Di tengah anugerah kemakmuran yang dirasakan di Indonesia terdapat sesuatu yang masih kurang dirasakan. Kekurangan ini semakin menjadikan berlimpahnya harta benda di sebagian kalangan seperti tidak memberi makna kepada kemakmuran itu sendiri. Terkesan bahwa masih ada ketimpangan yang semakin lebar dalam menerima kemakmuran tersebut.

Angka statistik bisa berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi 6-7%. Artinya kemakmuran semestinya dirasakan di semua lapisan masyarakat. Kecukupan itu seharusnya disertai kenyamanan dan keamanan. Angka kemiskinan juga dilaporkan menurun sampai 30 jutaan jiwa. Bahkan gelombang krisis ekonomi Eropa dan Amerika masih belum menyapa Indonesia. Negeri ini bagaikan surga di tengah kemuraman dunia sehingga para investor melirik lagi jamrut khatulistiwa ini.

Di tengah gempita pembangunan ekonomi yang entah bagaimana berkinerja baik – kata pengamat itu bukan hasil semata dari pemerintah tetapi karena semangat rakyat dalam ekonomi riil – masih ada kekosongan jiwa. Kekosongan arah kehidupan bangsa. Kekosongan akan ruh yang mampu menyetir kemakmuran ini untuk investasi manusia di masa depan.

Segalanya seperti kosong karena ketika kelas menengah yang konon lebih dari sepuluh juta yang mapan meski versi lain menyebut sudah mencapai 50 jutaan, sibuk dengan urusan dirinya dalam mempercantik diri. Mereka sibuk mempercantik rumah, mobil dan gadget. Mereka seperti menikmati materi saja tanpa arah dan semangat keindonesiaan.

Inilah yang sedang dicari oleh Indonesia. Para pemimpin formal seperti tidak memberikan inspirasi karena sibuk dengan urusan parpol masing-masing. Urusan untuk membangun citra. Urusan untuk konsolidasi pemilu 2014. Urusan untuk memenangkan pilkada. Semuanya hanya pada perebutan kekuasaan bukan pada pengelolaan negeri dengan ruh untuk terbang tinggi dengan modal sekarang.

Ketika pidato-pidato Bung Hatta, Bung Karno dan Bung Tomo sekalipun mampu memberikan inspirasi tentang perjuangan menuju Indonesia merdeka, makmur dan gemilang, pidato pemimpin sekarang dianggap hanya kampanye saja. Hanya membenarkan dirinya sebagai sumber keberhasilan sekarang bukan menebarkan inspirasi yang menggairahkan.

Pemimpin di posisi apapun tugasnya tidak hanya bersifat manajerial namun lebih dari itu memberikan inspirasi di sekelilingnya untuk bangkit dan menyingsingkan lengan baju untuk giat menyongsong masa depan. Apalagi mereka yang memangku jabatan dalam pemerintahan maka fungsinya sebagai inspirator sangat dibutuhkan. Inspirator itu bisa muncul dari perkataan atau lebih kuat lagi dari perbuatan. Teladan pemimpin yang menginspirasi lebih kuat gemanya dari sekedar kata-kata.

Di level nasional kehadiran Menteri BUMN Dahlan Iskan yang naik KRL untuk sidang kabinet memberikan nuansa bagaimana seorang pemimpin tidak hanya mencari sensasi namun menjadikan dirinya dekat dengan rakyat. Meski hanya satu kali saja namun ada satu perasaan dalam sebagian masyarakat bahwa itulah seharusnya profil pemimpin formal dalam mendekatkan diri dengan warga. Kunjungan mendadak ke pasar bisa saja terkesan merakyat namun lebih sering dilihat sebagai formalitas belaka.

Kontak sejati antara pemimpin dan rakyat, antara mereka yang memangku kekuasaan dengan mereka berada di dalam masyarakat semestinya dibangun bukan berasal dari formalitas belaka. Semangat untuk menuju Indonesia gemilang seharusnya menjadi satu ruh yang menyatukan kita. Tidak ada lagi lagak polisi yang atas nama ketertiban lalu bergerak dengan korban jiwa berjatuhan. Inilah yang kemudian membuat sesak sekali masyarakat.

Indonesia 2012 masih menantikan kiprah para pemimpin sejati yang meniupkan semangat kehidupan bukan spenindasan. Ruh Indonesia yang hilang karena pemimpin mengejar mimpi pemilu jangka pendek seharusnya digantikan dengan pemimpin yang memiliki jati diri mengabdi bangsa meski hanya dari bawah bukan di suprastruktur. Semangat ini saat ini dibawa oleh para motivator yang berbisnis melalui seminar dan pelatihan. Seharusnya motivator bangsa ini dipikul oleh mereka yang memangku jabatan resmi dan tentu saja para tokoh masyarakat. (Asep Setiawan)