Tags

Oleh Asep Setiawan[1]

  1. I. PENDAHULUAN

Dalam perbincangan informal dengan jubir Deplu China Zhu Bangzao, dikatakan pihaknya bersedia membicarakan masalah di Laut Cina Selatan. Bahkan ia mengulang kebijakan  pemerintahnya untuk merundingkan masalah tersebut dalam forum multilateral. Ia menggaris bawahi bahwa Cina akan melakukan politik bertetangga baik.Penegasan serupa disampaikan Asisten Menlu Cina Chen Jian dua pekan lalu, bahwa Cina tidak ada ambisi hegemoni. Ia menuduh mereka yang meniup-niupkan ambisi hegemoni Cina adalah pihak yang tidak menyukai negara-negara Asia bersatu.Ucapan dua pejabat itu memperjelas pernyataan Presiden Jiang Zemin maupun PM Li Peng mengenai sikap terbuka Cina  terhadap penyelesaian damai konflik di Kepulauan Spratly dan Paracel.Makalah ini akan mengulas peluang dan tantangan yang justru muncul dari perkembangan dalam negeri Cina. Dalam kunjungan baru-baru ini ke Beijing dan Shanghai serta bertemu sejumlah pejabat Deplu, secara sekilas dapat disimpulkan sementara bahwa Cina sudah berubah. Untuk mengetahui peluang apa yang ada dari Cina, kita perlu menengok doktrin politik luar negeri Cina yang baru yang didasarkan pada Teori Deng Xiaoping yang sekarang menjadi landasan doktrin resmi.II. TEORI DENG TENTANG DUNIAMenurut  Wu Jie (1996) Deng Xiaoping berusaha menjelaskan situasi dunia saat ini. Ia menyatakan, meskipun meskipun perang dan revolusi masih eksis di beberapa wilayah dan mengenai isu-isu tertentu, zaman sudah berubah melalui evolusi. Kini ada dalam era perdamaian dan pembangunan karena alasan sebagai berikut.

  1. Negara-negara sosialis telah meninggalkan strategi revolusi dunia dalam mendukung perdamaian dunia. Mereka memfokuskan diri pada percepatan pembangunan ekonomi.
  2. Dihadapkan pada penyesuaian ekonomi dan kompetisi ekonomi baru, negara-negara kapitalis  saat ini terutama memperhatikan pembangunan ekonomi dan kompetisi perdagangan.
  3. Kekuatan perdamaian tumbuh dengan cepat. Cina dan Dunia Ketiga serta Eropa Timur dan Jepang dari Dunia Kedua semuanya dalam damai.
  4. Negara adidaya yang lelah dengan pacuan persenjataan dan di bawah keseimbangan teror tak ingin terlibat dalam “bunuh diri bersama”.
  5. Sebagian besar negara-negara berkembang berdamai dan tak terlibat dalam pembangunan yang kondusif untuk membangun tatanan baru internasional.

Dari analisa Deng itu maka muncullah politik luar negeri yang mengutamakan perdamaian dan memelihara stabilitas regional. Dari sejumlah kasus sejak lahirnya Teori Deng ini terlihat bahwa Cina sangat menonjolkan upaya-upaya perdamaian di berbagai kawasan.Presiden Jiang Zemin dalam Kongres PKC 1997 menegaskan bahwa Cina menentang ekspansi militer, ikut blok militer atau terlibat dalam pacuan senjata. Bahkan ditegaskan adalah seharusnya menghormati keanekaraaman dunia.Dari uraian perubahan doktrin hubungan luar negeri RRC ini maka terdapat peluang bahwa penyelesaian damai bisa terwujud di Laut Cina Selatan. Beijing tampaknya tidak tertarik lagi dengan retorika untuk menguasai dunia dalam melawan kekuatan kapitalis. Dalam era reformasi sekarang, Cina bergerak cepat, merampingkan pemerintahan, membasmi korupsi, mengurangi birokrasi, menyehatka BUMN dan membuka pintu ke luar seluas-luasnya.III. PELUANG  PENYELESAIANKonflik Laut Cina Selatan memang rumit. Selain Cina yang mengklaim seluruh Kepulauan Spratly dan Paracel, terdapat pula Taiwan dan empat negara ASEAN, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Situasi di kawasan itu sendiri sering menimbulkan ketegangan setelah terjadi perang kata-kata antara Filipina dengan Cina atau Vietnam dengan Cina.Tampaknya sudah menjadi anggapan umum bahwa kesulitan tidak hanya karena Cina menjadi dua disebabkan kehadiran Taiwan tetapi juga semua negara tak mau kalah dalam mengklaim Spratly dan Paracel. Selain itu ada semacam anggapan bahwa Cina berambisi untuk menguasai Spratly dan Paracel karena selain mengandung energi di dalamnya tetapi juga letaknya yang strategis.Persepsi akan Cina itu muncul dari pengalaman sejarah dimana saat komunis garis keras menguasai negeri itu ambisi untuk menyebarkan pahamnya untuk menandingi kapitalis sangatlah kuat. Perang Dingin memang telah melahirkan persepsi yang sulit hilang begitu saja. Jadi pada saat ini memang perlu secara realistis menilai bahwa kecurigaan dan sindrom terhadap Cina dengan 1,2 milyar penduduk dan kekuatan ekonomi dan militernya yang menjadi ancaman bagi kawasan Asia Tenggara.Kunjungan Presiden Jiang tahun lalu telah mengukuhkan kemitraan strategis jangka panjang dua negara besar di ceruk Pasifik. Demikian pula rencana kunjungan Presiden Bill Clinton  ke Beijing Juni nanti makin membuktikan bahwa ambisi yang selama ini dicurigai terhadap Cina sulit dibuktikan.Dengan demikian prospek perundingan penyelesaian perselisihan di LCS makin terbuka. Saat ini  forum ASEAN Regional Forum  (ARF) adalah forum resmi pertama yang digunakan untuk membahas perlunya menciptakan perdamaian dan menghindari kekerasan di kawasan tersebut. Meskipun banyak mengandung kelemahan tapi setidaknya akan membuka peluang dialog yang lebih intensif.Forum informal seperti Lokakarya Pengelolalan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan  yang diselenggarkan Indonesia sampai tujuh kali menunjukkan bahwa cukup a lot bahan pembicaraannya. Pengalaman penulis menyaksikan dari dalam pembicaraan informal tak lepas dari konflik tradisional misalnya  antara Cina melawan Taiwan. Selain itu ada pula persaingan antara Vietnam dan Cina. Pola-pola lama yang merupakan warisan Perang Dingin memang menyulitkan posisi ASEAN.Jadi sebenarnya peluang itu ada karena Cina telah berubah. Namun karena kesatuan sikap diantara anggota ASEAN belum bersatu padu sehingga menyulitkan jalan damai. Misalnya, Vietnam menggarap ladang minyak sendiri di wilayah yang kedaulatannya masih diperdebatkan. RRC kemudian memprotes seraya melakukan hal yang sama. Filipina juga terlibat ketegangan dengan Cina meski sudah menandatangani memo kesepahaman untuk menghindari penyelesaian jalan kekerasan.IV. PENUTUPPendekatan tradisional yang melihat persoalan di LCS hanya dari aspek hukum, strategi, politik atau militer harus diubah menjadi sebuah pendekatan yang realistis dimana Cina sendiri sudah berubah. Meski klaimnya melampaui semua wilayah di LCS namun karena sikap luar negerinya yang relatif berbeda dengan kebijakan lama merupakan peluang untuk membahas di meja perundingan segala perselisihan itu.Dengan kemungkinan melihat konflik LCS dari perspektif baru maka dimungkinkan terobosan baik dalam forum informal maupun formal. Seluruh negara yang terlibat konflik memang sudah saatnya beranjak dari sekedar retorika kepemilikan sejarah ke arah kerja sama konstruktif karena sikap keras tak menyelesaian masalah. Indonesia, sebagai salah satu negara yang dipercaya pihak yang berkonflik, memiliki peluang mencari terobosan. Namun tentu saja diperlukan kekuatan diplomasi yang bisa menopang ke arah penyelesaian damai masalah yang rumit ini.

Daftar Pustaka

Wu Jie, On Deng Xiaoping Thought. Beijing, Foreign Languages Press, 1996.Gao Shangquan and Chi Fulin (eds), Theory and Reality of Transition to a Market Economy.           Beijing, Foreign Languages Press, 1995.China: Facts & Figures (1997). Beijing, New Star Publishers, 1997.Selected Documents of The 15th CPC National Congress. Beijing, New Star Publishers, 1997.Setiawan, Asep, Antara Janji dan Bukti di Spratly. Kompas, 14 Desember 1997.Setiawan, Asep, Laut Cina Selatan Tetap Kawasan Rawan, Kompas 15 Desember 1997.Setiawan, Asep, Laut Cina Selatan, Tambang Emas Masa Depan, Kompas, 15 Desember 1997.Pattiradjawane, Rene L., Provokasi RRC di Laut Cina Selatan, Kompas, 27 Desember 1996O. Brien, Roderik, South China Sea Oil : Two Problems of Ownership and Development.   Singapore, Institute of South East Asian Studies,
1977.


[1] Asep Setiawan, wartawan dan staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Pasundan, Bandung. Disampaikan dalam diskusi tentang Laut Cina Selatan di FISIP, Unpas.