Tags

,

 

     REVOLUSI yang melanda Iran telah mentransformasikan negeri ini ari negeri yang berorientasi Barat menjadi Republik Islam Iran. Sistem politik Iran berubah seratus delapan puluh derajat dari sekuler menjadi religius. Munculnya Iran menjadi salah satu negara Islam dan penentang paling keras Amerika Serikat telah mengegerkan dunia.

     Setelah romantisme revolusi lewat diiringi letupan di dalam negeri, Iran semakin rasional menghadapi kenyataan di sekelilingnya. Emosi revolusi kini diganti dengan napas tenang pembangunan. Perang delapan tahun dengan Irak, persaingan kekuasaan serta salah urus dalam soal ekonomi sudah menjadi kenangan silam.

     Isu-isu ideologis tampaknya tidak terlalu dominan lagi, diganti dengan isu rekonstruksi Iran. Bahkan isu ideologis dengan slogan ekspor revolusi tidak lagi membuat negeri tetangganya meringis. Iran di bawah Presiden Rafsanjani mulai menoleh pada perbaikan hubungan baik dengan negara muslim di Timur Tengah maupun Barat. Kunjungan ke Suriah dan Arab Saudi baru-baru ini mengisyaratkan perubahan itu.

     Para pendukung Rafsanjani memang tidak melupakan aspek ideologis kebangkitan Islam Syiah di Iran, tetapi mereka kini bertekad mengurangi isolasi dunia dan membawa Iran ke pentas dunia sebagai kekuatan politik yang perlu diperhitungkan. Sisa pendukung

hingar bingar revolusi masih ada tetapi situasi umum memperlihatkan perhatian mendalam dalam soal sosial, ekonomi dan pembangunan.

                                ***

    

     BEBERAPA pejabat Iran menyangkal pandangan luar bahwa revolusi telah kehilangan bahan bakarnya. “Semangat revolusi berlanjut khususnya di kalangan generasi muda tetapi dengan bentuk lebih logis,” kata Ali Asghar Faramarzian, Dirjen Urusan Pers Asing di Ministry of Islamic Guidance.

     Namun sejumlah penduduk, pejabat dan diplomat dan pengusaha asing, seperti ditulis Judith Miller dalam International Herald Tribune, mengemukakan, mereka mencium adanya perubahan-perubahan penting.    

     Mereka mencontohkan sikap terbuka Iran terahadap Barat dalam soal politik luar negeri. Hal ini juga berlangsung dalam upaya rasionalisasi dan swastanisasi sektor-sektor kunci ekonomi. Rafsanjani di satu sisi sedang menggeser tekanan politik dan ideologi dalam soal kenegaraan. Rafsanjani yang diangkat sebagai presiden 28 Juli 1989 mendorong pragmatisme dalam arti positif dan kepentingan nasional untuk mengelola negeri yang berpenduduk sekitar 55 juta ini.

     “Revolusi ini akhirnya selesai,” komentar seorang diplomat. “Revolusi telah berlalu sebulan lampau ketika Irak membom kota suci Irak di Najaf dan Karbala, kota suci Syiah, tanpa rekasi Iran. Revolusi telah berakhir ketika Irak mulai membantai masyarakat Syiah

Irak tanpa satupun protes dari Iran. Revolusi telah selesai saat menghentikan ekspor revolusi Islam dan mengkonsentrasikan pada pembangunan dalam negeri.”    

     Namun demikian perubahan di Iran bukanlah soal yang gampang. Hal ini diakui pula oleh kaum profesional Iran dan diplomatnya. Kekerasan revolusi masih berada di bawah permukaan. Kaum radikal telah kehilangan kekuasaan tetapi mereka memiliki kekuasaan

untuk membawa kaum militan turun ke jalan dan menggalang kekuatan di parlemen yang beranggotakan 270 orang.

     Dua bulan lalu, sebagai contoh, parlemen mengecam Menteri Kesehatan Iraj Fazel karena menggantikan tokoh militan Islam di Universitas Teheran. Kecaman parlemen ini menyebabkan Rafsanjani mencopot Fazel dari jabatannya. Akan dengan tetapi dengan cerdik Rafsanjani menggantikannya dengan murid Fazel yang bahkan disebutkan lebih liberal dari gurunya. Sepekan kemudian, Presiden Rafsanjani menunjuk Fazel untuk duduk di Akademi Ilmu Pengetahuan.

     Meksipun sejumlah isyarat memperlihatkan adanya persaingan kekuasaan, akan tetapi kebanyakan pengamat sepakat bahwa Rafsanjani mampu mengkonsoliasikan kekuatan.

     “Ia bisa berkuasa selama satu dekade, dua tugas pentingnya adalah merekonstruksi dan mereformasi Iran,” pendapat seorang diplomat. “Jika ia tidak melakukannya, meskipun Iran memiliki peradaban tinggi, tenaga kerja banyak dan kekayaan minyak, akan menjadi Pakistan atau Mesir.”

     Sejauh ini yang masih mampu berkuasa merembes ke segala bidang adalah Komiteh, kekuatan kemanan dalam negeri yang dibentuk setelah Revolusi 1979. Komiteh ini adalah untuk menjamin pelaksanaan hukum Islam. Suatu badan yang sama dibentuk di Arab Saudi dengan tugas mengawasi jalannya hukum Islam. Sejauh ini tidak ada kontradiksi dalam soal tersebut.

     Foto Ayatollah Khomeini, arsitek Revolusi Islam Iran, yang pernah muncul dimana-mana kini lenyap di sebagian besar tempat kecuali di gedung-gedung pemerintah. Radio juga telah menghapus acara rutin “Kata-kata dan petuah Imam Khomeini”yang disiarkan

setiap berita berita malam. Khomeini meninggal dunia 4 Juni 1989, kini setiap tahun kerapkali diadakan peringatan wafatnya tokoh besar Iran ini.

     Kaum wanita masih diperintahkan mengenakan jilbab yang menutup rambut dan seluruh tubuh. Akan tetapi toko kosmetik, dua blok dari Ministry of Islamic Guidance, masih tetap ramai dikunjungi pembeli meskipun dalam faktanya pemakaian kosmetik secara resmi tidak disukai.

                                ***

    

     DAPAT dicatat di sini sejumlah kebijakan yang diambil Rafsanjani yang memperlihatkan lebih jauh profil dirinya sebagai pembawa angin baru dalam Iran. Ia telah memulihkan hubungan dengan sejumlah negara Eropa dan menangani masalah yang sangat penting yakni hubungan dengan Washington. Kini hubungan dengan Perancis makin diperkuat.

     Beberapa pekan lalu Iran menerima Menlu Italia Gianni De Michelis, menlu pertama yang berkunjung ke Iran sejak Revolusi 1979. Setelah memulihkan hubungan dengan Inggris Desember lalu, Iran baru-baru ini membebaskan Roger Cooper, pengusaha Inggris yang ditahan selama lima tahun karena kasus spionase.

     Di samping itu Rafsanjani telah memulihkan hubungan dengan sejumlah negara yang tergabung dalam koalisi pimpinan AS saat Perang Teluk seperti  Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Qatar, Mesir dan bahkan dengan Arab Saudi.

     Rafsanjani bahkan meluaskan hubungannya dengan berkunjung ke Suriah. Presiden Suriah Hafezz Assad memberi jaminan Iran akan diikutsertakan dalam pengaturan keamanan di Timur Tengah. Semula Iran memang dikucilkan namun karena sikapnya yang netral selama Perang Teluk dan ofensif diplomatiknya, pengaruhnya akan m
embesar dalam pengaturan keamanan Timur Tengah.

     Bank Dunia baru-baru ini menyetujui pinjaman 200 juta dollar, pinjaman pertama yang diterima Iran setelah Revolusi Iran. Bantuan ini ditujukan untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur akibat gempa

bumi tahun lalu.

     Sejumlah soal yang berkaitan tak langsung dengan AS dicairkan. Iran misalnya mendesak milisi Hizbullah untuk membebaskan sandera Barat yang masih ditahan di Lebanon. Selama Perang Teluk Iran menjamin akan mentaati Resolusi DK-PBB. Namun Teheran menyatakan oposisi terhadap kehadiran pasukan koalisi di Teluk.

     Tim ekonomi Rafsanjani secara terbuka bertanggung jawab atas swastanisasi, liberalisasi dan rasionalisasi, demikian pendapat Mohammad Hussein Adeli, Direktur Bank Sentral Iran.

     Di dalam negeri, Rafsanjani juga berupaya menggabungkan Komite dengan polisi reguler. Ia juga menyatukan Pengawal Revolusi Iran dengan tentara reguler. Rafsanjani berupaya menghapus dualisme fungsi pemerintahan yang membuat birokrasi menjadi panjang. Ia juga mengurangi sejumlah ulama di beberapa pos sensitif dan di sektor

kunci ekonomi. Mereka digantikan dengan teknokrat dn kelompok profesional.

     Lebih dari satu dekade setelah Revolusi yang menjatuhkan Shah Reza Pahlevi, Iran memang mengalami perubahan penting. Sikapnya semakin terbuka dan pergaulan internasionalnya mulai meluas. Sejumlah wartawan asing dari Barat seperti CNN atau NBC dapat menayangkan kehidupan sehari-hari Iran.    

     Perubahan-perubahan penting ini akan membuat Iran semakin kuat dalam peranan regional dan internasionalnya. Bahkan sesungguhnya kekuatan di Timur Tengah dalam dekade mendatang mungkin akan terletak di tangan Iran. Irak yang hancur karena Perang Teluk dan dicurigai Barat membutuhkan waktu lama untuk mengejar ketinggalannya. Situasi ini memberi peluang bagi Iran untuk tampil lagi sebagai kekuatan politik yang matang. (Asep Setiawan sumber IHT dan Bangkok Post)

 

 Sumber: Kompas 5/5/1991