Tags
Oleh Asep Setiawan
Kehadiran senjata nuklir dalam hubungan internasional telah mengubah tatanan dunia. Sejak bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki masing-masing 6 dan 9 Agustus oleh Amerika Serikat, banyak doktrin perang dan strategi hubungan internasional berubah. Senjata pamungkas ini mengubah wajah perang menjadi kehancuran umat manusia.
Gambaran jamur raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa setelah jatuhnya bom atom itu mentransformasikan sebuah “perimbangan kekuatan” (balance of power) menjadi “perimbangan teror” (balance of terror). Pemilik nuklir tak bisa lagi menggunakan senjata terakhir ini untuk menyerang musuhnya bila negara sasaran memiliki senjata yang sama.
Amerika Serikat dan Uni Soviet telah menjadi kekuatan nuklir pertama yang saling berlomba mengungguli. Sifat perang berubah dari bentrokan militer konvensional yang melibatkan tank dan pesawat-pesawat tempur menjadi adu strategi nuklir. Karena skala kehancurannya yang mengerikan, maka kedua negara adidaya tidak berani memulai perang meski permusuhan ideologi diantara mereka sangat tajam. Maka berkembang pula strategi-strategi baru sejalan dengan perkembangan kualitas dan kuantitas senjata nuklir.
Makalah ini akan mengulas perkembangan strategi nuklir dalam hubungan internasional yang diakibatkan oleh kehadiran senjata pamungkas ini. Dengan meminjam kerangka yang digunakan Charles W Kegley Jr dan Eugene R. Wittkopf (1993)[1], makalah ini membagi perkembangan strategi nuklir menjadi tiga tahap, 1945-1962, 1962-1991 dan 1992- sekarang.
Menurut Morton H Halperin seperti dikutip Couloumbis[2], tujuan nasional, kemauan untuk mengerahkan kekuatan, kesiapan menerima kemungkinan perang besar dan pertimbangan politik domestik memberikan parameter bagi kebijakan nuklir. Jika terjadi krisis nuklir maka pertimbangannya adalah sejauh mana serangan pertama itu efektif. Namun dalam perkembangannya asumsi serangan pertama ini pun mengalami perubahan.
Diplomasi Koersif 1945-1962
Negara-negara yang menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir bahwa senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah perilaku negara lain. Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya.
Compellence (Pemaksaan) melukiskan tentang doktrin stratetgi AS saat superioritas nuklir dimilikinya. Strategi ini membuat senjata nuklir instrumen untuk mempengaruhi negara lain.
Untuk meraih kemenangan politik Menlu AS John Doster Dulles mempraktekan apa yang disebut brinkmanship yang melukiskan keinginan untuk mengejar tujuan AS sampai hampir batas perang dengan mengancam musuhnya menggunakan senjata nuklir.
Brinkmanship ini masuk akal tatkala AS menikmati superioritas nuklir. Praktek itu bagian dari strategi AS yang disebut massive retliation (pembalasan besar-besaran). Praktek brinkmanship dan massive retaliation ini mencemaskan Uni Soviet.
Mutual Deterrence 1962-1983
Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini.
Oleh sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan. Perubahan kebijakan strategis ini dari compellence (pemaksaan) kedalam deterrence (penggetar/pencegah) adalah cara untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak lainnya.
Pada periode ini kedua negara adidaya mengejar postur extended deterrence (penggetar yang diperluas) Tujuan strategi ini adalah mencegah serangan kepada pemilik nuklir tetapi juga sekutunya. Berkembanglah aliansi seperti terjadi di Eropa dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Mutual Assured Destruction
Para pengambil kebijakan terutama di AS menyebut mutual assured destruction (MAD) untuk menunjukkan perimbangan strategis yang muncul selama tahun 1960-an dan awal 1970-an. Secara harfiah singkata itu bisa diartikan kehancura bersama yang disingkat mad (gila).
Istilah itu sebenarnya merujuk pada jalan buntu yang dialami dua negara adidaya dengan doktrin saling mencegah dalam penyerangan. Mereka kini berpikir bahwa keduanya bisa hancur sama-sama jika terjadi perang nuklir. Kesadaran ini menimbulkan perasaan bahwa jika perang nuklir terjadi tak ada yang bisa selamat.
Dengan situasi seperti ini, perdamaian – setidaknya stabilitas – merupakan produk kerawanan dari kedua pihak pemilik nuklir. Jika salah satu negara diserang maka imbalannya adalah kehancuran yang sama. Dengan demikian tidak ada yang selamat dari perang nuklir.
Menurut Couloumbis, MAD ini tergantung pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas sehingga menimbulkan “kerusakan ayang tidak bisa diterima” oleh penyerangnya. Kalangan pakar strategis nuklir menyebutnya kemampuan membalas itu sebagai sebagai “kemampuan serangan kedua”.
Dengan adanya doktrin seperti ini maka, kemampuan membalas serangan itu menjadi tumpuan sehingga harus kuat dan mobil. Hal ini ditujukan agar senjata nuklir bisa selamat dari serangan pertama. Sistem senjata ofensif memainkan peran penting. Kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan MIRV (multiple independently targeted reentry vehicle). Ini adalah satu jenis rudal yang bisa melepaskan sejumlah hulu ledak termasuk hulu ledak tipuan. MIRV ini dapat dipasang di ruda
l balistik antar benua atau rudal yang diluncurkan dari kapal selam.
Teori Utilisasi Nuklir (Nuclear Utilization Theory)
Hubungan politik diantara negara adidaya memburuk cepat pada wal 1980-an. Situasi itu mengubah kerja sama antar dua musuh besar ini menjadi konfrontasi. Kemudian muncul debat tentang peran dan tujuan senjata nuklir. Timbul pula pertanyaan apakah senjata nuklir masih bisa digunakan untuk bertahan atau mencegah serangan ?
Saat hubungan dua adidaya itu memburuk, di AS berkembang tentang cara terbaik melindungi kepentingan nasional melalui senjata strategis. Penganut MAD masih melanjutkan sikapnya untuk bersama-sama hancur jika terjadi perang nuklir. Namun kemudian muncul pula penganut teori utilisasi nuklir atau pendekatan NUT.
Pendekatan itu beranggapan senjata nuklir tak hanya digunakan sebagai pencegah tetapi juga digunakan dalam perang. Sikap ini perlu diambil, kata pendukung NUT, karena Uni Soviet siap perang nuklir dan memenangkannya.
Dari Ofensif ke Defensif
Tantangan baru terhadap pemikiran strategis berkembang tahun 1983 saat Presiden AS Ronald Reagan mengusulkan pertahanan yang berlandaskan angkasa luar dalam melawan rudal balistik.
Secara resmi kebijakan Reagan itu disebut Strategic Defense Initiative (SDI) atau Prakarsa Pertahana Strategis. Kebijakan baru itu malah lebih populer disebut Star Wars. Strategi pertahanan ini akan menggunakan teknologi canggih untuk menghentikan laju rudal nuklir di angkasa luar sehingga, seperti dikatakan Reagan, membuat senjata nuklir “impoten dan ketinggalan jaman”.
Strategi AS Pasca Perang Dingin
AS menggelar sejumlah strategi baru dalam memasuki abad ke-21. Diantara butir-butir strategi AS itu adalah :
– Menggerakkan strategi AS dari menyiapkan perang melawan Uni Soviet dan menggunakan senjata nuklir menjadi persiapan perang yang menggunakan senjata pamungkas.
– Menerima visi Eropa bebas nuklir.
– Menggantungkan diri pada pasukan. AS mengupayakan perang jangka pendek.
– AS akan memobilisasi struktur kekuatan perimbangan untuk menghadapi kekautan yang akan muncul.
– Menggunakan senjata konvensional modern, bukan senjata strategis.
– Pengaturan apa yang disebut sebagai konflik intensitas menengah.
Strategi Rusia Pasca Perang Dingin
Rusia juga memikirkan strategi baru untuk menghadapi tatanan dunia baru selepas Uni Soviet bubar.
1. Menjamin adanya kontrol atas senjata nuklir.
2. Menjamin tak ada kekuatan asing menyerang atau intervensi untuk memulihkan ketertiban.
3. Memperkuat persemakmuran negara-negara merdeka (CIS) menjadi sebuah konfederasi yang terintgrasi.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi Rusia itu dikembangkan pemikiran strategis baru:
1. Para pemimpin Rusia akan tetap menjamin bahwa arsenal Rusia dapat diandalkan.
2. Rekonstruksi angkatan bersenjata Rusia akan berusaha menghasilkan “militer yang lebih efisien tapi tak mengancam dunia”.
3. Melindungi komando senjata strategis Rusia dan mencegah kehilangan kontrol atas senjata nuklir ke negara lain.
4. Penekanan pada penggunaan senjata non nuklir yang canggih.
Penutup
Senjata nuklir telah membawa perubahan dalam sejarah strategi negara adidaya dan negara nuklir lainnya seperti Inggris, Perancis dan Cina. Perang Dingin menekankan penggunaan nuklir tetapi bisa mencegah terjadinya perang yang menakutkan itu.
Pasca Perang Dingin melahirkan berbagai doktrin strategis baru yang menekankan pada penggunaan senjata konvensional. Namun demikian sebagai salah satu senjata yang prestise, nuklir tetap dicari seperti terjadi pada negara nuklir baru yakni India dan Pakistan.
Menurut George F Kennan, mantan Dubes AS di Uni Soviet, potensi destruktif perang nuklir global sangat besar sehingga tidak ada alasan politik untuk membenarkannya. [3]
Arnold J Toynbee berpendapat, pengembangan senjata nuklir mungkin membuat perang menjadi kuno sama seperti berburu makanan tiap hari menjadi tidak penting. Akhirnya, Liddle-Hart’s menegaskan, tujuan perang yang sah adalah perdamaian yang lebih baik. Pernyataan ini berarti perang pada era nuklir menjadi kehilangan kegunaannya sebagai instrumen kebijakan.