Malioboro Yogya kini sudah sangat padat. Saya sedikit kecewa melihat bagaimana Malioboro yang asri dengan lampu-lampu berbinar kini menjadi terlihat gelap dimalam hari dan semakin sempit jalannya.Kiri kanan jalan pertokoan tertutup dengan pembatas jalan yang menambah gelap. Ah berbeda sekali dengan bayangan dulu ketika Malioboro asri dan tenang. Tampaknya tranportasi jalan sudah menghabiskan badan jalan menambah suasana bising dan polusi. Mungkinkah Malioboro bisa menjadi jalan bebas polisi, bebas motor dan mobil ? Kalau ini bisa dikembalikan, Malioboro dengan lesehan dan pusat kerajinan akan menambah nilai pariwisata Yogya.(Saya lanjutkan tulisan mengenai Malioboro ini sesudah tiba di London, maklum susah sekali mencari waktu selama di Indonesia. Tugas berkeliling beberapa kota menyita waktu dan akses internet juga tidak mudah ya) Bagi saya Malioboro ada simbol penting seperti halnya Thamrin di Jakarta atau Oxford Street di London. Ini adalah jalur identitas kota Yogyakarta, kalau tidak disebutkan sebagai pusat kunjungan turis.Malioboro ada Yogya dan Yogya bisa direpresentasikan secara populer dengan kehadiran Malioboro. Memang ada Keraton Yogya di kota Gudeg ini namun semua orang yang datang ke Yogya mau tidak mau akan menyentuh jalan ini. Jika tidak dirawat dan dijaga maka Malioboro menjadi kumuh, kotor, semrawut, macet, padat dan tidak asri. Pemandangan yang menyebabkan mungkin banyak pengunjung bergegas segera pergi dari Mailoboro daripada menikmatinya.Sudah saatnya daerah ini ditata ulang untuk memberikan ruang lebih besar kepada para pejalan kaki. Merekalah yang akan menghidupkan denyut nadi Maliboro dengan lesehan terkenal yang sudah berjalan sangat lama. Kalau tempat lesehan itu kumuh dan kotor karena asap knalpot motor, sulit sekali pengungunjung menikmati udara Malioboro.