Tags

, ,

     SERANGAN pesawat-pesawat Iran ke pangkalan Mujahidin Khalq (Pejuang-pejuang Rakyat) di Irak waktunya bersamaan dengan masa persiapan pemilihan presiden Iran 11 Juni nanti. Oleh sebab itu alasan Teheran menggempur Mujahidin tak lain adalah meningkatnya gangguan kelompok oposisi terhadap masyarakat Iran.

     Namun serangan itu mendapat reaksi keras dari Baghdad karena dianggap melanggar perbatasan. Pesawat Iran di antaranya menggempur pangkalan Mujahidin di Ashraf, sekitar 90 kilometer dari perbatasan, di samping pangkalan di Jalula, 35 kilometer perbatasan.

     Serangan itu memperburuk hubungan kedua negara yang belum pulih akibat Perang Iran-Irak selama delapan tahun, 1980-1988. Masih terdapat sisa-sisa persoalan yang mengganjal Iran akibat perang mengerikan itu. Disusul kemudian Perang Teluk 1991, di mana Iran bersikap netral padahal Baghdad mengharapkan retorika Islam versus Barat-nya Saddam Hussein bisa mengundang Iran masuk dalam kancah perang. Nyatanya, Iran hanya mengamati perkembangan walaupun Baghdad dipukul sampai babak belur. 

     Teheran masih merasa tidak perlu terlalu berdekatan dengan Saddam. Apalagi kelompok oposisi Iran masih diberi tempat di Irak, sehingga sulit dikatakan hubungan itu akan membaik. Kini Mujahidin menjadi duri dalam hubungan Iran-Irak karena peningkatan aksi sabotase – di antaranya meledakkan pipa minyak – di Iran.

                                ***    

 

     SIAPA Mujahidin Khlaq itu ? Boleh dikatakan kelompok oposisi Mujahidin termasuk yang besar yang berbasis di Irak. Tidak seperti kelompok oposisi lain yang muncul sesudah revolusi, Mujahidin memiliki kekuatan besar baik secara militer maupun politik, sebelum revolusi.

     Beberapa pihak menyebut kelompok yang didirikan 1965 ini Islam-Marxis. Tokoh-tokoh pendiri Mujahidin di antaranya Mohammad Hanifnejad, Said Mohsen dan Ali Asqar. Pada awalnya Mujahidin mengambil tema antiimperialisme dan nasionalisme dalam ideologinya. Meskipun kelompok ini menolak disebut Islam-Marxis, mereka menerima beberapa pemikiran Marx yang dianggap seusai dengan gerakan mereka. Dalam awal pemberontakan terhadap Shah, kelompok yang jelas komunis adalah Feda’iyan Khalq.

     Jika pendukung Feda’iyan berasal dari kalangan Marxis-nya Partai Tudeh yang tergabung kedalam Front Nasional, maka pendukung Mujahidin berasal dari sayap agamawan Front Nasional dan khususnya dari Gerakan Kemerdekaan yang sejak 1961 dipimpin Mehdi Bazargan dan Ayatollah Mahmud Taleqani.

     Ideolog Mujahidin Reza’i seperti dikutip dalam Roots of Revolution (1981) karya Nikki R Keddie, menyatakan revolusi yang disodorkan Imam Shiah khususnya Ali bin Abi Thalib, Hassan dan Hussein bertujuan melawan tuan tanah feodal dan mengeksploitasi saudagar kapitalis. Bagi Reza’i, Mujahidin merupakan kewajiban setiap Muslim untuk melanjutkan perjuangan menciptakan “masyarakat tanpa kelas” dan menghancurkan semua bentuk kapitalisme, depotisme dan imperialisme.

     Beberapa aksi yang menggemparkan adalah pembunuhan pemboman Kantor Penerangan Amerika Serikat (USIS), Jenderal AU AS Harold Price, 30 Mei 1972 dan pemboman Mausoleum Shah Reza beberapa saat sebelum kunjungan Presiden Richard Nixon ke Teheran. Mereka juga membunuh sejumlah agen intel Amerika dan Iran.

     PM Rajai meringkas sikap pemerintah Iran terhadap Mujahidin dengan mengatakan, “Perbedaan ideologi diizinkan (dalam Islam) namun yan tidak diizinkan adalah menyesatkan yang lain (rakyat). Sejak Mujahidin menyesatkan rakyat dengan interpretasi (Marxis) terhadap Islam, mereka tidak bisa lagi ditoleransi dalam Republik Islam (Iran).”

     Bagaimana posisi Mujahidin di samping kelompok lainnya? Rajai membagi empat kategori kelompok politik : Muslim, simpatik, oposisi dan musuh. Partai Muslim adalah yang secara total mengikuti garis kebijakan Ayatollah Khomeini. Partai simpatisan adalah yang simpati terhadap revolusi Islam namun tidak dipandu oleh ulama walaupun diizinkan memiliki hubungan dengan pemerintah kecuali pekerjaan dan kementerian penting.

     Kelompok oposisi adalah yang menahan diri berkomplot menggulingkan pemerintah. Pihak musuh yakni yang mengangkat senjata terhadap pemerintah Islam dan berencana melakukan hal itu. Dalam kategori ini termasuk kelompok pendukung monarki, Partai Demokratik Kurdi, Komala, Fedayi Khalq, Mujahidin dan Paykar (Perjuangan) yang merupakan pecahan Mujahidin.

     Menurut Dilip Hiro dalam Iran Under The Ayatollahs (1987), anggota Mujahidin dan simpatisan umumnya berasal dari kaum muda baik pria maupun wanita dan datang dari kelas menengah tradisional seperti pedagang, pemilik toko, karyawan dan artis. Mereka tertarik keluar dari partai Islam karena ditawarkan interpretasi modern dan egaliter terhadap Islam.

     Mujahidin ini memang sudah biasa melakukan taktik gerilya berupa penyerangan terhadap tokoh-tokoh penting. Bahkan dalam daftar teratasnya, Mujahidin menempatkan pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khamenei dan Presiden Ali Akbar Rafsanjani yang pernah menjabat Ketua Parlemen. Tahun 1982, Mujahidin dari markasnya di Paris menyatakan sejak 20 Juni 1981 mereka telah membunuh 2.000 pemimpin politik dan agama di Iran. Namun mereka mengklaim 3.000 pendukungnya dieksekusi.

     Secara konsepsional, Mujahidin juga sudah mempersiapkan 12 program di antaranya sistem dewan di semua tempat kerja dan institusi sebagai dasar demokrasi dalam masyarakat. Mereka akan menjamin kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan agama, mengakui minoritas etnik termasuk Kurdi.

     Dalam bidang ekonomi dijanjikan kenaikan produksi, menghapus utang petani, menawarkan bantuan teknik dan finansial kepada para petani. Dalam masalah luar negeri, mereka berjanji menghentikan hubungan dengan semua kekuatan imperialisme dan membatalkan semua perjanjian yang merugikan, kontrak-kontrak dan nasionalisasi aset asing.

                                ***

 

     SERANGAN gencar Mujahidin menjelang pemilihan presiden seperti diakui Pemerintah Iran tampaknya merupakan ulangan. Tahun 1981 karena gagal mengacaukan sistem pendidikan, mereka berkonsentrasi pada pemilihan presiden 2 Oktober 1981. Mereka ingin membangkitkan pembangkangan secara menyeluruh agar pemilu ditunda. Tanggal 27 September ratusan pendukung Mujahidin bentrok di Teheran University dengan Pengawal Revolusi. Pertarungan selama tujuh jam itu menewaskan 17 orang dan mencederai 40 lainnya. Apakah pemilihan presiden tertunda? Khomeini membalas dengan mengeksekusi 153 orang yang melawan Pengawal Revolusi.

     Kekalahan demi kekalahan dialami oleh Mujahidin dan kini melakukan gerakan dari Irak. Baghdad karena beberapa pertimbangan – di antaranya karena tidak menyukai regim sekarang – menyediakan tempat lapang bagi Mujahid
in. Pertempuran selama delapan tahun dengan Iran tentu saja tak bisa menghapuskan begitu saja dendam kalangan pemerintah Irak.

     Dari posisi Mujahidin ini dapat dikatakan menjadi duri dalam hubungan kedua negara yang bertetangga di samping masalah Kurdi dan Shiah. Duri ini memang kadang-kadang terasa seperti ketika Mujahidin melakukan sabotase besar-besaran di Iran. Namun tidak menjadi perhatian misalnya saat Perang Teluk 1991 pecah.

     Jika Irak mengasuh Mujahidin yang menentang Iran, Teheran pun berlaku serupa dengan mendukung gerakan Shiah di selatan dan memberikan tempat kepada pemimpin yang mau menggulingkan Presiden Saddam Hussein.

     Namun dalam perkembangan nanti bukan mustahil kedua pemerintah sepakat untuk memperlemah Mujahidin. Situasi ini memang masih sulit dibayangkan saat ini tetapi pendekatan baru antara kedua negara – misalnya ketika Saddam turun dari kekuasaan – bisa saja terjadi. Demi keuntungan Baghdad, bisa saja Mujahidin dikorbankan karena sebetulnya Irak dalam keadaan sulit yakni digencet dari utara oleh Kurdi – yang jadi musuh bersama Iran – serta kelompok Shiah di selatan. Dengan taktik mengurangi musuh dari timur, Baghdad dengan mudah bisa saja memulihkan hubungan dengan Iran sehingga tekanan berkurang. (Asep Setiawan)

Sumber : Kompas, 30/5/93