• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Academic Profile

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: Timur Tengah

Iran Alami Perubahan Penting

25 Tuesday Nov 2008

Posted by Setiawan in Archives, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

Iran, Timur Tengah

 

     REVOLUSI yang melanda Iran telah mentransformasikan negeri ini ari negeri yang berorientasi Barat menjadi Republik Islam Iran. Sistem politik Iran berubah seratus delapan puluh derajat dari sekuler menjadi religius. Munculnya Iran menjadi salah satu negara Islam dan penentang paling keras Amerika Serikat telah mengegerkan dunia.

     Setelah romantisme revolusi lewat diiringi letupan di dalam negeri, Iran semakin rasional menghadapi kenyataan di sekelilingnya. Emosi revolusi kini diganti dengan napas tenang pembangunan. Perang delapan tahun dengan Irak, persaingan kekuasaan serta salah urus dalam soal ekonomi sudah menjadi kenangan silam.

     Isu-isu ideologis tampaknya tidak terlalu dominan lagi, diganti dengan isu rekonstruksi Iran. Bahkan isu ideologis dengan slogan ekspor revolusi tidak lagi membuat negeri tetangganya meringis. Iran di bawah Presiden Rafsanjani mulai menoleh pada perbaikan hubungan baik dengan negara muslim di Timur Tengah maupun Barat. Kunjungan ke Suriah dan Arab Saudi baru-baru ini mengisyaratkan perubahan itu.

     Para pendukung Rafsanjani memang tidak melupakan aspek ideologis kebangkitan Islam Syiah di Iran, tetapi mereka kini bertekad mengurangi isolasi dunia dan membawa Iran ke pentas dunia sebagai kekuatan politik yang perlu diperhitungkan. Sisa pendukung

hingar bingar revolusi masih ada tetapi situasi umum memperlihatkan perhatian mendalam dalam soal sosial, ekonomi dan pembangunan.

                                ***

    

     BEBERAPA pejabat Iran menyangkal pandangan luar bahwa revolusi telah kehilangan bahan bakarnya. “Semangat revolusi berlanjut khususnya di kalangan generasi muda tetapi dengan bentuk lebih logis,” kata Ali Asghar Faramarzian, Dirjen Urusan Pers Asing di Ministry of Islamic Guidance.

     Namun sejumlah penduduk, pejabat dan diplomat dan pengusaha asing, seperti ditulis Judith Miller dalam International Herald Tribune, mengemukakan, mereka mencium adanya perubahan-perubahan penting.    

     Mereka mencontohkan sikap terbuka Iran terahadap Barat dalam soal politik luar negeri. Hal ini juga berlangsung dalam upaya rasionalisasi dan swastanisasi sektor-sektor kunci ekonomi. Rafsanjani di satu sisi sedang menggeser tekanan politik dan ideologi dalam soal kenegaraan. Rafsanjani yang diangkat sebagai presiden 28 Juli 1989 mendorong pragmatisme dalam arti positif dan kepentingan nasional untuk mengelola negeri yang berpenduduk sekitar 55 juta ini.

     “Revolusi ini akhirnya selesai,” komentar seorang diplomat. “Revolusi telah berlalu sebulan lampau ketika Irak membom kota suci Irak di Najaf dan Karbala, kota suci Syiah, tanpa rekasi Iran. Revolusi telah berakhir ketika Irak mulai membantai masyarakat Syiah

Irak tanpa satupun protes dari Iran. Revolusi telah selesai saat menghentikan ekspor revolusi Islam dan mengkonsentrasikan pada pembangunan dalam negeri.”    

     Namun demikian perubahan di Iran bukanlah soal yang gampang. Hal ini diakui pula oleh kaum profesional Iran dan diplomatnya. Kekerasan revolusi masih berada di bawah permukaan. Kaum radikal telah kehilangan kekuasaan tetapi mereka memiliki kekuasaan

untuk membawa kaum militan turun ke jalan dan menggalang kekuatan di parlemen yang beranggotakan 270 orang.

     Dua bulan lalu, sebagai contoh, parlemen mengecam Menteri Kesehatan Iraj Fazel karena menggantikan tokoh militan Islam di Universitas Teheran. Kecaman parlemen ini menyebabkan Rafsanjani mencopot Fazel dari jabatannya. Akan dengan tetapi dengan cerdik Rafsanjani menggantikannya dengan murid Fazel yang bahkan disebutkan lebih liberal dari gurunya. Sepekan kemudian, Presiden Rafsanjani menunjuk Fazel untuk duduk di Akademi Ilmu Pengetahuan.

     Meksipun sejumlah isyarat memperlihatkan adanya persaingan kekuasaan, akan tetapi kebanyakan pengamat sepakat bahwa Rafsanjani mampu mengkonsoliasikan kekuatan.

     “Ia bisa berkuasa selama satu dekade, dua tugas pentingnya adalah merekonstruksi dan mereformasi Iran,” pendapat seorang diplomat. “Jika ia tidak melakukannya, meskipun Iran memiliki peradaban tinggi, tenaga kerja banyak dan kekayaan minyak, akan menjadi Pakistan atau Mesir.”

     Sejauh ini yang masih mampu berkuasa merembes ke segala bidang adalah Komiteh, kekuatan kemanan dalam negeri yang dibentuk setelah Revolusi 1979. Komiteh ini adalah untuk menjamin pelaksanaan hukum Islam. Suatu badan yang sama dibentuk di Arab Saudi dengan tugas mengawasi jalannya hukum Islam. Sejauh ini tidak ada kontradiksi dalam soal tersebut.

     Foto Ayatollah Khomeini, arsitek Revolusi Islam Iran, yang pernah muncul dimana-mana kini lenyap di sebagian besar tempat kecuali di gedung-gedung pemerintah. Radio juga telah menghapus acara rutin “Kata-kata dan petuah Imam Khomeini”yang disiarkan

setiap berita berita malam. Khomeini meninggal dunia 4 Juni 1989, kini setiap tahun kerapkali diadakan peringatan wafatnya tokoh besar Iran ini.

     Kaum wanita masih diperintahkan mengenakan jilbab yang menutup rambut dan seluruh tubuh. Akan tetapi toko kosmetik, dua blok dari Ministry of Islamic Guidance, masih tetap ramai dikunjungi pembeli meskipun dalam faktanya pemakaian kosmetik secara resmi tidak disukai.

                                ***

    

     DAPAT dicatat di sini sejumlah kebijakan yang diambil Rafsanjani yang memperlihatkan lebih jauh profil dirinya sebagai pembawa angin baru dalam Iran. Ia telah memulihkan hubungan dengan sejumlah negara Eropa dan menangani masalah yang sangat penting yakni hubungan dengan Washington. Kini hubungan dengan Perancis makin diperkuat.

     Beberapa pekan lalu Iran menerima Menlu Italia Gianni De Michelis, menlu pertama yang berkunjung ke Iran sejak Revolusi 1979. Setelah memulihkan hubungan dengan Inggris Desember lalu, Iran baru-baru ini membebaskan Roger Cooper, pengusaha Inggris yang ditahan selama lima tahun karena kasus spionase.

     Di samping itu Rafsanjani telah memulihkan hubungan dengan sejumlah negara yang tergabung dalam koalisi pimpinan AS saat Perang Teluk seperti  Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Qatar, Mesir dan bahkan dengan Arab Saudi.

     Rafsanjani bahkan meluaskan hubungannya dengan berkunjung ke Suriah. Presiden Suriah Hafezz Assad memberi jaminan Iran akan diikutsertakan dalam pengaturan keamanan di Timur Tengah. Semula Iran memang dikucilkan namun karena sikapnya yang netral selama Perang Teluk dan ofensif diplomatiknya, pengaruhnya akan m
embesar dalam pengaturan keamanan Timur Tengah.

     Bank Dunia baru-baru ini menyetujui pinjaman 200 juta dollar, pinjaman pertama yang diterima Iran setelah Revolusi Iran. Bantuan ini ditujukan untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur akibat gempa

bumi tahun lalu.

     Sejumlah soal yang berkaitan tak langsung dengan AS dicairkan. Iran misalnya mendesak milisi Hizbullah untuk membebaskan sandera Barat yang masih ditahan di Lebanon. Selama Perang Teluk Iran menjamin akan mentaati Resolusi DK-PBB. Namun Teheran menyatakan oposisi terhadap kehadiran pasukan koalisi di Teluk.

     Tim ekonomi Rafsanjani secara terbuka bertanggung jawab atas swastanisasi, liberalisasi dan rasionalisasi, demikian pendapat Mohammad Hussein Adeli, Direktur Bank Sentral Iran.

     Di dalam negeri, Rafsanjani juga berupaya menggabungkan Komite dengan polisi reguler. Ia juga menyatukan Pengawal Revolusi Iran dengan tentara reguler. Rafsanjani berupaya menghapus dualisme fungsi pemerintahan yang membuat birokrasi menjadi panjang. Ia juga mengurangi sejumlah ulama di beberapa pos sensitif dan di sektor

kunci ekonomi. Mereka digantikan dengan teknokrat dn kelompok profesional.

     Lebih dari satu dekade setelah Revolusi yang menjatuhkan Shah Reza Pahlevi, Iran memang mengalami perubahan penting. Sikapnya semakin terbuka dan pergaulan internasionalnya mulai meluas. Sejumlah wartawan asing dari Barat seperti CNN atau NBC dapat menayangkan kehidupan sehari-hari Iran.    

     Perubahan-perubahan penting ini akan membuat Iran semakin kuat dalam peranan regional dan internasionalnya. Bahkan sesungguhnya kekuatan di Timur Tengah dalam dekade mendatang mungkin akan terletak di tangan Iran. Irak yang hancur karena Perang Teluk dan dicurigai Barat membutuhkan waktu lama untuk mengejar ketinggalannya. Situasi ini memberi peluang bagi Iran untuk tampil lagi sebagai kekuatan politik yang matang. (Asep Setiawan sumber IHT dan Bangkok Post)

 

 Sumber: Kompas 5/5/1991

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

PETA BARU POLITIK TIMUR TENGAH

10 Monday Nov 2008

Posted by Setiawan in Archives, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

Timur Tengah

 

     KRISIS Teluk yang berlanjut dengan meletusnya perang telah mengubah peta politik Timur Tengah. Setahun sudah lewat konflik mencekam di Teluk Persia akibat serbuan Irak ke Kuwait 2 Agustus dini hari. Perubahan itu tidak hanya dialami oleh hubungan

antarnegara Timur Tengah, namun juga hubungan antara AS dengan Uni Soviet, serta hubungan keduanya dengan negara-negara di Timur Tengah.

     Pola hubungan itu di satu sisi memperkuat koalisi beberapa negara, tetapi di sisi lain justru memperlemahnya. Pola yang sedang berubah ini juga mengakibatkan hilangnya sejumlah isu peka dan memunculkan isu lainnya. Namun demikian isu sentral mengenai nasib bangsa Palestina tetap menjadi agenda utama negara-negara Arab dalam manuver politiknya. Sepanjang sejarah modern, isu Palestina telah menjadi alat pemersatu dan namun juga pemecah belah bangsa Arab.

     Persatuan bangsa Arab tampak sekali tatkala dari berbagai negara bergabung dalam satu front yang menyerang Israel dalam Perang Oktober 1973. Tadinya serbuan spektakuler ini ditujukan untuk menaklukan Israel dan mengembalikan hak-hak bangsa Palestina, namun di tengah pertempuran yang menunjukan bangsa Arab akan menang, AS turun tangan. Saat itulah titik balik terjadi yang merugikan front

persatuan Arab.

     Tampaknya AS dan bangsa Yahudi belajar banyak dari kasus yang hampir melenyapkan Israel di peta Timur Tengah. Keduanya, terutama AS, menjalin hubungan lebih erat dengan sejumlah negara moderat di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Kedua negara memang sudah lama menjalin persahabatan, khususnya karena hubungan minyak sejak tahun 1930-an. Persahabatan juga dibina lewat Mesir, salah satu negara

terkemuka di dunia Arab.

     Lewat dua pijakan ini AS mendapat kebebasan di dunia Arab meskipun tetap bisa mempertahankan persahabatannya dengan negara musuh Arab, yakni Israel. Jelaslah AS bisa menjalin hubungan ini dengan baik. Lewat kelonggaran itu AS bisa menetralisasi kekuatan

anti-AS yang muncul di beberapa negara Arab, bahkan bisa menundukkannya. Peluang itu pula yang digunakan untuk membujuk negara-negara Arab dan Israel duduk bersama dalam konferensi perdamaian Timur Tengah.

                  

Peta lama

     Sekurang-kurangnya ada tiga front dalam peta politik Timur Tengah. Pertama, koalisi negara-negara Teluk pimpinan Arab Saudi. Dalam koalisi ini tergabung Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Oman, Emirat Arab dan Kuwait. Mereka menyebut diri Dewan Kerja sama Teluk (GCC = Gulf Countries Council). Negara-negara kecil keemiran di Teluk ini

dari segi wilayah tidak begitu luas, namun dari segi kekayaan melebihi negara-negara di sekitarnya.

     Kedua, koalisi antara Irak, Yaman, Yordania dan Mesir. Koalisi ini semula sangat kuat namun mendapat cobaan sangat berat dengan manuver politik Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat tahun 1979. Akibat manuver itu Mesir dikucilkan negara-negara Arab lainnya karena dianggap mengkhianati kesepakatan negara-negara Arab mengenai Palestina dan Israel. Bahkan lebih tragis lagi, manuver itu langsung atau tidak langsung membawa maut bagi Sadat. Ia dibunuh tentaranya sendiri saat berlangsungnya suatu parade militer.

     Namun Mesir yang memang karena luasnya wilayah, padatnya populasi dan pengaruh intelektualnya, kembali muncul sebagai salah satu negara leading di Timteng. Dalam Liga Arab, kewibawaan Mesir tampaknya kembali pulih. Pesan Presiden Hosni Mubarak dalam mendorong pembentukan pasukan multinasional Arab ketika krisis Teluk, mendapat sambutan cukup luas. Ini memperlihatkan bahwa jejak masa lalu, ketika Mesir sempat tersisih, tidak lagi tampak. Mesir kembali ke penampilan puncak dalam peta politik Timur Tengah.

     Daya kohesi koalisi ini memperoleh puncaknya awal tahun 1980-an. Presiden Irak Saddam Hussein, Raja Hussein dari Yordania, Presiden Mubarak dan Presiden Yaman, sangat kompak. Secara tak langsung koalisi ini mendapat perimbangan dari GCC yang memadukan kekuatan ekonomi dengan politik.

     Ketiga, koalisi negara-negara Magribi seperti Tunisia, Sudan, Marokko, Aljazair dan Libya. Memang ada kontroversi apakah negara-negara Afrika ini wajar dimasukkan dalam kancah polit
ik Timur Tengah. Namun identitas Arab yang melekat di negara-negara ini menyebabkan pemisahan itu kurang relevan.

     Salah satu perbedaannya bahwa isu Palestina maupun isu-isu Arab lainnya tidak terlalu ketat mempengaruhi percaturan politik dalam negeri. Bahwa isu itu tidak terlalu melekat di negara-negara ini banyak dipengaruhi faktor geografis semata-mata. Jauhnya wilayah ini dari pusat pergolakan menyebabkan gemanya tidak terlalu besar. Hanya patut diberi catatan, negara itu mengidentifikasikan diri sebagai negara Arab. Bila dilacak di masa lalu pada jaman keemasan Islam, maka kultur negara itu dapat dipahami bila disebut “Arab”.

     Ada satu negara yang tidak dapat dipisahkan dari medan politik Timur Tengah namun bukan termasuk rumpun bangsa Arab adalah Republik Islam Iran. Semula AS menaruh kepercayaan kepada Iran di bawah pimpinan Shah Reza Pahlevi, namun skenario yang diinginkan AS itu berantakan dengan pecahnya revolusi di Iran.

     AS semula ingin Teheran berperan sebagai polisi Timur Tengah sesuai dengan kepentingannya. Rencana itu kini sulit dialihkan ke negara lain. Kecewanya AS dengan rencana itu menyebabkan Washington mendorong negara-negara Arab menyokong Irak dalam perang melawan Iran. Ijin bebas kepada Irak mempersenjatai diri melawan Iran telah menjadi bumerang bagi AS. Delapan tahun masa perang melawan Iran telah memberi peluang untuk memiliki persenjataan modern lewat Barat.

     Tiga koalisi Arab ini bergabung dalam forum yang lebih besar,yakni Liga Arab. Persaingan dalam liga ini pun bukan hal yang ringan. Untuk memperoleh pengaruh dalam liga, setiap kelompok maupun negara secara individual mencari dukungan terhadap peranan masing-masing. Seperti diungkapkan sebuah sumber di Arab Saudi, “Di Liga

Arab ini banyak crazy leaders.”

 

Koalisi baru

     Jalan ke arah pembentukan koalisi ini sudah terjadi melalui Perang Teluk. Koalisi pertama jelas akan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Keenam negara itu meningkat kekompakannya. Kekompakan itu tidak hanya dalam soal-soal politik, namun lebih dalam bentuk kebersamaan.

     Hampir semuanya berbentuk monarki atau monarki republik, semuanya memiliki kekayaan minyak, jumlah penduduknya tidak besar dan kekuatan militer tak begitu kuat. Nasib yang sama diantara keenam negara Teluk ini jelas akan mempertebal kerbersamaan mereka.Kebersamaan sudah tampak di awal pembentukan GCC, terlihat dari banyakya pertemuan dan kerja sama.      

     Apalagi kasus Kuwait yang diduduki Irak dengan klaim sejarah, akan mempertajam daya pengawasan mereka terhadap potensi ancaman dari luar. Sebenarnya ancaman terhadap Kuwait dari Irak sudah terjadi beberapa kali, ancaman itu sekarang lebih besar karena didukung persenjataan lengkap.

     Mesir memasuki koalisi ini meskipun tidak bergabung ke dalam GCC. Ini karena semata-mata soal geografis. Namun nama Mesir diantara keenam negara itu akan diingat selalu, khususnya saat penyelesaian isu Kuwait. Nama seperti Marokko, Pakistan, Banglades dan Suriah juga tidak akan hilang begitu saja dalam format politik baru nanti.

     Ada hal yang unik sebenarnya berkaitan dengan Suriah. Negeri

itu memang tidak dapat disangkal lagi pemimpinnya, Hafez Assad, tokoh yang bersaingan secara pribadi dengan Saddam. Suriah juga tidak begitu dekat dengan beberapa negara Teluk, namum berkat soal Kuwait ini kehadirannya sangat terasa.

     Nama Suriah kembali disebut disamping Mesir dalam pengaturan keamanan di Teluk. Fenomena ini memperlihatkan akses Suriah memasuki pentas politik Arab semakin besar. Di sisi lain kecurigaan terhadap Suriah sebagai eksponen pengekspor gerakan teroris, berkurang.

     Suriah memanfaatkan dengan baik momentun terjadinya Perang Teluk. Ketika sedang hangat-hangatnya krisis, Suriah menggempur posisi Jederal Michel Aoun di Lebanon. Assad juga mengukuhkan kehadirannya di Lebanon dengan mendukung pemerintah yang berkuasa. Lewat tangan Suriah inilah, milisi bersenjata setiap faksi yang menguasai Beirut dipaksa ditarik mundur. Suara Suriah menerima gagasan untuk berunding dengan Israel adalah salah satu ciri format baru politik di Timur Tengah.

     Kolisi kedua tentu saja pecah karena Mesir sulit diajak duduk dengan Irak saat ini. Tetapi di pihak lain, Irak, Yordania dan Yaman akan semakin kuat pula daya lekatnya. Nasib di Perang Teluk memperjelas posisi mereka. Selama ini Yordania dengan jelas memihak Irak, sedangkan Yaman tidak begitu tampak. Akan tetapi banyak pihak menilai Yaman adalah negara pro-Irak.

     Koalisi ketiga tidak begitu jelas. Kebanyakan menjaga jarak dengan situasi di Timur Tengah. Libya sama sekali tidak banyak manuvernya menangani soal Teluk kecuali mengecam Irak dan pada saat bersamaan mengecam kehadiran pasukan AS dan Barat.

     Perubahan pola hubungan ini tergantung dari banyak perkembangan di Teluk yang akan terus berjalan. Setidaknya daya ikat dan longgar antarsejumlah negara yang bertahan kurang dari satu dekade. Dengan kata lain pengucilan Irak dan eksponennya mungkin akan berangsur hilang dalam sepuluh tahun mendatang, kecuali ada insiden yang mengubah secara drastis misalnya perang baru.

     Namun, seperti diungkapkan seorang diplomat Indonesia di Mesir, dunia Arab kadang-kadang pecah, kadang-kadang bersatu. Dengan demikian tidak perlu heran ada perpecahan seperti sekarang karena akan kembali kepada kestabilan semula. Setiap negara Arab pada dasarnya berkeinginan bersatu lagi seperti sediakala.

     Keinginan itu tidak selalu terwujud karena adanya faktor luar yang ikut mempengaruhi jalannya percaturan politik Timur Tengah. Dapat disebutkan disini faktor itu antara lain negara-negara besar seperti AS, Inggris, Uni Soviet dan Israel. (Asep Setiawan)

 

TEKS FOTO:

Rtr/Ant

 

NASIB PALESTINA –  Nasib Bangsa Palestina tetap menjadi isu inti

percaturan politik Timur Tengah. Pemimpin Organisasi Pembebasan

Palestina (PLO) Yasser Arafat tampil dalam sebuah wawancara hari

Minggu (4/8). Ia memihak Irak dalam Perang Teluk sehingga namanya

nyaris tidak dipercaya lagi oleh negara-negara Teluk.

 

 

KOMPAS, Selasa, 06-08-1991.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...
Newer posts →

Recent Posts

  • Bencana Alam di Sumatera: Pemicu dan Solusi Berkelanjutan
  • Statecraft 3.0: AI dan Masa Depan Diplomasi
  • Perang Dagang Amerika-China 2025: Analisis Implikasi terhadap Ekonomi Asia Tenggara
  • Strategi Palestina Pasca Pengakuan Internasional
  • Perjuangan Palestina: Dari Pengakuan ke Kedaulatan Efektif

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Academic Profile
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Subscribe Subscribed
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d