209) mengidentifikasi rangkaian pertimbangan yang lebih luas: “Perusahaan multinasional semakin mengevaluasi lokasi Asia Tenggara berdasarkan kombinasi faktor-faktor termasuk mitigasi risiko geopolitik, kesesuaian dengan strategi ‘China Plus One’, keamanan rantai pasok, akses ke bakat teknis, ketahanan terhadap perubahan iklim, dan potensi pasar domestik.”

Ketiga, terdapat pergeseran penting dalam komposisi sektoral FDI. Sementara manufaktur tetap dominan (menyumbang 52% dari FDI pada 2025), terdapat pertumbuhan yang signifikan dalam investasi di bidang teknologi digital, energi terbarukan, dan infrastruktur. Secara khusus, FDI dalam ekonomi digital meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan 34% antara 2018 dan 2025, dengan Singapura, Indonesia, dan Malaysia menjadi penerima utama (Pham & Vines, 2024).

Menariknya, persaingan antara AS dan Tiongkok untuk pengaruh ekonomi telah menghasilkan pendekatan yang berbeda terhadap investasi di kawasan. Investasi Tiongkok tetap terkonsentrasi pada infrastruktur besar, proyek energi, dan manufaktur, sebagian besar dalam kerangka Inisiatif Sabuk dan Jalur. Sebaliknya, investasi AS dan sekutunya semakin berfokus pada sektor-sektor teknologi tinggi, ekonomi digital, dan manufaktur canggih, seringkali terkait dengan inisiatif “friend-shoring” (Dezan Shira and Associates, 2023).

Dinamika ini menciptakan baik peluang maupun tantangan bagi negara-negara Asia Tenggara. Di satu sisi, persaingan antara AS dan Tiongkok untuk pengaruh ekonomi telah meningkatkan posisi tawar kawasan dan memperluas pilihan sumber pendanaan pembangunan. Di sisi lain, ini juga menciptakan tekanan untuk memilih sisi dalam proyek-proyek strategis, dengan potensi implikasi geopolitik jangka panjang (Tham et al., 2022).

5.3 Tantangan dan Peluang untuk Peningkatan Industri Regional

Rekonfigurasi rantai pasok dan pola investasi baru yang dipicu oleh perang dagang telah menciptakan peluang substansial untuk peningkatan industri di Asia Tenggara, tetapi juga menghadirkan tantangan signifikan. Untuk memanfaatkan sepenuhnya dinamika ini untuk pembangunan ekonomi jangka panjang, negara-negara di kawasan perlu mengatasi berbagai kendala struktural dan mengembangkan strategi yang koheren.

Studi mendalam oleh Raghavan dan Kim (2024) mengidentifikasi empat tantangan utama yang menghambat peningkatan industri regional. Pertama, meskipun terjadi peningkatan FDI, integrasi dengan industri lokal tetap terbatas. Banyak investasi baru beroperasi sebagai “enklaf ekspor” dengan keterkaitan terbatas dengan ekonomi domestik, membatasi potensi untuk transfer teknologi dan peningkatan kemampuan lokal. Kedua, kesenjangan keterampilan dan kapasitas inovasi yang persisten menghambat transisi ke aktivitas bernilai lebih tinggi, dengan investasi dalam penelitian dan pengembangan di sebagian besar negara Asia Tenggara tetap di bawah 1% dari PDB. Ketiga, infrastruktur fisik dan digital yang tidak merata di kawasan menciptakan “ekonomi dua kecepatan”, dengan beberapa wilayah terintegrasi dengan baik ke dalam rantai nilai global sementara yang lain tetap terpinggirkan. Keempat, fragmentasi kebijakan dan persaingan antarnegara ASEAN untuk menarik investasi yang sama sering kali menghasilkan “perlombaan ke dasar” dalam insentif fiskal dan standar lingkungan.

Namun, terdapat juga peluang signifikan untuk peningkatan industri. Analisis oleh Ing dan Pangestu (2023) mengidentifikasi lima jalur potensial untuk peningkatan dan diversifikasi ekonomi yang dapat difasilitasi oleh rekonfigurasi rantai pasok saat ini:

  1. Pengembangan ekosistem pemasok lokal: Disrupsi dalam rantai pasok global telah meningkatkan insentif bagi perusahaan multinasional untuk mengembangkan basis pemasok lokal yang lebih kuat, menciptakan peluang untuk perusahaan Asia Tenggara untuk terintegrasi ke dalam rantai nilai global. Contoh yang menjanjikan termasuk pertumbuhan pemasok komponen otomotif lokal di Thailand dan ekosistem elektronik di Malaysia dan Vietnam.
  2. Adopsi teknologi dan digitalisasi: Gelombang investasi baru umumnya membawa teknologi dan praktik bisnis yang lebih canggih, menawarkan peluang untuk modernisasi industri. Program seperti Thailand 4.0 dan Making Indonesia 4.0 berupaya memanfaatkan investasi asing untuk mendorong transformasi digital ekonomi domestik.
  3. Diversifikasi ke sektor baru: Pergeseran dalam pola perdagangan global membuka peluang untuk diversifikasi ke industri baru di mana Asia Tenggara memiliki keunggulan potensial, seperti bioteknologi, ekonomi hijau, dan layanan digital. Singapura dan Malaysia telah mulai mengembangkan keahlian dalam manufaktur peralatan medis canggih, sementara Indonesia dan Vietnam memperluas kapasitas mereka dalam ekonomi digital.
  4. Pengembangan kemampuan R&D dan desain: Beberapa perusahaan multinasional mulai membangun pusat R&D dan kemampuan desain di Asia Tenggara, didorong oleh ketersediaan bakat teknis dan insentif pemerintah. Singapura telah muncul sebagai hub R&D regional yang signifikan, sementara Thailand dan Malaysia semakin menarik aktivitas pengembangan produk dalam sektor-sektor tertentu.
  5. Regionalisasi dan pengembangan pasar domestik: Pertumbuhan kelas menengah di kawasan dan pendalaman integrasi ekonomi regional menciptakan peluang untuk membangun industri yang melayani permintaan regional, mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor tradisional yang tidak pasti.

Realisasi peluang-peluang ini akan membutuhkan pendekatan kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi. Ing dan Pangestu (2023, p. 231) berpendapat bahwa “kebijakan yang mendukung peningkatan industri harus melampaui insentif fiskal tradisional untuk mencakup investasi dalam pengembangan keterampilan, infrastruktur digital, kapasitas inovasi, dan kerangka kerja kelembagaan yang mendukung.”

6. Respons Kebijakan dan Strategi Adaptasi

6.1 Strategi Nasional: Variasi dan Konvergensi

Respons kebijakan negara-negara Asia Tenggara terhadap perang dagang AS-Tiongkok menunjukkan kombinasi menarik antara variasi yang mencerminkan kekhasan konteks nasional dan konvergensi dalam tema-tema strategis yang lebih luas. Studi komparatif oleh Wong dan Chen (2024) menganalisis evolusi strategi ekonomi di enam ekonomi ASEAN utama (Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina) antara 2018 dan 2025, mengidentifikasi baik perbedaan maupun kesamaan dalam pendekatan mereka.

Singapura, sebagai ekonomi paling maju di kawasan dengan ketergantungan besar pada perdagangan internasional, mengadopsi strategi yang menekankan posisinya sebagai hub netral untuk perdagangan, keuangan, dan layanan bisnis. Pemerintah Singapura secara agresif mempromosikan inisiatif untuk memperkuat peran negara kota ini sebagai “Switzerland Asia” dan pusat mediasi ekonomi, sambil secara strategis memposisikan dirinya dalam sektor-sektor seperti kecerdasan buatan, teknologi keuangan, dan bioteknologi (Wong & Chen, 2024). Proyek seperti Global Technology Innovation Hub dan Digital Economy Framework Agreements dengan berbagai mitra menggambarkan pendekatan yang berfokus pada memperkuat peran Singapura sebagai simpul kritis dalam jaringan ekonomi global.

Malaysia mengambil pendekatan yang lebih berorientasi pada manufaktur, membangun infrastruktur industri yang sudah mapan sambil berupaya meningkatkan kecanggihan teknologi. Sesuai dengan Rencana Pertumbuhan Strategis 2030, pemerintah Malaysia memprioritaskan lima sektor: semikonduktor dan elektronik canggih, ekonomi digital, manufaktur berkelanjutan, ekonomi perawatan kesehatan, dan pertanian cerdas (Kimura et al., 2023). Menariknya, kebijakan Malaysia semakin menekankan pembangunan kemampuan nasional dan peningkatan konten lokal, mencerminkan keseimbangan yang diperbarui antara keterbukaan terhadap investasi asing dan pengembangan kapasitas domestik.

Vietnam muncul sebagai salah satu penerima manfaat utama dari perang dagang, dengan pendekatan kebijakan yang memanfaatkan momentumnya sebagai tujuan relokasi utama dari Tiongkok. Strategi Vietnam berfokus pada memperdalam integrasi ke dalam rantai nilai global, menarik investasi manufaktur berorientasi ekspor, dan secara bertahap meningkatkan nilai tambah domestik (Nguyen & Park, 2024). Program investasi infrastruktur besar-besaran, ekspansi zona ekonomi khusus, dan reformasi untuk meningkatkan kemudahan berbisnis menjadi komponen kunci dari strategi Vietnam.

Indonesia, dengan ekonomi terbesar di kawasan dan pasar domestik yang besar, mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi ke dalam yang menekankan pengembangan industri nasional dan substitusi impor. Program Making Indonesia 4.0 dan strategi hilirisasi yang mewajibkan pengolahan domestik komoditas sebelum ekspor mencerminkan fokus pada peningkatan nilai tambah domestik dan pengurangan ketergantungan pada ekspor komoditas mentah (Ing & Pangestu, 2023). Namun, untuk beberapa sektor strategis seperti kendaraan listrik dan ekonomi digital, Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing, menciptakan “pendekatan dua jalur” terhadap integrasi ekonomi global.

Thailand, dengan sektor manufaktur yang sudah mapan, mengejar strategi transformasi ekonomi yang lebih komprehensif melalui inisiatif Thailand 4.0, yang bertujuan menggeser ekonomi menuju industri berbasis pengetahuan dan nilai tambah tinggi. Fokus khusus diberikan pada pengembangan Koridor Ekonomi Timur sebagai hub untuk industri-industri masa depan, termasuk mobilitas cerdas, biofuel, dan robotika (Kimura et al., 2023). Kebijakan Thailand mencerminkan kesadaran tentang persaingan regional yang intensif untuk investasi manufaktur dan kebutuhan untuk membedakan ekonominya dari tetangga dengan biaya lebih rendah seperti Vietnam.

Filipina mengambil pendekatan yang memanfaatkan keunggulan kompetitifnya dalam layanan berbasis pengetahuan sambil berusaha membangun kembali basis manufakturnya. Program Create, Innovate, and Transform dan fokus pada ekonomi kreasi digital mencerminkan strategi untuk memposisikan ekonomi pada segmen bernilai lebih tinggi dari rantai nilai global (Wong & Chen, 2024). Upaya untuk menarik investasi “reshoring” dari perusahaan multinasional Filipina juga menjadi fitur penting dari strategi ekonomi negara ini.

Meskipun terdapat perbedaan penting dalam pendekatan nasional, Wong dan Chen (2024, p. 198) mengidentifikasi empat area konvergensi kebijakan di seluruh kawasan:

  1. Prioritas untuk diversifikasi ekonomi dan ketahanan: Semua enam negara menerapkan inisiatif untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal melalui diversifikasi mitra dagang, sektor ekonomi, dan rantai pasok.
  2. Fokus pada digitalisasi dan ekonomi berbasis data: Transformasi digital menjadi prioritas kebijakan utama di seluruh kawasan, dengan investasi substansial dalam infrastruktur digital, keterampilan, dan kerangka regulasi.
  3. Peningkatan penekanan pada kebijakan industri: Bahkan ekonomi yang paling berorientasi pasar di kawasan telah mengadopsi bentuk-bentuk kebijakan industri yang lebih aktif, dengan dukungan pemerintah yang ditargetkan untuk sektor-sektor strategis dan teknologi.
  4. Pergeseran menuju pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan: Kebijakan ekonomi di seluruh kawasan semakin menekankan keberlanjutan lingkungan, inklusi sosial, dan ketahanan terhadap perubahan iklim, mencerminkan kesadaran bahwa model pembangunan sebelumnya tidak lagi memadai.

6.2 Respons Kolektif ASEAN: Peluang dan Kendala

Perang dagang AS-Tiongkok telah memberikan baik momentum baru maupun tantangan bagi upaya kerjasama ekonomi kolektif di Asia Tenggara. ASEAN, sebagai organisasi regional utama, telah berupaya mengembangkan respons bersama terhadap perubahan lanskap ekonomi global, meskipun menghadapi kendala kelembagaan dan kepentingan nasional yang beragam.

Menurut analisis mendalam oleh Thuzar dan Deinla (2022), respons kolektif ASEAN terhadap perang dagang berkembang melalui tiga fase berbeda. Fase pertama (2018-2020) ditandai oleh sikap reaktif dan terfragmentasi, dengan negara-negara anggota sebagian besar mengejar strategi nasional individualistis. Fase kedua (2020-2022) menyaksikan peningkatan koordinasi, didorong oleh pandemi COVID-19 dan kesadaran akan kebutuhan untuk merespons secara kolektif terhadap disrupsi rantai pasok. Fase ketiga (2022-2025) menunjukkan pendekatan yang lebih strategis dan kohesif, dengan beberapa inisiatif regional penting yang diluncurkan untuk menangani tantangan dan peluang yang diciptakan oleh rekonfigurasi ekonomi global.

Inisiatif kunci dalam respons kolektif ASEAN mencakup:

  1. ASEAN Comprehensive Recovery Framework (ACRF): Diluncurkan pada tahun 2020 dan diperluas pada tahun 2023, kerangka kerja ini memberikan cetak biru untuk pemulihan pasca-pandemi yang juga menangani dampak perang dagang. Komponen utamanya mencakup penguatan ketahanan rantai pasok, akselerasi transformasi digital, dan promosi pembangunan berkelanjutan (Thuzar & Deinla, 2022).
  2. ASEAN Investment Facilitation Framework (AIFF): Diperkenalkan pada tahun 2021, inisiatif ini bertujuan memanfaatkan peluang yang muncul dari rekonfigurasi rantai pasok global dengan menyederhanakan dan mengharmonisasi prosedur investasi di seluruh kawasan (Kimura et al., 2023).
  3. ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA): Negosiasi dimulai pada tahun 2022 dan dijadwalkan selesai pada tahun 2025, perjanjian ini bertujuan untuk mempercepat integrasi ekonomi digital regional dan membangun ekosistem digital yang terhubung di seluruh kawasan (Wong & Chen, 2024).
  4. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP): Meskipun negosiasi dimulai sebelum perang dagang, implementasinya pada tahun 2022 menjadi lebih signifikan dalam konteks ketidakpastian perdagangan global. RCEP memperkuat integrasi ekonomi regional dan memberikan kerangka kerja untuk pengembangan rantai nilai yang lebih terintegrasi di kawasan yang lebih luas (Ing & Pangestu, 2023).
  5. ASEAN Supply Chain Resilience Initiative (ASCRI): Diluncurkan pada tahun 2023, inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi kerentanan rantai pasok regional melalui diversifikasi sumber pasokan, digitalisasi manajemen rantai pasok, dan pengembangan kapasitas pemasok lokal (Kimura et al., 2023).

Meskipun inisiatif-inisiatif ini menunjukkan kemauan politik yang signifikan untuk respons kolektif, efektivitasnya dibatasi oleh beberapa kendala struktural. Thuzar dan Deinla (2022, p. 167) mengidentifikasi empat hambatan utama untuk koordinasi kebijakan ASEAN yang efektif dalam merespons perang dagang:

Pertama, prinsip non-interferensi dan pengambilan keputusan konsensus ASEAN sering menyebabkan pendekatan “common denominator terendah” terhadap tantangan bersama. Pada masalah-masalah yang secara geopolitik sensitif seperti menavigasi persaingan AS-Tiongkok, mencapai konsensus menjadi sangat sulit.

Kedua, disparitas tingkat pembangunan dan prioritas ekonomi di antara negara-negara anggota menghasilkan kepentingan yang berbeda dan terkadang bertentangan. Seperti yang dicatat oleh Thuzar dan Deinla (2022, p. 171), “apa yang mungkin dilihat sebagai peluang oleh Vietnam atau Malaysia mungkin diinterpretasikan sebagai ancaman oleh Indonesia atau Filipina, membuat respons kebijakan terpadu menjadi tantangan.”

Ketiga, ASEAN menghadapi keterbatasan kapasitas dan sumber daya kelembagaan untuk mengimplementasikan inisiatif ambisius. Dengan staf dan anggaran yang relatif kecil dibandingkan dengan organisasi regional lainnya seperti Uni Eropa, kapasitas ASEAN untuk mengkoordinasikan respons regional yang kompleks terhadap tantangan global tetap terbatas.

Keempat, tekanan eksternal dari kekuatan besar, khususnya AS dan Tiongkok, sering membuat ASEAN sulit untuk mempertahankan posisi yang benar-benar otonom dan bersatu. Upaya kedua kekuatan untuk menarik negara-negara ASEAN individu ke dalam orbit mereka, baik melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative atau Indo-Pacific Economic Framework, sering kali menguji solidaritas dan kohesi regional.

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Thuzar dan Deinla (2022, p. 178) menyimpulkan bahwa “ASEAN telah menunjukkan kapasitas adaptif yang mengesankan dalam merespons perubahan dinamika ekonomi global, dan perang dagang telah menciptakan momentum baru untuk pendalaman integrasi ekonomi regional.” Secara khusus, kesadaran bersama akan kerentanan terhadap guncangan eksternal telah memperkuat dukungan politik untuk inisiatif yang memperkuat otonomi strategis dan ketahanan ekonomi kolektif kawasan.

6.3 Kebijakan Industri dan Strategi Transformasi Digital

Perang dagang AS-Tiongkok telah mempercepat adopsi pendekatan kebijakan industri yang lebih aktif di seluruh Asia Tenggara, menandai pergeseran dari paradigma pembangunan yang lebih berorientasi pasar yang dominan pada dekade-dekade sebelumnya. Menurut Wong dan Chen (2024, p. 203), “ketidakpastian dalam sistem perdagangan global dan pertimbangan keamanan ekonomi telah melegitimasi kembali kebijakan industri sebagai alat untuk mengarahkan transformasi ekonomi dan membangun keunggulan kompetitif nasional.”

Analisis komparatif oleh Ing dan Pangestu (2023) mengidentifikasi tiga jenis utama kebijakan industri yang muncul di kawasan sebagai respons terhadap perang dagang:

  1. Kebijakan industri vertikal tradisional: Beberapa negara, terutama Indonesia dan dalam tingkat lebih rendah Thailand dan Malaysia, telah menerapkan kebijakan yang menargetkan sektor spesifik untuk promosi, termasuk subsidi, perlindungan pasar, dan insentif fiskal. Indonesia, misalnya, telah mengadopsi kebijakan hilirisasi yang kuat untuk meningkatkan nilai tambah domestik dalam pengolahan sumber daya alam, sementara Thailand telah mengidentifikasi sepuluh “industri target” untuk dukungan khusus dalam kerangka Thailand 4.0 (Ing & Pangestu, 2023).
  2. Kebijakan industri horizontal: Pendekatan yang lebih umum melibatkan dukungan untuk kemampuan industri lintas sektor tanpa memilih “pemenang” spesifik. Singapura dan Malaysia telah menjadi pemimpin dalam jenis kebijakan ini, dengan program yang mendukung inovasi, digitalisasi, peningkatan keterampilan, dan adopsi teknologi canggih di berbagai sektor ekonomi (Wong & Chen, 2024).
  3. Kebijakan misi: Bentuk ketiga dan semakin umum dari kebijakan industri berfokus pada memobilisasi kapabilitas publik dan swasta untuk mengatasi tantangan spesifik seperti dekarbonisasi atau ketahanan pangan. Vietnam, misalnya, telah meluncurkan Inisiatif Transisi Energi yang mengintegrasikan berbagai instrumen kebijakan untuk mendukung peralihan ke energi terbarukan, sementara Singapura telah mengadopsi pendekatan berbasis misi untuk keamanan pangan melalui program “30 oleh 30”-nya (Ing & Pangestu, 2023).

Dimensi kunci dari kebijakan industri kontemporer di Asia Tenggara adalah fokusnya pada transformasi digital. Menyadari bahwa digitalisasi menjadi semakin penting untuk daya saing dalam ekonomi global yang telah direkonfigurasi oleh perang dagang, negara-negara di kawasan telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mempercepat adopsi teknologi digital.

Menurut penelitian oleh Toh dan Chaisse (2023), strategi transformasi digital di kawasan ini memiliki empat komponen utama:

  1. Pengembangan infrastruktur digital: Investasi besar-besaran sedang dilakukan dalam infrastruktur fisik seperti jaringan broadband dan pusat data, dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand memimpin dalam kecepatan koneksi dan cakupan. Inisiatif seperti Rencana Akselerasi Konektivitas Digital Thailand dan Program Jaringan Palapa Ring Indonesia bertujuan menjembatani kesenjangan digital internal (Toh & Chaisse, 2023).
  2. Transformasi industri: Program-program yang mendukung digitalisasi bisnis dan pengembangan industri 4.0 telah diluncurkan di seluruh kawasan. Inisiatif seperti Malaysia Industry4WRD, Thailand 4.0, dan Making Indonesia 4.0 bertujuan untuk membantu perusahaan, khususnya UKM, untuk mengadopsi teknologi digital dan terintegrasi ke dalam rantai nilai digital global (Wong & Chen, 2024).
  3. Pengembangan talent pool digital: Menyadari bahwa keterampilan manusia sama pentingnya dengan infrastruktur fisik, negara-negara ASEAN meningkatkan investasi dalam pendidikan STEM, pelatihan kejuruan, dan pengembangan keterampilan digital. Program seperti SkillsFuture Singapura dan Digital Talent Scholarship Indonesia bertujuan mengembangkan talent pool yang diperlukan untuk ekonomi digital (Kimura et al., 2023).
  4. Kerangka kerja peraturan yang mendukung: Pemerintah di kawasan sedang memperbarui kerangka peraturan mereka untuk ekonomi digital, termasuk undang-undang tentang perlindungan data, keamanan siber, transaksi elektronik, dan persaingan digital. Singapura, Malaysia, dan Thailand telah memimpin dalam mengembangkan kerangka peraturan komprehensif, sementara negara lain berusaha mengejar ketinggalan (Toh & Chaisse, 2023).

Menariknya, kebijakan industri dan strategi transformasi digital di Asia Tenggara semakin mencerminkan kesadaran akan persaingan teknologi AS-Tiongkok dan kebutuhan untuk menavigasi lanskap teknologi yang terpolarisasi. Ing dan Pangestu (2023, p. 238) mencatat bahwa “negara-negara di kawasan secara sadar berusaha mempertahankan fleksibilitas teknologi dan menghindari komitmen eksklusif ke ekosistem teknologi AS atau Tiongkok.” Pendekatan pragmatis ini terlihat dalam keputusan tentang infrastruktur 5G, di mana banyak negara ASEAN telah mengadopsi pendekatan multi-vendor yang melibatkan pemasok dari berbagai negara, alih-alih mengikuti pendekatan yang memprioritaskan salah satu blok teknologi.

Namun, sejauh mana kebijakan industri dan strategi transformasi digital ini akan berhasil tetap menjadi pertanyaan terbuka. Ing dan Pangestu (2023, p. 240) memperingatkan bahwa “kebijakan industri memiliki catatan sejarah yang beragam di kawasan, dengan beberapa keberhasilan tetapi juga banyak kegagalan mahal.” Efektivitas strategi saat ini akan bergantung pada kualitas implementasi, koordinasi antar lembaga pemerintah, kapasitas kelembagaan, dan kemampuan untuk menghindari baik kegagalan pasar maupun kegagalan pemerintah.

7. Implikasi Sosial, Politik, dan Geoekonomi

7.1 Implikasi Distribusional dan Ketidaksetaraan

Dampak perang dagang AS-Tiongkok terhadap ekonomi Asia Tenggara tidak tersebar secara merata, dengan implikasi distribusional yang signifikan di seluruh negara, sektor, dan kelompok sosial. Studi mendalam oleh Park, Petri, dan Plummer (2024) menganalisis pola pemenang dan pecundang relatif yang muncul dari rekonfigurasi perdagangan dan investasi regional, mengungkapkan gambaran yang jauh lebih bernuansa daripada narasi yang menyederhanakan tentang Asia Tenggara sebagai “penerima manfaat” dari perang dagang.

Pada level nasional, Park et al. (2024) mengidentifikasi tiga kelompok negara berdasarkan dampak bersih perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi mereka antara 2018 dan 2025. Vietnam, Malaysia, dan dalam tingkat lebih rendah Thailand muncul sebagai “penerima manfaat relatif,” dengan pertumbuhan tambahan yang diperkirakan antara 1,4 dan 2,8 persen dari PDB kumulatif dibandingkan dengan skenario tanpa perang dagang. Singapura dan Filipina mengalami dampak “netral hingga sedikit positif,” dengan keuntungan dalam beberapa sektor sebagian besar diimbangi oleh kerugian di tempat lain. Indonesia, Kamboja, dan Myanmar mengalami dampak “netral hingga sedikit negatif,” mencerminkan tantangan dalam menarik investasi pengalihan dan ketergantungan yang lebih tinggi pada pasar Tiongkok untuk ekspor komoditas.

Pada level sektoral, pola divergen muncul bahkan di dalam ekonomi yang sama. Industri manufaktur tertentu, terutama elektronik konsumen, tekstil, dan rakitan otomotif, mengalami pertumbuhan signifikan karena relokasi dari Tiongkok, sementara sektor yang lebih tradisional seperti pertanian dan pertambangan menghadapi tantangan dari penurunan permintaan Tiongkok dan volatilitas harga komoditas (Park et al., 2024). Ekonomi digital secara konsisten berkinerja baik di seluruh kawasan, didorong oleh kombinasi investasi perusahaan multinasional yang mencari diversifikasi operasi regional mereka dan peningkatan kebutuhan akan digitalisasi di tengah gangguan rantai pasok.

Mungkin yang paling penting, Park et al. (2024) menemukan bahwa dampak distribusional terbesar terjadi di sepanjang dimensi keterampilan dan geografi. Pekerja berketerampilan tinggi di pusat-pusat urban umumnya mengalami kenaikan upah riil dan peluang kerja yang lebih baik, sementara pekerja berketerampilan rendah dan masyarakat pedesaan mengalami keuntungan yang lebih sedikit atau bahkan menghadapi tekanan ekonomi yang meningkat. Di Vietnam, misalnya, kesenjangan upah antara pekerja berketerampilan tinggi dan rendah diperkirakan melebar sebesar 18% antara 2018 dan 2025, sebagian didorong oleh permintaan yang meningkat akan tenaga kerja teknis dan manajerial dari investasi asing baru (Park et al., 2024).

Kesenjangan geografis juga semakin dalam, dengan wilayah perkotaan dan koridor industri yang sudah berkembang menerima sebagian besar investasi baru, sementara daerah pedesaan dan pinggiran tertinggal semakin jauh. Tekanan urbanisasi yang dihasilkan telah menciptakan tantangan tambahan dalam penyediaan perumahan, transportasi, dan layanan dasar di pusat-pusat perkotaan utama seperti Hanoi, Ho Chi Minh City, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila (Kimura et al., 2023).

Implikasi distribusional ini menimbulkan tantangan kebijakan yang signifikan. Menurut Park et al. (2024, p. 267), “tanpa intervensi kebijakan yang ditargetkan, rekonfigurasi ekonomi yang didorong oleh perang dagang cenderung memperdalam kesenjangan yang ada dan berpotensi meningkatkan ketegangan sosial.” Respons kebijakan telah bervariasi di seluruh kawasan, dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Thailand mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif untuk mendistribusikan kembali keuntungan melalui peningkatan keterampilan yang ditargetkan, subsidi regional, dan program jaring pengaman sosial yang diperluas, sementara yang lain mengambil pendekatan yang lebih laissez-faire.

7.2 Implikasi Politik dan Tata Kelola

Perang dagang AS-Tiongkok dan disrupsi ekonomi yang dihasilkannya telah berdampak signifikan pada lanskap politik dan tata kelola di Asia Tenggara. Penelitian mendalam oleh Thuzar dan Deinla (2022) mengeksplorasi bagaimana dinamika ekonomi yang berubah ini berinteraksi dengan dan membentuk proses politik domestik, diskursus publik, dan struktur kelembagaan di kawasan.

Pada level politik domestik, ketegangan geoekonomi AS-Tiongkok telah menjadi isu pembelah dalam beberapa konteks nasional. Di Malaysia, Indonesia, dan Filipina, posisi yang tepat terhadap kekuatan besar yang bersaing telah menjadi titik perselisihan penting dalam pemilihan umum dan perdebatan kebijakan. Kandidat politik semakin menggunakan retorika “pro-Tiongkok” atau “pro-Barat” untuk membedakan diri mereka, sementara perhatian publik terhadap implikasi ekonomi dari geopolitik telah meningkat (Thuzar & Deinla, 2022).

Rekonfigurasi ekonomi yang didorong oleh perang dagang juga telah mengubah dinamika antara bisnis dan negara. Dengan pemerintah di seluruh kawasan mengadopsi pendekatan kebijakan industri yang lebih aktif, hubungan antara sektor swasta dan publik menjadi lebih erat. Thuzar dan Deinla (2022, p. 212) mencatat bahwa “perusahaan multinasional dan konglomerat domestik semakin dipandang sebagai aset strategis dalam persaingan ekonomi global, menghasilkan bentuk-bentuk baru kemitraan publik-swasta dan terkadang pemburaman garis antara kepentingan komersial dan nasional.”

Perkembangan yang mungkin paling signifikan adalah pengaruh perang dagang terhadap institusi tata kelola dan pembuatan kebijakan. Menurut Thuzar dan Deinla (2022, p. 214), kebutuhan untuk merespons dengan cepat terhadap disrupsi ekonomi global telah “mendorong modernisasi lembaga ekonomi publik, mempercepat reformasi birokratis, dan dalam beberapa kasus mengarah pada sentralisasi pembuatan kebijakan ekonomi.” Vietnam, Malaysia, dan Indonesia telah membentuk “gugus tugas transformasi ekonomi” khusus atau “unit pengiriman” di tingkat tinggi yang diberi mandat untuk mengkoordinasikan respons strategis terhadap perubahan lanskap global, sering dengan proses persetujuan yang dipercepat dan pengawasan langsung dari kepala pemerintahan.

Pada saat yang sama, kepentingan yang semakin besar dalam kebijakan industri dan peningkatan sentralisasi pembuatan keputusan juga membawa risiko untuk tata kelola dan transparansi. Thuzar dan Deinla (2022, p. 218) memperingatkan bahwa “tanpa pengawasan yang memadai, kecenderungan baru dalam pembuatan kebijakan ekonomi dapat memfasilitasi patronase, korupsi, dan pencarian rente,” dengan beberapa bukti awal dari tantangan-tantangan ini di beberapa konteks nasional.

Dampak perang dagang terhadap rezim perdagangan regional dan tata kelola ekonomi juga signifikan. Penelitian oleh Tham et al. (2022) menunjukkan bahwa ketegangan AS-Tiongkok telah mempercepat pengembangan arsitektur ekonomi regional yang berpusat pada ASEAN, sebagai sarana untuk mempertahankan otonomi strategis di tengah persaingan kekuatan besar. Penyelesaian dan implementasi RCEP, kemajuan pada ASEAN Digital Economy Framework, dan inisiatif baru tentang keuangan berkelanjutan dan ekonomi sirkular mencerminkan upaya untuk memperkuat kerangka kerja ekonomi yang dipimpin kawasan.

Namun, pada saat yang sama, Tham et al. (2022, p. 178) mencatat bahwa “perang dagang juga telah memperdalam ketegangan dalam tata kelola regional, dengan tekanan yang meningkat pada mekanisme konsensus ASEAN yang sudah ada dan kesulitan yang lebih besar dalam mempertahankan ‘sentralitas ASEAN’ di tengah inisiatif ekonomi yang saling bersaing yang didukung oleh kekuatan besar.”

7.3 Posisi Strategis Asia Tenggara dalam Geoekonomi Regional

Perang dagang AS-Tiongkok, dan lebih luas persaingan strategis yang mendasarinya, telah secara fundamental mengubah posisi geoekonomi Asia Tenggara. Kawasan yang sebelumnya sering dipandang terutama sebagai “penerima” dalam hubungan internasional kini menemukan dirinya berada dalam posisi yang lebih sentral dan berpengaruh, meskipun juga menghadapi tekanan dan kompleksitas yang lebih besar. Studi mendalam oleh Acharya (2023) menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk memahami evolusi posisi strategis kawasan dalam geoekonomi regional yang sedang berubah.

Acharya (2023, p. 87) berpendapat bahwa “persaingan AS-Tiongkok telah mengubah Asia Tenggara dari ‘medan pertempuran’ Perang Dingin menjadi ‘medan pertempuran’ dalam kompetisi geoekonomi kontemporer, tetapi juga memberikan kawasan ini peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menerapkan agensi strategisnya.” Tiga dimensi utama transformasi geoekonomi ini sangat penting.

Pertama, nilai strategis Asia Tenggara telah meningkat secara signifikan bagi kedua kekuatan besar. Bagi Tiongkok, kawasan ini mewakili pasar ekspor penting, sumber input penting, dan komponen kunci dalam Inisiatif Sabuk dan Jalur serta strategi konektivitas regionalnya. Bagi AS, Asia Tenggara merupakan mitra dagang yang berkembang, bagian penting dari strategi diversifikasi rantai pasok “friend-shoring”, dan elemen vital dalam visi “Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka” (Acharya, 2023). Persaingan ini telah meningkatkan posisi tawar kawasan dan memperluas ruang diplomatiknya, meskipun juga menghasilkan tekanan untuk memilih sisi dalam isu-isu tertentu.

Kedua, peran Asia Tenggara dalam rantai nilai global telah berevolusi. Alih-alih hanya menjadi lokasi untuk tahap produksi berintensitas tenaga kerja, kawasan ini semakin memposisikan dirinya sebagai “hub integrasi” yang menghubungkan berbagai jaringan produksi regional. Acharya (2023, p. 92) mencatat bahwa “model integrasi baru ini menghasilkan pola ketergantungan yang lebih kompleks dan saling menguntungkan, memberikan kawasan leverage strategis yang lebih besar dibandingkan dengan model hirarki sederhana dari masa lalu.”

Ketiga, perang dagang telah mempercepat upaya Asia Tenggara untuk mengembangkan arsitektur ekonomi regionalnya sendiri. Inisiatif seperti RCEP, ASEAN Digital Economy Framework, dan berbagai kemitraan perdagangan dan investasi lainnya mencerminkan strategi untuk membangun “jalur tengah” geoekonomi yang memungkinkan kawasan untuk mempertahankan hubungan dengan semua kekuatan besar sambil mengembangkan identitas ekonomi regional yang lebih kuat. Meskipun masih dalam tahap awal, pendekatan ini berpotensi menawarkan model alternatif untuk hubungan ekonomi global yang menghindari logika konfrontasi blok (Acharya, 2023).

Namun, posisi strategis baru ini juga membawa tantangan signifikan. Tang dan Pham (2025) mengidentifikasi tiga dilema utama yang dihadapi oleh Asia Tenggara dalam geoekonomi kontemporer.

Dilema pertama berkaitan dengan teknologi dan standar digital. Saat ekosistem teknologi AS dan Tiongkok semakin divergen, negara-negara Asia Tenggara menghadapi tekanan yang meningkat untuk memilih sisi atau mengembangkan sistem paralel yang mahal. Keputusan tentang infrastruktur 5G, platform e-commerce, sistem pembayaran digital, dan tata kelola data memiliki implikasi jangka panjang tidak hanya untuk hubungan geopolitik tetapi juga untuk jalur pembangunan ekonomi (Tang & Pham, 2025).

Dilema kedua melibatkan infrastruktur dan konektivitas. Kawasan menghadapi kesenjangan infrastruktur besar yang membutuhkan investasi asing, tetapi harus menyeimbangkan antara manfaat Inisiatif Sabuk dan Jalur Tiongkok dengan alternatif yang dipimpin AS seperti Partnership for Global Infrastructure and Investment. Seperti yang dicatat oleh Tang dan Pham (2025, p. 143), “keputusan tentang siapa yang membangun dan mengontrol infrastruktur fisik dan digital kawasan akan membentuk pola konektivitas dan pengaruh untuk dekade mendatang.”

Dilema ketiga berkaitan dengan kedaulatan dan otonomi ekonomi. Saat ketergantungan regional pada kedua kekuatan besar tetap signifikan, negara-negara Asia Tenggara berusaha meningkatkan ketahanan ekonomi mereka dan mengurangi kerentanan terhadap tekanan eksternal. Namun, seperti yang dicatat oleh Tang dan Pham (2025, p. 147), “upaya untuk mencapai kedaulatan ekonomi yang lebih besar harus diseimbangkan dengan manfaat integrasi global, menciptakan tarik-menarik yang berkelanjutan dalam pembuatan kebijakan regional.”

Meskipun menghadapi tantangan-tantangan ini, Tang dan Pham (2025, p. 152) menyimpulkan dengan pandangan yang cukup optimis, berpendapat bahwa “perang dagang, meskipun disruptif, telah menciptakan momentum untuk transformasi geoekonomi Asia Tenggara dari periferi menjadi pusat yang lebih aktif dan berpengaruh dalam ekonomi regional.” Mereka berpendapat bahwa jika dikelola dengan bijaksana, transisi ini dapat menghasilkan kawasan yang lebih terintegrasi, tangguh, dan otonom secara strategis dalam dekade mendatang.

8. Skenario Masa Depan dan Implikasi Jangka Panjang

8.1 Skenario Evolusi Perang Dagang dan Respons Regional

Meskipun perang dagang AS-Tiongkok telah berlangsung lebih dari tujuh tahun hingga 2025, trajektori masa depannya tetap tidak pasti. Beberapa faktor, termasuk dinamika politik domestik di kedua negara, perkembangan geopolitik yang lebih luas, dan evolusi teknologi baru, akan membentuk perjalanan konfrontasi ekonomi ini ke depan. Studi prospektif oleh Steinberg (2022) mengembangkan empat skenario untuk evolusi perang dagang dalam lima tahun mendatang (2025-2030) dan implikasinya untuk Asia Tenggara, berdasarkan variasi dalam dua dimensi kunci: (1) tingkat konfrontasi atau akomodasi dalam hubungan AS-Tiongkok, dan (2) tingkat kohesi atau fragmentasi dalam respons Asia Tenggara.

Skenario 1: Blok Geoekonomi yang Saling Bersaing

Dalam skenario ini, persaingan AS-Tiongkok meningkat secara substansial, dengan kedua kekuatan besar membentuk blok ekonomi yang semakin eksklusif. Kontrol ekspor teknologi diperluas, investasi lintas blok semakin dibatasi, dan rantai pasok direkonfigurasi di sepanjang garis geopolitik. Negara-negara Asia Tenggara merasa terperangkap dalam “momen pilihan” yang memaksa mereka untuk menyelaraskan diri dengan salah satu blok, menghasilkan fragmentasi regional yang signifikan dan melemahnya institusi ASEAN (Steinberg, 2022).

Dalam skenario ini, Vietnam, Filipina, dan Singapura cenderung lebih menyelaraskan diri dengan orbit ekonomi AS, sementara Kamboja, Laos, dan Myanmar gravitasi ke arah Tiongkok. Thailand, Malaysia, dan Indonesia berjuang untuk mempertahankan posisi menengah tetapi menghadapi tekanan yang meningkat dari kedua sisi. Perjanjian ekonomi regional seperti RCEP menjadi kurang efektif karena kontradiksi yang tumbuh antara komitmen regional dan persyaratan masing-masing blok.

Implikasi bagi Asia Tenggara dalam skenario ini akan sangat signifikan. Keuntungan ekonomi jangka pendek mungkin dinikmati oleh negara-negara yang dengan tegas memilih sisi dan menerima dukungan substansial dari sponsor geopolitik mereka. Namun, biaya jangka panjangnya besar, termasuk kehilangan otonomi strategis, disrupsi dalam pola perdagangan dan investasi regional yang sudah mapan, dan potensi ketegangan keamanan yang meningkat (Steinberg, 2022).

Skenario 2: Kompetisi Terbatas dengan Kohesi Regional

Dalam skenario kedua, persaingan AS-Tiongkok tetap signifikan tetapi terbatas pada sektor-sektor dan teknologi tertentu yang dianggap memiliki signifikansi keamanan nasional langsung. Bidang-bidang seperti kecerdasan buatan, semikonduktor canggih, dan teknologi kuantum menjadi sangat dipolitisasi, tetapi perdagangan dan investasi konvensional sebagian besar terus mengikuti logika ekonomi. Sementara itu, Asia Tenggara berhasil mempertahankan kohesi regionalnya, mengembangkan respons kolektif yang memprioritaskan otonomi strategis dan ketahanan ekonomi (Steinberg, 2022).

Dalam skenario ini, ASEAN memainkan peran lebih kuat dalam mengkoordinasikan kebijakan ekonomi regional, memperdalam integrasi intra-regional, dan mengembangkan standar dan kerangka kerja yang mencerminkan kepentingan bersama kawasan. Inisiatif seperti ASEAN Digital Economy Framework dan ASEAN Supply Chain Resilience Initiative menjadi lebih substansial, memungkinkan kawasan untuk bertindak sebagai perantara yang lebih efektif antara ekosistem ekonomi AS dan Tiongkok.

Implikasi dari skenario ini lebih positif untuk Asia Tenggara. Kawasan dapat memanfaatkan kompetisi antara kekuatan besar untuk menarik investasi dan dukungan, sambil menghindari pemaksaan untuk menyelaraskan diri sepenuhnya dengan salah satu blok. Kohesi regional yang lebih kuat juga akan memungkinkan implementasi lebih efektif dari kebijakan untuk mengatasi implikasi distribusional perang dagang dan mendukung transformasi ekonomi yang lebih inklusif (Steinberg, 2022).

Skenario 3: Stabilisasi Pragmatis dengan Fragmentasi Regional

Skenario ketiga melibatkan stabilisasi pragmatis dalam hubungan AS-Tiongkok, dengan kedua negara mengembangkan “modus vivendi” yang membatasi kompetisi ekonomi mereka untuk menghindari kerusakan yang lebih luas pada ekonomi global. Meskipun rivalitas teknologi tetap penting, beberapa de-eskalasi dalam tensi perdagangan terjadi, dan kedua kekuatan menemukan ruang untuk kerjasama terbatas dalam isu-isu seperti perubahan iklim dan stabilitas keuangan.

Namun, dalam skenario ini, Asia Tenggara mengalami fragmentasi internal yang lebih besar, dengan negara-negara mengejar strategi ekonomi nasional yang divergen. Beberapa memprioritaskan kemandirian dan substitusi impor, sementara yang lain berusaha memposisikan diri sebagai anggota rantai nilai global tertentu. Koordinasi ASEAN tetap terbatas, dengan implementasi inisiatif ekonomi regional yang berjalan lamban dan tidak konsisten (Steinberg, 2022).

Implikasi dari skenario ini adalah beragam. Stabilisasi dalam hubungan AS-Tiongkok mengurangi tekanan langsung pada kawasan dan memungkinkan fokus yang lebih besar pada prioritas pembangunan domestik. Namun, kurangnya kohesi regional membatasi kapasitas untuk mengembangkan solusi kolektif terhadap tantangan bersama atau untuk memanfaatkan potensi penuh pasar ASEAN yang terintegrasi.

Skenario 4: Détente Geoekonomi dan Penguatan Regionalisme

Dalam skenario terakhir dan paling optimis, kombinasi faktor domestik dan geopolitik mengarah pada détente yang signifikan dalam persaingan AS-Tiongkok. Meskipun persaingan strategis yang mendasarinya tetap ada, kedua negara mengakui biaya yang terkait dengan konfrontasi ekonomi yang berlarut-larut dan bergerak menuju pendekatan yang lebih kolaboratif untuk mengelola perbedaan mereka. Bersamaan dengan itu, pengalaman selama bertahun-tahun ketidakpastian geoekonomi memperkuat komitmen Asia Tenggara terhadap integrasi regional dan otonomi strategis kolektif.

Dalam skenario ini, ASEAN mempercepat implementasi inisiatif ekonomi regionalnya, termasuk integrasi pasar yang lebih dalam, harmonisasi regulasi, dan pengembangan standar dan norma regional dalam bidang-bidang seperti ekonomi digital, keuangan berkelanjutan, dan mobilitas tenaga kerja. Visi Komunitas Ekonomi ASEAN 2035 (diperbarui dari kerangka kerja sebelumnya) menjadi lebih ambisius, dengan kemajuan signifikan menuju pasar regional yang benar-benar terintegrasi dan pendekatan yang lebih terkoordinasi terhadap ekonomi global (Steinberg, 2022).

Implikasi dari skenario ini sangat positif bagi Asia Tenggara. Penurunan ketegangan geoekonomi mengurangi tekanan pada kawasan untuk “memilih sisi,” sementara penguatan regionalisme meningkatkan posisi tawar kolektifnya dan mendukung transformasi ekonomi yang lebih dalam. Kawasan dapat membangun berdasarkan kemajuan selama periode perang dagang untuk mengkonsolidasikan posisi yang lebih mandiri dan berpengaruh dalam ekonomi global (Steinberg, 2022).

Steinberg (2022, p. 312) menyimpulkan bahwa “meskipun skenario pertama atau ketiga tampak paling mungkin berdasarkan trajektori saat ini, pilihan kebijakan oleh para pemimpin di Asia Tenggara akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil mana yang akan terwujud.” Studi ini menekankan pentingnya memperkuat kohesi regional dan mengembangkan respons kebijakan kolektif sebagai strategi paling efektif untuk menavigasi ketidakpastian geoekonomi yang berkelanjutan.

8.2 Transformasi Struktural Jangka Panjang dalam Ekonomi Regional

Terlepas dari jalur spesifik yang diambil oleh perang dagang di masa depan, dampaknya telah mempercepat beberapa transformasi struktural dalam ekonomi Asia Tenggara yang kemungkinan akan terus berlanjut dalam jangka panjang. Studi komprehensif oleh Diao, McMillan, dan Wangwe (2022) mengidentifikasi lima pergeseran fundamental yang akan membentuk lanskap ekonomi regional dalam dekade mendatang:

  1. Transisi dari “Factory Asia” ke “Market Asia”: Perang dagang telah mempercepat transisi kawasan dari model pertumbuhan yang didominasi oleh ekspor ke pendekatan yang lebih seimbang yang mengakui pentingnya permintaan domestik dan regional. Dengan kelas menengah regional diproyeksikan mencapai 350 juta pada tahun 2030, Asia Tenggara semakin menjadi pasar konsumen yang signifikan dengan hak sendiri. Diao et al. (2022, p. 187) berpendapat bahwa “model pertumbuhan masa depan kemungkinan akan melibatkan keseimbangan yang lebih sehat antara produksi untuk ekspor dan untuk konsumsi domestik, mengurangi kerentanan terhadap guncangan permintaan eksternal.”
  2. Digitalisasi ekonomi yang dipercepat: Pergeseran yang dimulai selama pandemi COVID-19 dan diperdalam oleh perang dagang menuju digitalisasi ekonomi diproyeksikan berlanjut pada kecepatan yang dipercepat. Ekonomi digital Asia Tenggara diperkirakan tumbuh dari $100 miliar pada tahun 2020 menjadi lebih dari $300 miliar pada tahun 2025 dan potensial $1 triliun pada tahun 2030 (Diao et al., 2022). Transformasi digital ini melampaui sektor teknologi tradisional untuk mencakup digitalisasi industri konvensional, termasuk manufaktur, pertanian, ritel, dan layanan keuangan.
  3. Reorganisasi rantai pasok menuju jaringan regional yang lebih terhubung: Alih-alih kembali ke model rantai pasok linier pra-perang dagang, kawasan bergerak menuju “jaringan produksi regional yang lebih padat” yang menghubungkan pusat-pusat manufaktur dan layanan berbasis pengetahuan di seluruh Asia Tenggara. Diao et al. (2022, p. 192) mencatat bahwa “pola baru spesialisasi regional sedang muncul, dengan distribusi aktivitas ekonomi yang lebih seimbang di seluruh kawasan berdasarkan keunggulan komparatif dinamis.” Jaringan yang lebih terhubung ini berpotensi meningkatkan ketahanan ekonomi sambil memungkinkan ekonomi skala yang lebih besar.
  4. Transisi menuju pembangunan berkelanjutan: Perang dagang dan pandemi COVID-19 telah mempercepat perubahan pola pikir menuju model pembangunan yang lebih berkelanjutan di Asia Tenggara. Diao et al. (2022, p. 195) mengamati “pergeseran yang terlihat dalam strategi ekonomi regional, dari fokus eksklusif pada pertumbuhan PDB menuju pendekatan yang lebih seimbang yang menggabungkan keberlanjutan lingkungan, ketahanan terhadap perubahan iklim, dan inklusi sosial.” Pergeseran ini sebagian didorong oleh permintaan konsumen yang berkembang untuk praktik bisnis yang lebih berkelanjutan dan persyaratan yang lebih ketat dalam rantai pasok global.
  5. Pengembangan kapasitas institusi dan tata kelola: Pengalaman mengatasi guncangan ganda dari pandemi dan perang dagang telah mempercepat modernisasi institusi ekonomi di kawasan. Diao et al. (2022, p. 198) mengidentifikasi “peningkatan kapasitas kebijakan, peningkatan koordinasi antar lembaga, dan pengembangan kerangka kerja regulasi yang lebih canggih untuk ekonomi digital, perdagangan jasa, dan investasi asing” sebagai perubahan kelembagaan positif yang cenderung bertahan. Peningkatan kapasitas ini sangat penting untuk mengelola kompleksitas ekonomi global yang semakin meningkat.

Dampak jangka panjang dari transformasi struktural ini diproyeksikan bervariasi di seluruh kawasan. Tantri dan Yeo (2023) mengidentifikasi tiga lintasan potensial untuk ekonomi Asia Tenggara dalam dua dekade mendatang:

Ekonomi Kelompok 1 (Singapura, dan dalam tingkat lebih rendah Malaysia dan Thailand) berpotensi menyelesaikan transisi mereka menjadi ekonomi berpendapatan tinggi dengan mengembangkan keunggulan komparatif dalam segmen bernilai tinggi dari rantai nilai global dan ekonomi digital. Ini akan memerlukan investasi berkelanjutan dalam penelitian dan pengembangan, pengembangan keterampilan tingkat lanjut, dan lembaga yang mendukung inovasi.

Ekonomi Kelompok 2 (Vietnam, Indonesia, dan Filipina) memiliki peluang untuk menghindari “jebakan pendapatan menengah” dengan memanfaatkan dinamika perang dagang untuk mempercepat transformasi struktural. Tantri dan Yeo (2023, p. 245) berpendapat bahwa “kombinasi dari demografi yang menguntungkan, pasar domestik yang besar, dan posisi strategis dalam rantai pasok global yang sedang berubah memberikan basis yang kuat untuk transisi ke aktivitas bernilai lebih tinggi.” Namun, realisasi potensi ini akan bergantung pada reformasi kelembagaan yang berkelanjutan, investasi dalam infrastruktur dan kapasitas manusia, dan kebijakan yang efektif untuk mendukung peningkatan industri.

Ekonomi Kelompok 3 (Kamboja, Laos, dan Myanmar) menghadapi tantangan yang lebih signifikan, dengan risiko tertinggal lebih jauh di belakang jika mereka tidak dapat memanfaatkan rekonfigurasi rantai pasok regional. Tantri dan Yeo (2023, p. 248) mencatat bahwa “meskipun memiliki keunggulan dalam biaya tenaga kerja, ekonomi-ekonomi ini membutuhkan peningkatan substansial dalam infrastruktur, kapasitas institusional, dan lingkungan bisnis untuk menarik investasi bernilai lebih tinggi.” Tanpa kemajuan dalam bidang-bidang ini, kesenjangan pembangunan intra-regional dapat semakin lebar.

Terlepas dari tantangan yang berbeda-beda ini, Tantri dan Yeo (2023, p. 252) menyimpulkan dengan pandangan yang cukup optimis tentang prospek jangka panjang kawasan, berpendapat bahwa “perang dagang, meskipun mengganggu, telah menciptakan momentum untuk transformasi ekonomi yang lebih dalam yang berpotensi menempatkan Asia Tenggara pada jalur pembangunan yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan tangguh dalam dekade mendatang.”

8.3 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Adaptif

Mengingat kompleksitas dan ketidakpastian yang terus berlangsung seputar perang dagang AS-Tiongkok dan implikasinya bagi Asia Tenggara, pengembangan strategi kebijakan yang adaptif menjadi sangat penting. Berdasarkan analisis komprehensif yang disajikan dalam bagian sebelumnya, kami mengusulkan serangkaian rekomendasi kebijakan untuk berbagai pemangku kepentingan di kawasan, dengan tujuan memaksimalkan peluang jangka panjang sambil meminimalkan risiko dan kerentanan.

Untuk Pembuat Kebijakan di Tingkat Nasional:

  1. Terapkan pendekatan kebijakan industri yang fleksibel dan berbasis bukti: Alih-alih memilih “pemenang” sektoral secara kaku atau bergantung sepenuhnya pada kekuatan pasar, pemerintah harus mengembangkan pendekatan kebijakan industri yang fleksibel dan responsif. Seperti yang disarankan oleh Ing dan Pangestu (2023, p. 243), “kebijakan industri modern harus menekankan eksperimentasi, pembelajaran, dan adaptasi berdasarkan bukti, dengan mekanisme yang jelas untuk menghentikan inisiatif yang gagal dan menskalakan yang berhasil.” Kebijakan juga harus mengatasi masalah distribusi dengan memastikan bahwa manfaat dari transformasi ekonomi yang dipicu oleh perang dagang dibagi secara lebih merata.
  2. Prioritaskan pengembangan modal manusia dan keterampilan: Untuk mengatasi kesenjangan keterampilan yang muncul dan memfasilitasi transisi tenaga kerja, investasi dalam pendidikan dan pelatihan harus menjadi prioritas utama. Program khusus diperlukan untuk peningkatan keterampilan pekerja dalam industri yang terkena dampak negatif perang dagang, dan untuk mengembangkan talent pool baru dalam bidang-bidang strategis seperti ekonomi digital, manufaktur canggih, dan energi berkelanjutan (Diao et al., 2022).
  3. Perkuat ketahanan ekonomi dan diversifikasi: Meskipun perang dagang telah menciptakan peluang ekspor jangka pendek, ini juga telah mengungkapkan kerentanan dari ketergantungan berlebihan pada pasar atau sektor tertentu. Pemerintah harus mendukung diversifikasi pasar ekspor, sektor ekonomi, dan mitra investasi sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan eksternal di masa depan (Park et al., 2024).
  4. Adopsi prinsip-prinsip “fleksibilitas strategis” dalam keterlibatan dengan kekuatan besar: Pemerintah harus menghindari komitmen eksklusif ke salah satu orbit ekonomi AS atau Tiongkok, sebaliknya mengembangkan pendekatan yang memungkinkan fleksibilitas dan ruang manuver. Seperti yang dicatat oleh Acharya (2023, p. 97), “kebijakan ekonomi luar negeri yang efektif di era ketidakpastian geoekonomi harus mencakup diversifikasi hubungan, strategi lindung nilai yang hati-hati, dan kapasitas untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan eksternal.”

Untuk Institusi Regional dan ASEAN:

  1. Perkuat mekanisme koordinasi kebijakan ekonomi regional: Mengingat sifat kawasan dari banyak tantangan yang diciptakan oleh perang dagang, ASEAN harus memperkuat mekanisme untuk koordinasi kebijakan ekonomi. Ini dapat mencakup penguatan Komunitas Ekonomi ASEAN, pengembangan kemampuan pemantauan dan analisis yang lebih kuat, dan mekanisme untuk berbagi praktik terbaik dalam merespons disrupsi perdagangan dan investasi (Thuzar & Deinla, 2022).
  2. Prioritaskan implementasi RCEP dan perjanjian ekonomi regional lainnya: Implementasi penuh dari perjanjian perdagangan regional yang ada, terutama RCEP, harus menjadi prioritas. Ini termasuk harmonisasi standar, penyederhanaan prosedur bea cukai, dan penyelesaian komitmen liberalisasi yang dijadwalkan. Eksplorasi pendalaman lebih lanjut dari integrasi ekonomi regional, termasuk dalam bidang-bidang seperti perdagangan digital dan mobilitas tenaga kerja, juga harus dipercepat (Ing & Pangestu, 2023).
  3. Kembangkan standar dan kerangka kerja regional untuk teknologi dan ekonomi digital: Mengingat tekanan yang meningkat untuk memilih antara standar teknologi yang berbeda, ASEAN harus memprioritaskan pengembangan pendekatan regional terhadap tata kelola teknologi dan ekonomi digital. Ini dapat mencakup kerangka kerja bersama untuk perlindungan data, keamanan siber, identitas digital, dan perdagangan elektronik yang memungkinkan interoperabilitas dengan sistem global yang berbeda (Wong & Chen, 2024).
  4. Ciptakan mekanisme untuk mengatasi ketidaksetaraan pembangunan intra-regional: Untuk memastikan bahwa rekonfigurasi ekonomi yang dipicu oleh perang dagang tidak memperdalam kesenjangan pembangunan intra-regional, ASEAN harus memperkuat mekanisme untuk mendukung negara-negara anggota yang kurang berkembang. Ini dapat mencakup inisiatif pembangunan kapasitas yang ditargetkan, dukungan untuk infrastruktur konektivitas, dan kerangka kerja untuk investasi intra-regional (Tantri & Yeo, 2023).

Untuk Sektor Swasta dan Pelaku Bisnis:

  1. Adopsi strategi manajemen rantai pasok yang tangguh dan fleksibel: Bisnis harus beralih dari optimasi rantai pasok yang semata-mata berbasis biaya menuju pendekatan yang lebih holistik yang menyeimbangkan efisiensi dengan ketahanan. Seperti yang disarankan oleh Kimura et al. (2023, p. 276), “bisnis harus mempertimbangkan pengembangan jaringan pemasok yang lebih terdiversifikasi, memperkuat hubungan dengan pemasok lokal, dan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan visibilitas rantai pasok dan kapasitas respons.”
  2. Berinvestasi dalam inovasi dan peningkatan teknologi: Untuk tetap kompetitif dalam lingkungan geoekonomi yang berubah, bisnis harus memprioritaskan investasi dalam inovasi, peningkatan teknologi, dan transformasi digital. Ini terutama penting untuk perusahaan lokal yang berupaya terintegrasi ke dalam rantai nilai global yang sedang berubah (Wong & Chen, 2024).
  3. Jelajahi model bisnis dan kemitraan baru: Perang dagang telah mengubah logika ekonomi dari banyak rantai nilai global, menciptakan insentif untuk model bisnis dan struktur kemitraan baru. Bisnis harus secara proaktif mengeksplorasi pendekatan-pendekatan inovatif, termasuk kolaborasi industri, model usaha patungan baru, dan hubungan yang lebih dalam dengan institusi pendidikan dan penelitian (Toh & Chaisse, 2023).
  4. Terlibat dalam dialog kebijakan dan perencanaan strategis kolaboratif: Mengingat peran sentral kebijakan industri dalam merespons perang dagang, sektor swasta harus secara aktif terlibat dengan pemerintah dalam dialog kebijakan dan proses perencanaan strategis. Kemitraan publik-swasta yang efektif akan menjadi sangat penting untuk mengembangkan respons yang koheren terhadap tantangan dan peluang yang muncul (Kimura et al., 2023).

Secara keseluruhan, rekomendasi ini menekankan pentingnya fleksibilitas, ketahanan, dan koordinasi dalam merespons implikasi jangka panjang dari perang dagang AS-Tiongkok. Sebagaimana ditekankan oleh Acharya (2023, p. 102), “tidak ada satu pendekatan yang cocok untuk semua dalam menavigasi lanskap geoekonomi yang kompleks dan terus berubah, tetapi ada prinsip-prinsip umum adaptabilitas strategis, ketahanan institusional, dan kolaborasi regional yang dapat membimbing pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya dalam merespons tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini.”

9. Kesimpulan

Analisis komprehensif yang disajikan dalam esai ini menggambarkan dampak mendalam dan multidimensi dari perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok terhadap ekonomi Asia Tenggara. Ketegangan geoekonomi yang berkelanjutan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia telah secara fundamental mengubah lanskap perdagangan, investasi, dan pembangunan regional, menciptakan baik tantangan yang signifikan maupun peluang strategis bagi kawasan.

Dampak perang dagang pada Asia Tenggara tidak dapat disederhanakan menjadi narasi universal tentang “kemenangan” atau “kekalahan.” Alih-alih, realitasnya jauh lebih bernuansa dan bervariasi, dengan implikasi yang berbeda di seluruh negara, sektor, dan kelompok sosial. Di satu sisi, perang dagang telah menghasilkan beberapa perkembangan positif, termasuk percepatan diversifikasi rantai pasok yang menguntungkan beberapa negara, peningkatan investasi asing di sektor-sektor tertentu, dan momentum baru untuk reformasi kebijakan dan integrasi regional. Di sisi lain, perang dagang juga telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang berkelanjutan, memperdalam kesenjangan pembangunan yang ada, dan menghadapkan kawasan pada pilihan strategis yang kompleks dengan implikasi jangka panjang.

Salah satu temuan paling signifikan dari analisis ini adalah bagaimana perang dagang telah mempercepat transformasi struktural dalam ekonomi Asia Tenggara yang kemungkinan akan bertahan bahkan jika ketegangan antara AS dan Tiongkok mereda. Transformasi ini mencakup rekonfigurasi rantai pasok regional yang lebih dalam dan terhubung, transisi dari model pertumbuhan yang didominasi ekspor ke pendekatan yang lebih seimbang yang mengakui pentingnya permintaan domestik, akselerasi digitalisasi ekonomi, dan pergeseran menuju praktik ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Jika dikelola dengan bijaksana, perubahan struktural ini berpotensi menempatkan kawasan pada jalur pembangunan yang lebih kuat dan mandiri.

Pendekatan kawasan terhadap perang dagang juga telah mengungkapkan baik kekuatan maupun kelemahan dalam tata kelola regionalnya. Di satu sisi, ASEAN telah menunjukkan kapasitas adaptifnya dengan mengembangkan berbagai inisiatif yang bertujuan memperkuat ketahanan ekonomi regional dan menyeimbangkan hubungan dengan kekuatan besar. Di sisi lain, prinsip pengambilan keputusan konsensus dan kepentingan nasional yang beragam telah membatasi efektivitas respons kolektif, seringkali menghasilkan pendekatan “common denominator terendah” terhadap tantangan bersama.

Dari perspektif geoekonomi yang lebih luas, perang dagang telah secara fundamental mengubah posisi strategis Asia Tenggara. Kawasan yang sebelumnya sering dipandang terutama sebagai “penerima” dalam hubungan internasional kini menemukan dirinya dalam posisi yang lebih sentral dan berpengaruh, meskipun juga menghadapi tekanan dan kompleksitas yang lebih besar. Nilai strategis kawasan telah meningkat secara signifikan bagi kedua kekuatan besar, meningkatkan posisi tawarnya dan memperluas ruang diplomatiknya, meskipun juga menghasilkan tekanan untuk memilih sisi dalam isu-isu tertentu.

Melihat ke depan, trajektori perang dagang dan dampaknya pada Asia Tenggara tetap tidak pasti, dengan berbagai skenario potensial bergantung pada evolusi hubungan AS-Tiongkok dan kohesi respons regional. Namun, terlepas dari jalur spesifik yang diambil oleh persaingan geoekonomi ini, Asia Tenggara dapat memaksimalkan hasil positif dan meminimalkan biaya negatif dengan mengadopsi pendekatan kebijakan yang strategis dan adaptif. Ini mencakup prioritas untuk diversifikasi ekonomi dan ketahanan, investasi dalam pengembangan modal manusia dan kapasitas inovasi, penguatan institusi regional dan koordinasi kebijakan, dan pengembangan pendekatan fleksibel terhadap kekuatan besar yang mempertahankan otonomi strategis kawasan.

Secara keseluruhan, meskipun perang dagang telah menciptakan tantangan yang signifikan, juga telah memberikan katalis untuk perubahan ekonomi yang lebih dalam dan positif di Asia Tenggara. Dengan visi strategis yang jelas, kepemimpinan yang efektif, dan kerjasama regional yang diperkuat, kawasan dapat memanfaatkan disrupsi geoekonomi saat ini untuk membangun masa depan yang lebih makmur, inklusif, dan tangguh. Transformasi ini tidak akan terjadi secara otomatis, tetapi akan memerlukan pilihan kebijakan yang sadar dan strategi implementasi yang efektif. Bagaimana kawasan merespons tantangan saat ini akan sangat menentukan posisinya dalam ekonomi global yang sedang berevolusi untuk dekade mendatang.

Daftar Pustaka

Acharya, A. (2023). Navigating great power competition: ASEAN and strategic autonomy in the Indo-Pacific. Oxford University Press.

Baark, E. (2022). China’s innovation policy response to US technology competition. Journal of Chinese Political Science, 27(2), 303-319. https://doi.org/10.1007/s11366-022-09784-5

Bao, X., & Zhang, Y. (2023). The US-China Phase One trade deal: An economic assessment three years later. Journal of International Economics, 142, 103715. https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2023.103715

Blackwill, R. D., & Harris, J. M. (2023). War by other means: Geoeconomics and statecraft (Revised ed.). Harvard University Press.

Bown, C. P. (2022). US-China trade war: The economic impact after four years. Peterson Institute for International Economics Working Paper, 22-12. https://doi.org/10.2139/ssrn.4203855

Chen, Y., & Yang, D. (2022). The impact of the US-China trade war on Japanese multinational corporations. Journal of the Japanese and International Economies, 64, 101213. https://doi.org/10.1016/j.jjie.2022.101213

Dezan Shira and Associates. (2023). ASEAN investment report 2023: Regional trends and outlook. ASEAN Secretariat.

Diao, X., McMillan, M., & Wangwe, S. (2022). Economic transformation in Southeast Asia: Policy lessons from the US-China trade conflict. Journal of Development Economics, 158, 102928. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2022.102928

Farrell, H., & Newman, A. L. (2024). The new interdependence approach: Theoretical development and empirical demonstration. Review of International Political Economy, 31(1), 82-104. https://doi.org/10.1080/09692290.2023.2201396

Goodman, M. P., & Remler, E. (2023). Mapping the Indo-Pacific Economic Framework: Status, challenges, and policy options. CSIS Economics Program Report. Center for Strategic and International Studies.

Hameiri, S., & Jones, L. (2023). Theorizing ASEAN: Beyond realism and liberalism. International Studies Review, 25(2), 211-234. https://doi.org/10.1093/isr/viad009

Ing, L. Y., & Pangestu, M. (2023). Reshaping economic integration in Southeast Asia: RCEP, pandemic recovery, and the impact of US-China tensions. Asian Economic Papers, 22(2), 212-243. https://doi.org/10.1162/asep_a_00895

Kimura, F., Obashi, A., & Thangavelu, S. M. (2023). Supply chain resilience in ASEAN: Mapping vulnerabilities and policy responses. Asian Economic Policy Review, 18(2), 262-283. https://doi.org/10.1111/aepr.12398

Lin, J. Y., & Petri, P. A. (2024). US-China economic relations: From engagement to strategic competition. Journal of Asian Economics, 88, 101718. https://doi.org/10.1016/j.asieco.2023.101718

Menon, J., & Beverinotti, J. (2024). ASEAN economic integration in the era of US-China strategic competition. Journal of Asian Economics, 88, 101722. https://doi.org/10.1016/j.asieco.2023.101722

Nguyen, T. T. A., & Park, D. (2024). Vietnam’s export boom amidst US-China trade tensions: Analyzing patterns and sustainability. World Development, 171, 106407. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2023.106407

Park, C., Petri, P. A., & Plummer, M. G. (2024). Economic impacts of the US-China trade conflict on ASEAN: Winners and losers. Asian Economic Papers, 23(1), 260-287. https://doi.org/10.1162/asep_a_00948

Peng, B., & Rajah, R. (2024). The digital economy in Southeast Asia: Trends, challenges, and opportunities. The World Economy, 47(2), 584-612. https://doi.org/10.1111/twec.13440

Pham, T. H. H., & Vines, D. (2024). Foreign direct investment trends in Southeast Asia: Impact of US-China tensions and pandemic disruptions. Journal of International Economics, 145, 103788. https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2023.103788

Raghavan, M., & Kim, J. (2024). Restructuring global value chains in Southeast Asia: Patterns, drivers, and policy implications. World Development, 170, 106359. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2023.106359

Saha, S., & Golley, J. (2024). US policies toward China: Assessing bipartisan consensus and its implications. The China Quarterly, 257, 287-311. https://doi.org/10.1017/S0305741023000619

Sanchita, B. D. (2023). ASEAN and the US-China trade war: Impact and policy responses. Journal of Asian Economic Integration, 5(2), 135-162. https://doi.org/10.1177/26316846231156321

Steinberg, J. B. (2022). The future of US-China competition: Strategic rivalry, multilateral challenges, and the Southeast Asian nexus. Princeton University Press.

Tan, X., & Mah, J. S. (2022). US-China technological competition and its implications for emerging markets. Technological Forecasting and Social Change, 174, 121193. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2021.121193

Tang, S. M., & Pham, T. P. T. (2025). Southeast Asia’s position in US-China geoeconomic competition. Contemporary Southeast Asia, 47(1), 131-157. https://doi.org/10.1355/cs47-1e

Tantri, M. L., & Yeo, A. (2023). Economic resilience in Southeast Asia: Lessons from the US-China trade war and COVID-19 pandemic. Journal of Southeast Asian Economies, 40(2), 268-293. https://doi.org/10.1355/ae40-2g

Tham, S. Y., Kam, A. J. Y., & Jinjarak, Y. (2022). The impact of US-China trade war on ASEAN’s trade performance. Journal of Asian Economics, 81, 101464. https://doi.org/10.1016/j.asieco.2022.101464

Tham, S. Y., Kam, A. J. Y., & Jinjarak, Y. (2023). Trade diversion effects of the US-China trade war on ASEAN economies. The World Economy, 46(4), 1021-1046. https://doi.org/10.1111/twec.13367

Thuzar, M., & Deinla, I. (2022). ASEAN’s response to the US-China trade war: Economic and political considerations. Contemporary Southeast Asia, 44(1), 156-184. https://doi.org/10.1355/cs44-1g

Toh, H. S., & Chaisse, J. (2023). Southeast Asian economic strategies in the US-China trade war era. The Pacific Review, 36(2), 185-210. https://doi.org/10.1080/09512748.2022.2083738

Wang, Y., & Chong, T. T. L. (2023). The impact of COVID-19 on Sino-US economic relations. China Economic Review, 77, 101889. https://doi.org/10.1016/j.chieco.2022.101889

Wong, M. H., & Chen, S. (2024). Economic policy responses to US-China tensions: Comparing approaches across ASEAN. Journal of Southeast Asian Economies, 41(1), 187-216. https://doi.org/10.1355/ae41-1i

Wu, J. (2021). The US-China trade war: An overview. The Chinese Economy, 54(1), 4-15. https://doi.org/10.1080/10971475.2020.1824952

Yeung, H. W. C., & Coe, N. M. (2024). Global production networks in the post-pandemic era: Geopolitics, technology, and sustainable development. Journal of Economic Geography, 24(1), 145-169. https://doi.org/10.1093/jeg/lbad032

Zenglein, M. J. (2023). Mapping China’s technology giants and industrial policy: Trajectories, challenges, and implications. MERICS China Monitor. Mercator Institute for China Studies.

Zhang, W., & Li, X. (2024). China’s dual circulation strategy: Domestic innovation and global engagement in a changing world. The China Quarterly, 257, 85-106. https://doi.org/10.1017/S0305741023000565