• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: Teluk

Pasukan Teluk Sekadar Simbol Solidaritas GCC

25 Tuesday Nov 2008

Posted by Setiawan in Archives, Global Politics

≈ Leave a comment

Tags

GCC, Persia, Teluk

 

     SEDIKITNYA ada dua alasan mengapa sejumlah negara mengadakan kerja sama keamanan atau membentuk alainsi. Pertama, karena ada sesuatu yang perlu diamankan. Dalam hal negara-negara Teluk Persia, yang diamankan adalah emas hitam alias minya. Enam negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC-Gulf Cooperation Council) terdiri Arab Saudi Qatar, Kuwait, Bahrain, Oman dan Uni Emirat Arab (UEA).

     Perang Teluk yang melibatkan puluhan negara adalah contoh paling akhir untuk menjelaskan bagaimana minyak harus diamankan. Seluruh dunia termasuk, negara adidaya Amerika Serikat, Jepang dan Masyarakat Eropa Eropa kalang kabut tatkala Irak benar-benar menguasai ladang minyak Kuwait yang kaya raya. Bagi negara industri, minyak adalah darah yang menghidupkan ekonominya. Oleh sebab itu kekuasaan atas minyak bisa membahayakan eksistensi negara Barat umumnya. Kesimpulannya, Irak harus diusir dengan cara apa pun dari Kuwait.

     Alasan kedua, GCC bersedia membentuk pasukan gabungan untuk menjaga

keamanan karena ada yang disebut ‘musuh bersama’ Perasaan terancam kalau-kalau kekayaannya tiba-tiba lenyap karena diambil negara lain, menghinggapi sebagian besar anggota GCC. Kemakmuran yang kini dinikmati sekitar 23 juta penduduk GCC bisa lenyap seketika dan berganti dengan penderitaan bila minyak di tangannya direbut.

     Secara implisit GCC mendefinisikan ‘musuh bersama’ adalah Irak dan Iran, bukan Israel. 

     Irak dicantumkan sebagai sumber ancaman karena penyerbuan ke Kuwait dan fakta bahwa Presiden Saddam Hussein masih berkuasa sekaligus berambisi. Bahkan sampai kini hampir dua tahun setelah kalah di Perang Teluk, Baghdad masih mampu bersilat lidah untuk menghindari perintah yang dicantumkan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB yang intinya melucuti seluruh persenjataan pembunuh massal milik regim Saddam.

     Kecerdikan Irak menyembunyikan persenjataannya yang konon disimpan di bawah tanah, dianggap anggota GCC sebagai suatu bahaya laten. Sebagai catatan saja, Irak tidak pernah menarik klaimnya atas Kuwait sebagai propinsi ke-19.

     Iran adalah negara kedua yang jadi perhatian Seikh dan raja minyak di Teluk Persia. Bukan karena Iran juga kaya minyak, tetapi negara tetangga yang berpenduduk lebih dari 59 juta ini sering berlawanan dalam kebijakan politiknya. Jika GCC dekat dengan AS, sebaliknya Teheran menentang kehadiran AS di Teluk.

 

“Peninsula Shield”

     Untuk menciptakan rasa aman, GCC membentuk pasukan gabungan yang disebut Peninsula Shield (Perisai Jazirah). Menurut catatan, pasukan ini sudah ada sejak 1983 dengan markas di Khafr Bateen, Arab Saudi.

     Kekuatan pasukan ini sekitar 10.000 personel dengan tugas utama sebagai kekuatan penggetar. Sejauh ini kegiatan pasukan ini adalah latihan bersama, koordinasi komando dan tukar menukar data intelijen.

     Sultan Qaboos dari Oman mengusulkan peningkatan jumlah pasukan ini sampai 100.000 personel namun tidak mendapat sambutann pada KTT GCC ke-13 yang berlangsung di Abu Dhabi 21-23 Desember.

     Proposal Oman ini juga tidak disinggung dalam deklarasi akhir pertemuan para menteri pertahanan baru-baru ini di Kuwait. Pertemuan itu hanya merekomendasi Peninsula Shield sebagai inti pasukan gabungan di masa depan. Namun media massa Kuwait menyebutkan GCC merencanakan meningkatkan kekuatan pasukan gabungan 15 tahun mendatang.

     Saat ini dipertahankan jumlah sampai 10.000 pasukan gabungan sebagai pilihan terbaik dari tiga pilihan yang ada. Dua alternatif lainnya adalah pembentukan pasukan independen baru dan setiap negara berkonsentrasi pada pengembangan angkatan bersenjatanya.

     Menhan UEA Sheikh Mohammad bin Rashid mengatakan, “Pembentukan pasukan gabungan teluk atau angkatan bersenjata bukanlah tugas sulit namun juga tidak segera dibutuhkan. Perang pembebasan Kuwait membuktikan bahwa masalah serius dan keputusan menentukan tidak memerlukan berbagai studi, komite-komite atau konferensi. Teknologi modern adalah salah satu elemen penting dalam menggabungkan upaya dan memajukan langkah bersama. Anggota GCC mampu menggabungkan dan mengkoordinasikan langkah dalam beberapa hari.

 

Efektivitas

     Apakah dengan jumlah 10.000 serdadu cukup untukmenggetarkan kekuatan luar, katakanlah Irak atau Iran? Jika melihat perkembangan kedua negara ini, efektivitas 10.000 tentara ini sangat diragukan. Lebih-lebih setelah muncul konflik intern di perbatasan Qatar-Arab Saudi, pasukan ini tampak kurang berperan. Sebaiknya Qatar yang menjalin hubungan lebih banyak dengan Iran, mengancam mundur dari Peninsula Shield.

     Bandingkan pula kekuatan personel Irak yang lebih dari setengah juta tentara dan Iran yang mencapai satu juta orang, Sedangkan kekuatan GCC bila digabung semuanya hanyalah sekitar 200 ribu sampai 300 ribu tentara. Walaupun dilengkapi peralatan canggih pasukan teluk ini masih harus diuji di lapangan.

     Lalu siapa penjamin keamanan minyak milik anggota GCC? pilihan jatuh ke negara adidaya Amerika Serikat. Pengalaman Perang Teluk membuktikan kekuatan penggetar 10.000 pasukan Teluk tak berdaya sama sekali dan tidak efektif. Irak dengan segudang senjata dan segudang sumber daya manusia dengan mudahnya mencaplok Kuwait.

     Namun ketika AS dan negara Eropa terlibat, barulah keamanan minyak di teluk terjamin. AS dan sekutunya tidak lagi mendapat tantangan dari timur seperti dilakukan Uni Soviet pada masa perang dingin. 

     Jika melihat situasi ini maka keberadaan perisai Jazirah lebih  terkesan sebagai simbol solidaritas GCC, di samping itu terkesan pula sebagai simbol adanya perhatian terhadap masalah pertahanan dibandingkan sebagai kekuatan nyata untuk menggetarkan musuh bersama. Bahkan peningkatan kekuatan sampai 100.000 pun misalnya, tampaknya masih belum mampu menggetarkan Irak atau Iran yang berpengalaman dengan perang modern selama tahun 1980-1988.

     Keamanan minyak terutama dijamin dengan keperkasaan militer AS yang menempatkan sejumlah kapal induk dan pangkalan militer di seputar Teluk Persia. Negara-negara Barat tampaknya masih bisa menjamin suplai minyak dari teluk sedikitnya sampai tahun 2000 sebelum alternatif energi lainnya ditemukan.

     Keberadaan pasukan gabungan ini mungkin bermanfaat untuk menunjukkan betapa kuatnya solidaritas dan kompaknya GCC dalam koordinasi komando militer. Ada pun cara menghadapi ancaman nyata tampaknya masih banyak berlindung ke dalam payung keamanan AS dan sekutunya. ***

Sumber: Kompas

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email this to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

MELONGOK KEPENTINGAN AS

10 Monday Nov 2008

Posted by Setiawan in Archives, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

Amerika Serikat, Teluk

                       

     MENGAPA AS menilai penting Teluk Parsi? “Apa yang dipertaruhkan adalah lebih dari sekadar ekonomi atau minyak. Apa yang menjadi taruhan adalah, apakah negara-negara di dunia mampu bersama-sama berdiri menentang agresi, apakah kita hidup di dunia yang diatur hukum atau diatur hukum rimba,” kata Presiden AS George Bush.

     Apakah pernyataan Bush ini benar, sangat tergantung dari pada masa kelak nanti, di kala dokumen-dokumen rahasia mulai diungkapkan, mengenai apa sebetulnya intensi AS di Timur Tengah. Dan apa pula kepentingannya ikut melibatkan diri di Perang Teluk.

     Tetapi Perang Teluk bukan kejadian pertama AS mengirim pasukan dan mesin perangnya ke Timur Tengah. Ini juga bukan pertama kali AS mengerahkan segalanya untuk mempertahankan Kuwait. Musim panas tahun 1958, mereka sudah melakukan itu. Pada saat itu, penggelaran 14.000 serdadu di Beirut untuk mendukung pemerintahan pro-Barat, dinilai sebagai salah sebuah episode Perang Dingin; operasi itu dipicu oleh kudeta anti-Barat di Irak, sembari menahan lajur komunisme di Lebanon. Menurut beberapa dokumen yang terungkap belum lama ini, ternyata kepentingan AS di kawasan itu lebih dari sekadar mempertahankan hak negara-negara kecil, atau menentang agresi, atau

ingin mengamankan tata dunia.

     Tanggal 14 Juli 1956, sekelompok komunis, nasionalis, pecinta Presiden Mesir Gammal Abdul Nasser, mendongkel rezim di Irak yang dipimpin PM Nuri Said dan menjadi pemerintahan boneka Inggris. Gerakan di Mesir ini mengakibatkan keguncangan di kawasan tersebut, membuat negara-negara Barat segera mewaspadainya dengan cara mendukung rezim-rezim pro-Barat di Lebanon dan Yordania.

     Saat itu, The New York Time menulis bahwa Irak adalah sumber minyak bumi yang tidak ada penggantinya buat kepentingan Barat, dan menjadi poros penting dari Pakta Baghdad (aliansi Turki, Pakistan, Irak, Iran dan Inggris), serta menjadi basis terakhir pengaruh Barat di kawasan. Memang Nuri Said menjadi antek AS dan Inggris dalam rangka menghambat pengaruh pemerintah kiri di Suriah yang waktu itu berperanan penting di kawasan.

     Kudeta 14 Juli itu dinilai sebagai pukulan buat AS. Nasser dan Uni Soviet dituding sebagai biang keladi kudeta. Sejak kudeta di Irak berhasil, Inggris selalu berteriak-teriak bahwa kudeta sama akan terjadi di Kesultanan Kuwait, lalu menyembah-nyembah AS agar segera mengirim pasukan ke Irak. Bagaimana AS bereaksi?

     Ketika berita kudeta di Irak sampai di Washington pagi hari tanggal 14 Juli itu, diadakan sidang yang dipimpin Menlu John Foster Dulles, dihadiri Pangab Nathan Twining dan Direktur CIA Allan Dulles, sebelum menghadap Presiden Dwight Eisenhower. Menurut hasil rapat, yang tertuang dalam sebuah dokumen, rapat setuju bahwa jikalau AS tak berbuat apa pun, maka: Nasser akan menguasai kawasan; AS akan kehilangan pengaruh bukan saja di negara-negara Arab dan Timur Tengah tetapi juga di kawasan secara keseluruhan, serta

pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan akan berada dalam mara bahaya; dan komitmen AS di seluruh dunia akan dipertanyakan.

    

Tak ada alternatif

     Menurut rapat itu pula, Jenderal Twining harus mengirim pasukannya, tak ada alternatif lain. Sisa tulisan dalam dokumen itu sudah dihapuskan, tetapi menurut William Quandt, pejabat senior Dewan Keamanan Nasional, Jenderal Twining mengusulkan pengiriman pasukan AS ke Lebanon, pasukan Inggris ke Irak dan Kuwait, pasukan Israel ke Tepi Barat, dan pasukan Turki ke Suriah. Diusulkan pula, PBB dijadikan semacam “payung”, dan ada risiko Uni Soviet bereaksi sehingga memecahkan perang besar melawan musuh bebuyutan AS itu.

     Untungnya, Eisenhower tidak menerima usulan Jenderal Twining, sekalipun PM Inggris Harold MacMillan menyetujuinya. Memang, menurut asumsi Barat waktu itu, kekuatan pro-Nasser akan membahayakan kepentingan militer dan bisnis minyak Barat. Di Kuwait sudah ada British Petroleum dan Gulf Oil, di Arab Saudi sudah ada ARAMCO, konsorsium minyak internasional juga sudah hadir di Iran, di Irak ada Inggris dan Perancis yang menguasai seperempat dari saham

perusahaan minyak nasional Irak.

     Eisenhower lebih berkepentingan dengan kebangkitan komunisme di Timur Tengah, sehingga dia lebih memprihatinkan nasib Presiden Lebanon Camille Chamoun yang pro-Barat dan memeluk erat Doktrin Truman, serta dengan jelas meminta bantuan. Eisenhower sejak lama memang mau “masuk” ke Lebanon meskipun subversi komunisme internasional tidak pernah ada.

     Di hadapan Kongres, Eisenhower membenarkan pengiriman pasukan ke Lebanon karena negara itu terancam Irak. Di lain pihak, Uni Soviet dan Gerakan Non Blok waktu itu segera mengecam pengiriman pasukan AS itu. AS segera mengirim unit senjata nuklirnya di Jerbar, ke Lebanon. Uni Soviet menanggapi dengan memperkuat wilayahnya yang berbatasan dengan Turki dan Irak. Nampaknya perang dunia sudah di ambang pintu. Eisenhower juga mengirimkan marinirnya dari Okinawa ke Teluk Parsi, dengan tujuan mencegah invasi Irak ke Kuwait. Begitu gawatnya situasi, Eisenhower sempai mempertimbangkan pula penggunaan senjata nuklirnya.

     Krisis berakhir karena akhirnya semua pihak menahan diri. Rezim baru di Irak ternyata tidak segalak yang dikira, yang takkan bisa menahan nafsu menyerbu Kuwait. Rezim di Lebanon yang tidak disukai rakyatnya akhirnya digantikan Jenderal Fuad Chehab yang diterima berbagai pihak di dalam negerinya, dan Nasser tidak menggembar-gemborkan nasionalisme Arab ke seluruh kawasan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.

     Saddam Hussein tadinya pun dikategorikan sebagai “sekutu” AS untuk menghadapi Iran. Saddam selamanya memang selalu “setia”, sampai akhirnya menjadi musuh ketika dia menyerbu Kuwait. Dari kasus kudeta Irak tahun 1956, dan juga Perang Teluk, nampak jelas bahwa AS akan mau mengakomodasi kepentingannya, dan akan mengambil tindakan apa pun, yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan. Tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi, sikap akomodatif itu sangat tergantung dari apakah perubahan-perubahan itu akan membahayakan kepentingan strategis dan ekonomi (minyak) negeri adi daya itu.

  

KOMPAS, Minggu, 19-01-1992.

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email this to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • Random scenarios for Ukraine War
  • Politik Luar Negeri Iran
  • Omicron di Inggris
  • Anugerah Dewan Pers 2021, Jawa Barat Peringkat 2 Kategori Indeks Kemerdekaan Pers Tertinggi
  • Dewan Pers Dorong Jurnalis Ikut UKW Hingga Tingkat Tertinggi

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Follow Following
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
%d bloggers like this: