Tags

,

                       

     MENGAPA AS menilai penting Teluk Parsi? “Apa yang dipertaruhkan adalah lebih dari sekadar ekonomi atau minyak. Apa yang menjadi taruhan adalah, apakah negara-negara di dunia mampu bersama-sama berdiri menentang agresi, apakah kita hidup di dunia yang diatur hukum atau diatur hukum rimba,” kata Presiden AS George Bush.

     Apakah pernyataan Bush ini benar, sangat tergantung dari pada masa kelak nanti, di kala dokumen-dokumen rahasia mulai diungkapkan, mengenai apa sebetulnya intensi AS di Timur Tengah. Dan apa pula kepentingannya ikut melibatkan diri di Perang Teluk.

     Tetapi Perang Teluk bukan kejadian pertama AS mengirim pasukan dan mesin perangnya ke Timur Tengah. Ini juga bukan pertama kali AS mengerahkan segalanya untuk mempertahankan Kuwait. Musim panas tahun 1958, mereka sudah melakukan itu. Pada saat itu, penggelaran 14.000 serdadu di Beirut untuk mendukung pemerintahan pro-Barat, dinilai sebagai salah sebuah episode Perang Dingin; operasi itu dipicu oleh kudeta anti-Barat di Irak, sembari menahan lajur komunisme di Lebanon. Menurut beberapa dokumen yang terungkap belum lama ini, ternyata kepentingan AS di kawasan itu lebih dari sekadar mempertahankan hak negara-negara kecil, atau menentang agresi, atau

ingin mengamankan tata dunia.

     Tanggal 14 Juli 1956, sekelompok komunis, nasionalis, pecinta Presiden Mesir Gammal Abdul Nasser, mendongkel rezim di Irak yang dipimpin PM Nuri Said dan menjadi pemerintahan boneka Inggris. Gerakan di Mesir ini mengakibatkan keguncangan di kawasan tersebut, membuat negara-negara Barat segera mewaspadainya dengan cara mendukung rezim-rezim pro-Barat di Lebanon dan Yordania.

     Saat itu, The New York Time menulis bahwa Irak adalah sumber minyak bumi yang tidak ada penggantinya buat kepentingan Barat, dan menjadi poros penting dari Pakta Baghdad (aliansi Turki, Pakistan, Irak, Iran dan Inggris), serta menjadi basis terakhir pengaruh Barat di kawasan. Memang Nuri Said menjadi antek AS dan Inggris dalam rangka menghambat pengaruh pemerintah kiri di Suriah yang waktu itu berperanan penting di kawasan.

     Kudeta 14 Juli itu dinilai sebagai pukulan buat AS. Nasser dan Uni Soviet dituding sebagai biang keladi kudeta. Sejak kudeta di Irak berhasil, Inggris selalu berteriak-teriak bahwa kudeta sama akan terjadi di Kesultanan Kuwait, lalu menyembah-nyembah AS agar segera mengirim pasukan ke Irak. Bagaimana AS bereaksi?

     Ketika berita kudeta di Irak sampai di Washington pagi hari tanggal 14 Juli itu, diadakan sidang yang dipimpin Menlu John Foster Dulles, dihadiri Pangab Nathan Twining dan Direktur CIA Allan Dulles, sebelum menghadap Presiden Dwight Eisenhower. Menurut hasil rapat, yang tertuang dalam sebuah dokumen, rapat setuju bahwa jikalau AS tak berbuat apa pun, maka: Nasser akan menguasai kawasan; AS akan kehilangan pengaruh bukan saja di negara-negara Arab dan Timur Tengah tetapi juga di kawasan secara keseluruhan, serta

pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan akan berada dalam mara bahaya; dan komitmen AS di seluruh dunia akan dipertanyakan.

    

Tak ada alternatif

     Menurut rapat itu pula, Jenderal Twining harus mengirim pasukannya, tak ada alternatif lain. Sisa tulisan dalam dokumen itu sudah dihapuskan, tetapi menurut William Quandt, pejabat senior Dewan Keamanan Nasional, Jenderal Twining mengusulkan pengiriman pasukan AS ke Lebanon, pasukan Inggris ke Irak dan Kuwait, pasukan Israel ke Tepi Barat, dan pasukan Turki ke Suriah. Diusulkan pula, PBB dijadikan semacam “payung”, dan ada risiko Uni Soviet bereaksi sehingga memecahkan perang besar melawan musuh bebuyutan AS itu.

     Untungnya, Eisenhower tidak menerima usulan Jenderal Twining, sekalipun PM Inggris Harold MacMillan menyetujuinya. Memang, menurut asumsi Barat waktu itu, kekuatan pro-Nasser akan membahayakan kepentingan militer dan bisnis minyak Barat. Di Kuwait sudah ada British Petroleum dan Gulf Oil, di Arab Saudi sudah ada ARAMCO, konsorsium minyak internasional juga sudah hadir di Iran, di Irak ada Inggris dan Perancis yang menguasai seperempat dari saham

perusahaan minyak nasional Irak.

     Eisenhower lebih berkepentingan dengan kebangkitan komunisme di Timur Tengah, sehingga dia lebih memprihatinkan nasib Presiden Lebanon Camille Chamoun yang pro-Barat dan memeluk erat Doktrin Truman, serta dengan jelas meminta bantuan. Eisenhower sejak lama memang mau “masuk” ke Lebanon meskipun subversi komunisme internasional tidak pernah ada.

     Di hadapan Kongres, Eisenhower membenarkan pengiriman pasukan ke Lebanon karena negara itu terancam Irak. Di lain pihak, Uni Soviet dan Gerakan Non Blok waktu itu segera mengecam pengiriman pasukan AS itu. AS segera mengirim unit senjata nuklirnya di Jerbar, ke Lebanon. Uni Soviet menanggapi dengan memperkuat wilayahnya yang berbatasan dengan Turki dan Irak. Nampaknya perang dunia sudah di ambang pintu. Eisenhower juga mengirimkan marinirnya dari Okinawa ke Teluk Parsi, dengan tujuan mencegah invasi Irak ke Kuwait. Begitu gawatnya situasi, Eisenhower sempai mempertimbangkan pula penggunaan senjata nuklirnya.

     Krisis berakhir karena akhirnya semua pihak menahan diri. Rezim baru di Irak ternyata tidak segalak yang dikira, yang takkan bisa menahan nafsu menyerbu Kuwait. Rezim di Lebanon yang tidak disukai rakyatnya akhirnya digantikan Jenderal Fuad Chehab yang diterima berbagai pihak di dalam negerinya, dan Nasser tidak menggembar-gemborkan nasionalisme Arab ke seluruh kawasan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.

     Saddam Hussein tadinya pun dikategorikan sebagai “sekutu” AS untuk menghadapi Iran. Saddam selamanya memang selalu “setia”, sampai akhirnya menjadi musuh ketika dia menyerbu Kuwait. Dari kasus kudeta Irak tahun 1956, dan juga Perang Teluk, nampak jelas bahwa AS akan mau mengakomodasi kepentingannya, dan akan mengambil tindakan apa pun, yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan. Tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi, sikap akomodatif itu sangat tergantung dari apakah perubahan-perubahan itu akan membahayakan kepentingan strategis dan ekonomi (minyak) negeri adi daya itu.

  

KOMPAS, Minggu, 19-01-1992.