Tags

,

   

     DALAM kajian internasional terdapat istilah yang disebut dengan lingkungan psikologis dan operasional. Yang pertama merujuk pada persepsi terhadap dunia luar baik berupa ancaman maupun peluang. Istilah kedua menerangkan soal-soal yang berkaitan dengan geografis dan posisi suatu negara serta batas-batasnya.

     Bagi Kuwait yang memperingati Hari Nasional ke-35, 25  Februari 1993  trauma Perang Teluk masih kuat membayang segenap penguasa dan rakyat. Kegembiraan setelah Irak mundur dari Kuwait diabadikan sebagai Hari Pembebasan yang jatuh tanggal 26 Februari.

     Kecemasan Kuwait tidak hanya berupa adanya bahaya invasi kedua tetapi juga sejumlah pengalaman pahit yang ditinggalkan akibat pendudukan. Misalnya tentang terbunuhnya rakyat, juga pemerkosaan para wanita dan mereka yang cedera. Sumber bahaya masih dari tempat yang sama yakni Irak. Apalagi dengan manuver militer Irak bulan Oktober lalu, makin menguatkan bahwa secara psikologis bahaya itu masih sangat dekat.

     Oleh sebab itulah sampai kini Kuwait masih tetap menyuarakan bahaya dari Irak. Seperti dijelaskan Salem G Alzamanan dari Kedutaan Besar Kuwait di Jakarta, semua Resolusi dari Dewan Keamanan PBB minta dilaksanakan sepenuhnya oleh Baghdad yang sampai sekarang dipimpin Presiden Saddam Hussein. Langkah ini merupakan jaminan keamanan yang bisa diandalkan.

     Lebih-lebih yang menyangkut tawanan perang, pampasan perang dan pengembalian kekayaan Kuwait yang dijarah tentara Irak, pemerintah Kuwait sangat menekankannya. Beberapa kali sanksi PBB terhadap Irak  diperpanjang. Pada persidangan bulan depan pun tampaknya Kuwait masih belum puas dengan kebijakan Baghdad. Alzamanan menilai pendudukan itu sebagai upaya menghapus identitas rakyat Kuwait.

     Memulihkan kepercayaan dari bahaya itu adalah dengan meningkatkan kekuatan militer baik sumber daya manusianya maupun teknologi. Berbagai mesin perang dibeli dari Barat khususnya dari Amerika Serikat, salah satu pelindung Kuwait yang saat Perang Teluk sangat berperan. Kuwait juga berusaha menjalin kerja sama lebih dekat melalui Dewan Kerja Sama Teluk (GCC=Gulf Cooperation Council).

      Dengan Gerakan Non Blok (GNB) Kuwait sangat menaruh harapan apalagi dengan kepemimpinan Indonesia. Dalam konteks hubungan bilateral dengan Indonesia, Kuwait mengharapkan nilai perdagangan tak hanya ditingkatkan sampai tiga kali lipat bahkan sepuluh kali lipat dari nilai sekarang.

     Aspek bahaya eksternal secara psikologis memang masih membayangi rakyat. Namun di sisi lain ada perkembangan menarik sesuai perang yang mengerikan itu. Rakyat dan pemerintah yang dipegang Emir Kuwait Sheikh Jaber Al Ahmed Al Jaber Al Sabah bersatu padu. Dalam konteks itu permintaan sejumlah kalangan untuk menciptakan alam yang lebih demokratis ditanggapi secara serius.

     Biasanya memang keluarga Emir memiliki kekuasaan besar dalam kebijakan pemerintah. Sebagai penguasa turun temurun mereka juga mendapatkan berbagai keistimewaan. Dalam alam yang lebih berkembang ini sejumlah rakyat meminta perbaikan sistem politik dan kembali

 

Konstitusi 1961.

     Oleh sebab itulah, sehabis perang Teluk tahun 1992 diselenggarakan pemilu secara terbuka. Kubu oposisi menduduki 31 dari 50 kursi yang diperebutkan. Bahkan suasana pers pun lebih terbuka. Singkat kata berbagai keterbukaan politik sudah mulai dijalankan walaupun tentu saja proses itu akan memakan waktu lebih banyak lagi.

                                ***

     LINGKUNGAN operasional atau geografis menempatkan Kuwait dalam posisi unik. Dalam pengertian teritorial memang kecil apalagi dibandingkan dengan Indonesia luasnya tak seberapa hanya sekitar 18.000 km persegi. Bahkan penduduknya tahun 1992 hanya 1,2 juta, banyak terusir karena Perang Teluk yang menghabiskan biaya sampai 676 milyar dollar AS.

     Namun salah satu daya tariknya adalah emas hitam. Minyak bumi saat ini tidak hanya faktor kunci dalam industri tetapi juga bernilai strategis dalam konteks militer. Pembangunan kembali instalasi minyak serta infrastruktur lainnya termasuk membuang ranjau yang menurut Alzamanan dipasang di berbagai tempat di Kuwait merupakan perkembangan menarik karena banyak proyek itu dilaksanakan negara yang membantu Kuwait.

     Ambisi Irak ke Kuwait tak terlepas dari nilai minyak ini serta akses masuk ke Teluk Persia. Irak pun masih menganggap Kuwait salah satu propinsinya. Krisis di Teluk boleh dikatakan dimulai dari pertengkaran tentang eksplorasi minyak di perbatasan dua negara. Ujung dari perselisihan itu adalah upaya Baghdad menghidupkan lagi

aspek sejarahnya yang menganggap Kuwait adalah bagian dari Irak.     Unsur kekayaan minyak ini pula yang mendorong AS dan sekutunya mengerahkan berbagai upaya untuk mengusir balik tentara Irak. Barat dan Jepang sangat menekankan pengamanan jalur minyak ini. Wilayah ini memang memiliki nilai ekonomi tinggi yakni sebagai pensuplai energi. Sejumlah kalangan di AS menganggap minyak ini adalah “darah” dari hidupnya. Oleh sebab itu siapa saja yang berusaha menguasai “darah” ini dan menentang kepentingannya maka harus disingkirkan.

     Lingkungan Kuwait secara fisik memang tidak senantiasa bermusuhan. Negara-negara yang tergabung ke dalam GCC seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arat, Bahrain dan Oman memiliki ciri-ciri hampir sama: minyak adalah faktor strategis yang tak bisa diabaikan negara mana pun. Kecuali Arab Saudi, semua anggota GCC wilayahnya kecil tapi kaya sumber daya alam. Menurut Alzamanan, persahabatan lewat GCC ini semakin dikukuhkan setelah krisis Teluk.

                                ***

     SEPERTI halnya semua negara, Kuwait memiliki cita-cita untuk menjadi negara yang sejahtera, makmur, aman dan damai. Kuwait juga menginginkan lingkungan eksternalnya stabil. Pengalaman pahit Perang Teluk memberikan pelajaran betapa ancaman perang tidak bisa hilang begitu saja. Alzamanan mengatakan, “Kami memberikan tanggapan responsif terhadap manuver militer Irak, Oktober tahun lalu agar tidak memberikan peluang sedikit pun untuk berani menyerbu.”

     Ini berarti bahwa sangat diharapkan sekali tetangganya bersahabat termasuk harapannya terhadap Irak. Seringkali dalam konteks kultur Arab, pertengkaran yang sengit dapat berubah menjadi persahabatan erat. Tidak hanya antarindividu tetapi juga antara suatu bangsa dan negara. Sedalam apa pun permusuhan itu kalau kedua pihak sudah bertekad menguburnya, maka tak ada lagi hambatan untuk memulihkan persahabatan.

     Tidak terkecuali dengan Kuwait. Walaupun sekarang bermusuhan atau katakanlah menganggap Irak sumber ancaman, mungkin suatu saat di masa depan akan tercipta suatu lingkungan bagi Kuwait yang bersahabat baik
dari sesama anggota GCC, Irak maupun Iran. Keamanan Teluk Persia memang tidak hanya bermanfaat bagi Kuwait tetapi juga negara lainnya yang jauh dari wilayah tersebut. (asep setiawan)

Kompas: 25/2/95