• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: teori

Bunga Rampai Hubungan Internasional

24 Tuesday Nov 2009

Posted by Setiawan in Archives, Foreign Policy

≈ Leave a comment

Tags

BUnga Rampai HI, ebook, Hubungan Internatsional, politik luar negeri, teori

{{fr}}Carte vierge de l'Asie {{en}}Asia Blank map
Image via Wikipedia

Bunga Rampai Hubungan Internasional merupakan free ebook yang disusun dalam beberapa tahun ini. Tampilannya masih sederhana namun diharapkan bisa membantu mahasiswa dan peminat Hubungan Internasional mencari sandaran terori politik luar negeri.Cuplikan Ebook sederhana antara lain menyangkut pendekatan politik luar negeri khusus negara berkembang.

Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri . Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan observasi.Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat – termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri – mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga.Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut-sebut “kurang berkembang” atau “tidak berkembang”. Namun demikian studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak.

Selengkapnya bisa baca di Bunga Rampai Hubungan Internasional

Reblog this post [with Zemanta]

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Perspektif-perspektif dalam Hubungan Internasional

21 Tuesday Oct 2008

Posted by Setiawan in Global Politics

≈ 2 Comments

Tags

hubungan internasional, kerangka konseptual, pendekatan, teori

                       Perspektif-Perspektif   Hubungan Internasional

 

                       Oleh :   Asep Setiawan

 

I. PENDAHULUAN

     Berbagai  perspektif teori hubungan internasional  selama  abad ini  memperlihatkan  pengaruh Perang Dunia I, Perang  Dunia  II  dan Perang  Dingin.  Perspektif  itu  lahir  dalam  konteksnya   sendiri sehingga dapat dilihat bahwa ada persepektif yang sudah  ketinggalan tapi  juga  ada  perspektif yang masih bisa hidup  dalam  era  pasca Perang Dingin ini.

     Makalah ini bertujuan untuk menjelajah berbagai perspektif yang muncul dalam hubungan internasional. Sedikitnya ada enam  perspektif seperti  diungkapkan Charles Kegley yang akan dikaji  yakni  Current History,  Idealisme  Politik,  Realisme  Politik,  Aliran   perilaku (behavioralism), Neorealisme dan Institusionalisme neoliberal

 

I. CURRENT HISTORY

     Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan  intelektual sebagian  besar dipengaruhi fenomena abad ke-20.  Akar-akar  sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.

     Sejarah  diplomatik  merupakan  salah  satu  pendekatan   untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian  sejarah, bukan   eksplanasi  teori.  Untuk  kemudahan,  aliran  ini   disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.

     Lingkungan  pada  awal abad ketika lahirnya  studi  HI  dimulai dengan optimisme. Banyak orang yakin bahwa perdamaian dan kemakmuran akan  hadir. Hukum internasional menguat dan  konferensi  perdamaian Den  Haag 1899 dan 1907 dipicu oleh harapan bahwa persenjataan  bisa

diawasi dan Eropa  takkan mengalami perang lagi.

     Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah mulai 1914.  Pengalaman menyakitkan ini melahirkan  pencarian  pengetahuan mengenai  sebab-sebab  perang, misalnya, dalam konteks  teori.  Oleh karena  itulah para pengambil kebijakan dan pakar memerlukan  sebuah

teori untuk meramalkan pecahnya perang dan bagaimana mencegahnya.

    

II. IDEALISME POLITIK

     Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma  dalam studi  HI.  Sejumlah perspektif HI berusaha menarik  perhatian  para peminatnya  pada  periode  ini.  Meskipun  demikian  aliran  current history masih memiliki pengikutnya.

     Secara  kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang  sama seperti :

1.      Yakin  bahwa fitrah manusia adalah “baik”.  Oleh  karena  itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.

2.      Perhatian  fundamental  manusia  terhadap  perang   memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti keyakinan kaum  Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.

3.   Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat  tetapi   lembaganya  

yang  buruk  dan  pengaturan  struktural   yang memotivasi  orang  untuk bertindak egois      dan merusak  yang  lainnya, termasuk perang.

4.  Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah  dengan menghapuskan lembaga yang

mendorongnya.

5.  Perang  adalah  masalah  internasional  yang  memerlukan   usaha

     kolektif  atau multilateral dan bukannya usaha nasional  saja,  oleh

      sebab itulah

6.  Masyarakat  internasional harys mengakui usaha  untuk  menghapus

     institusi yang mendorong terjadinya perang.

 

III. REALISME POLITIK

     Perspektif  Realisme  lahir dari  kegagalan  membendung  Perang Dunia  I  dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang  Dunia  II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

     Pandangan-pandangan  yang  jadi fundasi  aliran  ini  posisinya berseberangan  dengan  mereka  yang  menganut  idealisme.  Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.

 

 

IV.PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)

  
  
Aliran  realisme  klasik  menyiapkan  secara  serius  pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan kaitan empiris. Namun  demikian ketidakpuasan  karena  kurangnya data, reaksi  tandingan,  kesulitan dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an.

     Disebabkan   pendekatan   perilaku  terhadap   studi   hubungan internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.

     Aliran  Perilaku  dalam  hubungan  internasional  bagian   dari gerakan  besar  yang menyebar dalam ilmu-ilmu  sosial  secara  umum. Sering    disebut   pendekatan   ilmiah    (scientific    approach), behavioralisme  menantang  model-model yang  ada  dalam  mempelajari perilaku    manusia   dan   basis   teori-teorinya   yang    disebut tradisionalisme.

     Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai prinsip-prinsip  dan prosedur yang paling tepat dalam  meneliti  hasil-hasil fenomena  internasional.  Debat itu berpusat pada  makan  teori  dan syarat-syarat teori yang memadai dan metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.

     Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut  perilaku dan  kubu  tradisionalis  sangat  hangat.  Memang  benar   “berteori mengenai  teori” dan berteori tentang hubungan internasional  sering bercirikan  perdebatan. Literatur pada periode ini  diwarnai  dengan isu-isu metodologis, bukannya masalah substantif.

     Asumsi  yang  sama dan preskripsi analitik merupakan  ini  dari gerakan perilaku. Aliran Perilaku mengusahakan generalisasi  seperti hukum  mengenai fenomena internasional. Yakni,  pernyataan  mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi waktu dan tempat.

     Ilmu,  kata  kaum penganut perilaku, adalah  aktivitas  membuat generalisasi.  Oleh  sebab  itu  tujuan  penelitian  ilmiah   adalah menemukan  pola-pola  ajeg  perilaku  antar  negara  dan   penyebab-penyebabnya.

     Bertolak   dari   perspektif   ini   sebuah   teori    hubungan internasional harus berisi pernyataan hubungan antar dua atau  lebih variabel,  khusus  untuk  kondisi dimana  hubungan  berlangsung  dan menjelaskan mengapa hubungan itu bisa berlangsung.

     Untuk  menemukan  teori-teori itu,  penganut  perilaku  condong kepada  analisa komparatif lintas nasional tak hanya  sekedar  studi kasus  negara tertentu dalam waktu tertentu seperti  terlihat  dalam pendekatan Current History.

     Kubu  perilaku  juga  menekankan  perlunya  mengumpulkan   data mengenai  karakteristik  negara dan bagaiman berhubungan  satu  sama lain.  Oleh sebab itulah gerakan perilaku ini diwarani dengan  studi kuantitatif hubungan internasional.

    

V. PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL

   (THE NEOREALIST STRUCTURAL APPROACH)

 

     Pendekatan  realisme politik masih penting  sebagai  perspektif teoritis  yang  mendasari analisa masalah keamanan  nasional.  Namun juga  mendapat  popularitasnya setelah terbentuk  dalam  teori  umum politik   internasional  yang  disebut  neorealisme  atau   realisme struktural.

     Neorealisme  membedakan  antara  eksplanasi  peristiwa  politik internasional  di  tingkat nasional seperti  negara  yang  diketahui sebagai  politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di  tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori sistem.

     Apa  yang neorealis inginkan adalah  “mensistemasikan  realisme politik  kedalam  teoris  sistem yang kuat,  deduktif  dari  politik internasional.”

     Seperti   dikemukakan  Kenneth  M  Waltz  dalam  bukunya   yang berpengaruh  Theory  of International Politics (1979)  dan  dianggap sebagai  karya  utama pemikiran neorealis,  “struktur  internasional  muncul  dari intreraksi negara dan kemudian hambatan  yang  dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.”

     Seperti  dalam realisme klasik, anarki dan  ketiadaaan  lembaga sentral  (sebuah  pemerintah) menjadi ciri struktur  sistem.  Negara masih  menjadi aktor utama. Mereka bertindak sesuai  dengan  prinsip menolong diri sendiri dan semuanya mengusahakan agar bisa bertahan.

     Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak berbeda dalam   tugas-tugasnya   yang  dihadapinya.  Yang   berbeda   adalah kapabilitasnya.  Kapabilitas  mendefinisikan  posisi  negara   dalam sistem dan distribusi kapabilitas mendefinisikan sistem struktur.

     Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan  dalam struktur sistem seperti dari  konfigurasi  kekuatan multipolar ke bipolar atau dari bipolar menuju unipolar.

     Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme struktural. Namun  demikian, masalah merebut kekuasaan tak lagi dianggap  tujuan seperti  dalam realisme klasik. Hal itu juga tidak  dilihat  sebagai karakter manusia.

     Seperti  dijelaskan  Waltz, “negara berusaha  dalam  cara  yang lebih  kurang  masuk akal menggunakan cara yang ada  untuk  mencapai tujuan yang terjangkau”.

     Cara-cara  itu  digolongkan  dalam  dua  kategori  yakni  usaha internal  seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan  militer, mengembangkan  strategi  yang  lebih pintar  serta  usaha  eksternal seperti  memperkuat  dan  memperluas aliansi  atau  memperlemah  dan membubarkan aliansi musuhnya.

     Keseimbangan  kekuatan (balance of power) muncul  lebih  kurang secara  otomatis   dari  instink  untuk  bertahan.   “Kencenderungan keseimbangan  kekuatan untuk membentuk apakah sejumlah negara  semua negara   secara   sadar  bertujuan  membentuk   dan   mempertahankan keseimbangan  atau  apakah sejumlah atau beberapa  negara  bertujuan dominasi universal,” tulis Waltz (1979).

     Sekali sistem internasional terbentuk, sistem itu “akan menjadi kekuatan  yang  dimana unit-unit didalamnya  tak  mampu  mengontrol, sistem  itu membatasi perilaku mereka dan menempatkan mereka  antara niat mereka dan hasil dari tindakan mereka.”

 

 

VI. INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL

     Seperti    halnya   neorealis,    institusionalis    neoliberal menggunakan teori struktural politik internasional. Mereka  terutama berkonsentrasi  kepada sistem internasional, bukannya  karakteristik unit atau sub unit didalamnya.

     Namun  mereka  memberi  lebih  banyak  perhatian  cara  lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja  sama internasional. 

     Daripada  hanya  menggambarkan dunia  dimana  negara-negara  di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak  aman dan   terancam   oleh  yang  lainnya,   institusionalis   neoliberal membuktikan  syarat-syarat kerja sama yang mungkin  dihasilkan  dari kepentingan  yang  tumpang  tindih  diantara  entitas  politik  yang berdaulat.

     Sebagai  tambahan  dari  idealisme  klasik,  akar   intelektual pendekatan yang biasa disebut pula neoliberalisme dapat dilacak dari studi  integrasi regional yang mulai merebak pada tahun 1950-an  dan tahun  1960-an  saat  para pakar  berusaha  memahami  proses  dimana unifikasi politik negara bedaulat mungkin bisa dicapai.

     Usaha-usaha  untuk  menciptakan  lembaga baru  di  Eropa  Barat mendapat   perhatian   besar  bersamaan  dengan   meluasnya   aliran transaksi,   mendorong  Eropa  mengorbankan   sebagian   kemerdekaan kedaulatan dalam upaya menciptakan unit politik baru yang terpisah. Prestasi Eropa ini memberikan inspirasi bagi kawasan lainnya.

     Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu  kita

lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya.

 

1. Interdependensi yang kompleks (Complex Interdependence)

    sebagai sebuah Pandangan Dunia    

 

     Sebagai    sebuah   perspektif   analitik    yang    eksplisit, inderdendensi  kompleks (complex interdependence) muncul pada  tahun 1970-an  untuk  menantang  asumsi-asumsi  kunci  kerangka   teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.

     Pertama,  menantang asumsi yang ada bahwa negara  bangsa  hanya satu-satunya   aktor  penting  dalam  politik  dunia.  Lalu   mereka memperlakukan  aktor  lain  seperti  perusahaan  multinasional  dan bank-bank   transnasional  sebagai  “penting  bukan   karena   hanya kegiatannya  dalam  mengejar kepentingan mereka, namun  juga  karena

mereka   bertindak   sabuk  transmisi  sehingga  membuat   kebijakan pemerintah  di sejumlah negara lebih se
nsitif terhadap  negara  lain (Keohane dan Nye, 1988).

     Dalam pengertian ini, interdependensi kompleks  sebagai  sebuah “holistik”,  konsepsi sistem yang melukiskan politik  dunia  sebagai jumlah  interaksi banyak bagian dalam “masyarakat  global”  (Holsti, 1988).

     Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu keamanan nasional  mendominasi  agenda keputusan negara  bangsa.  Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik luar negeri menjadi “semakin luas  dan  beragam” karena jangkauan  luas  kebijakan  “pemerintah”, meskipun sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.

     Ketiga,  perspektif  yang dipertikaikan  dalam  konsep  populer bahwa  kekuatan militer satu-satunya alat dominan dalam  menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya diantara negara  industri dan masyarakat demokratis di Eropa dan Amerika Utara.

 

2. Rejim-rejim internasional

 

     Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter  anarkis, sifatnya  dapat  lebih  dikonseptualisasikan  sebagai  anarki   yang tertib  dan sistem secara keseluruhan sebagai  “masyarakat  anarkis” karena  kerja sama, bukan konflik, sering hasil yang  dapat  diamati dalam hubungan antar negara.

     Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur dan  aturan  yang  terlembagakan untuk  manajemen  kolektif  masalah kebijakan  global  dapat dibentuk dan  dipertahankan  ?  Kepentingan dalam masalah itu muncul dari dua tujuan motivasi kebanyakan  analis neoliberal.  Pertama,  “keinginan memahami  seberapa  jauh  hambatan bersama  mempengaruhi  perilaku negara”.  Kedua,  kepentingan  dalam merancang  strategi  untuk menciptakan “tatanan  dunia”  yang  lebih tertib.

     Menuru  sebuah definisi, rejim adalah sistem  terlembaga  kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner (1982) menjelaskan, “ini adalah pemasukan   perilaku  dengan  prinsip  dan  norma  yang   membedakan aktivitas  rejim  yang diperintah dalam  sistem  internasional  dari aktivitas  yang  lebih  konvensional oleh  kepentingan  sempit  yang terukur”.  Oleh karena itu esensi dari sebuah rejim  adalah  terdiri dari “sistem aturan perilaku internasional”.

     Sistem  moneter  global dan sistem  perdagangan  yang  tercipta setelah  Perang Dunia II merupakan ekspresi jelas  dari  rejim-rejim internasional.

 

3. Teori Stabilitas Hegemoni

 

     Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis  neoliberal, aktor-aktor  non  negara memainkan peran penting  dalam  kerja  sama internasional  yang menjadi karakter Tatanan  Ekonomi  Internasional Liberal.

     Perspektif  ini  juga mengajak memperhatikan  peran  menentukan kekuatan  besar Amerika Serikat dalam mempromosikan  stabilitas  dan operasi efektif rejim moneter dan perdagangan pasca Perang Dunia II.

     Masalah  yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya  kekuasaan AS  seperti dipersepsikan banyak pihak tehadap lembaga  rancangannya untuk  mendorong  kerja  sama  internasional  ?  Apakah   menurunnya pengaruh itu bisa menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang  muncul  sejak  1970-an  ?  Masalah-masalah  inilah  yang  jadi perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas hegemoni.

     Teoritisi  stabilitas  hegemoni  membedakan  definisi  hegemoni dengan  menekankan  kapasitas kekuatan militer  untuk  mengendalikan tatanan  dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk  menentukan  dan mendikte   aturan  yang  mengendalikan  perdagangan,  keuangan   dan investasi internasional.

     Dalam  konteks institusionalisme neoliberal,  teori  stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan  perang dan   damai   namun  menerangkan   mengapa   negara-negara   penting (hegemonik)  di hirarki tertinggi (seperti AS setelah  Perang  Dunia II) termotivasi mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan  

yang tak hanya menguntungkan diri tapi juga negara lain.

    

    

VII. KESIMPULAN

     Untuk  memahami perubahan dunia sekarang dan  membuat  prognosa yang  masuk  akal  tentang  masa  depan,  kita  pertama-tama   perlu melengkapi  dengan pengetahuan secukupnya dan alat-alat  konseptual, interpretasi  yang  bertentangan  mengenai  cara-cara  melihat  p
eta politik dunia dan masalah dari asumsi-asumsi cara pandang dunia ini.

     Seperti  kita  bahas sebelumnya, ada sejumlah  alternatif  yang kadang-kadang  saling melengkapi dalam mengorganisasikan  perspektif teoritis tentang hubungan internasional.

     Alasannya jelas. Masalah hubungan internasional, problem global adalah  salah  satu bagian yang kompleks dan berat  yang  tak  dapat direduksi menjadi penilaian yang tunggal dan sederhana.

 

 

 

 

                           DAFTAR PUSTAKA

 

1. Sudarsono, Juwono dkk, Perkembangan Studi Hubungan Internasional,

               Jakarta, Pustaka Jaya 1996

2. Masoed, Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional, Jakarta, LP3ES,

               1994

3. Groom, AJR, Contemporary International Relations: A Guide to

               Theory, London, Pinter, 1994.

4. Dougherty, James E and Robert L Pfaltzgraff Jr, Contending

              Theories of International Relations, Philadelphia, JB

              Lippincot Company, 11971

5. Viotti, Paul R and Mark V Kauppi. International Relations Theory:

              Realism, Pluralism, Globalism. London, MacMillan

              Publishing Company, 1993

6. Kegley, Charles et.al., World Politics. New York, St. Martin’s

              Press, 1993.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Evolusi Teori Propaganda

21 Tuesday Oct 2008

Posted by Setiawan in Global Politics

≈ Leave a comment

Tags

politik, propaganda, teori

 

 

 

Evolusi Teori Propaganda

 

Oleh  Asep Setiawan

 

Pendahuluan

            Jejak arkeologis dari peradaban kuno telah memperlihatkan peninggalan berharga seperti baju, istana, patung dan berbagai catatan tertulis. Sejumlah peninggalan tertulis seperti Analects karya Kong Hu Cu merupakan  ringkasan prestasi penguasa yang digunakan untuk memobilisasi dukungan rakyat. Prestasi penguasa itu dipaparkan secara berlebihan sehingga muncul mitos dan berbagai kepercayaan di kalangan massa akan kehebatan dan keperkasaan para penguasa.

            Kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang berasal dari kitab-kitab peninggalan lama menunjukkan teknik propaganda telah lama dipakai dalam berbagai peradaban. Penguasa merasa berkepentingan untuk membangun citra dirinya dihadapan rakyatnya. Bila citra agung telah ditetapkan dalam berbagai catatan yang boleh diketahui rakyat maka penghormatan dan otoritasnya dipercaya akan menguat.

            Dalam berbagai penemuan sejarawan, terbukti bahwa tidak semua penguasa peradaban lama bebas dari bentuk-bentuk sifat jahat dan otoriter. Sifat diktatorial sering muncul dalam diri penguasa lama meskipun telah digambarkan sebagai penguasa yang adil dan jujur. Kontras antara sifat penguasa yang ternyata kejam dengan gambaran tertulis bahwa penguasa itu adil merupakan sebuah bukti bahwa para penguasa lama dan demikian juga terlihat dari penguasa modern ingin dilukiskan sebagai raja atau penguasa yang baik.

            Artikel ini akan mengulas perkembangan teoritis tentang propaganda yang dimulai dari jaman Yunani.

 

Teori Lama

            Studi secara sistematik yagn dilakukan di Barat terhadap teori-teori propaganda dimulai dengan perkembangan di Athena pada tahun 500 SM. Saat itu studi tentang propaganda disebut sebagai retorika yang berarti “teknik-teknik para orator”.

            Trik-trik menggunakan bahasa yang mantap diwarnai dengan humor, ditambah dengan argumen yang logis dipraktekan para pengacara, demagog dan politisi. Para guru etika seperti Isocrates, Plato dan Aristoteles menyimpulkan retorika sebagai :

1.      Membuat argumen mereka dan para siswanya lebih persuasif.

2.      Mendesain propaganda tandingan yang dilontarkan musuhnya

3.      Mengajari siswanya bagaimana mendeteksi logika yang salah dan seruan emosional demagog.

 

 

Para pengkaji soal retorika juga telah mengkaji apa yang sekarang disebut sebagai masalah kredibilitas sumber. Misalnya apa yang dikatakan pembicara atau upaya meyakinkan bahwa ia menceritakan kebenaran dan  berniat baik.

            Di peradaban lain ternyata terdapat pula hal yang sama. Di India kuno, Budha dan di Cina kuno, Kong Hu Cu – seperti halnya Plao, menggunakan sesuatu yang dapat dipercaya, retorika “baik” dan bentuk yang “pantas” dalam menulis dan berbicara sebagai alat untuk membujuk manusia.

            Menjelang tahun 400 SM di India, Kautilya seorang Brahmana yang diduga menteri besar dalam Kekaisaran Candragupta Maurya menulis Arthashastra (Prinsip-prinsip Politik), sebuah bukun nasihat bagi para penguasa yang sering dibandingkan dengan Republic karya Plato dan The Prince karya Machiavelli.

            Kautilya membahas penggunaan perang psikologis baik yang tebuka maupun rahasia dalam upaya mengganggu militer musuh dan merebut ibu kota. Ia menulis bahwa propagandis raja harus menyatakan  bahwa ia bisa mempraktekan sihir, Dewa dan orang-orang bijaksana di pihaknya dan bahwa semua orang mendukung tujuan perangnya yang akan meraih manfaat. Dalam cara-cara rahasia, agen-agen propagandis harus menyusup ke kubu musuh untuk menyebarkan berita yang salah diantara rakyat di ibu kota, diantara kalangan pemimpin dan militer.

            Nasihat yang sama juga dilontarkan oleh Sun Tzu dalam karyanya Ping-fa (The Art of War) yang menulis pada periode sama. “Semua perang”, katanya. “berdasarkan pengelabuan. Oleh karena itu, ketika mampu menyerang, kita harus terlihat tidak berdaya, ketika kita menggunakan kekuatan, kita harus terlihat tidak aktif, ketika kita dekat, kita harus membuat percaya bahwa kita sangat jauh, ketika kita berada jauh, kita harus membuat mereka yakin kita dekat. Tahan musuh, munculkan kekakaucan dan serang mereka”.

           

Teori Modern

            Teori-teori modern tentang propaganda mulai muncul kembali setelah Revolusi Industri yang dimulai dengan pemanfaatan untuk meraih untung sebanyak-banyak dari produksi massal. Pada abad ke-20 para peneliti mulai mengadakan studi tentang motivasi pembeli dan responsnya terhadap berbagai penawaran, iklan dan teknik marketing lainnya.

            Sejak 1930-an sudah ada “survai konsumen” seperti survai opini publik. Hampir setiap variabel yang mempengaruhi opini, keyakinan, sifat-sifat yang sugestif dan perilaku konsumen dari berbagai kelompok, sub kelompok dan budaya di beberapa negara besar telah diteliti.

            Sebelumnya pada awal 1920-an, telah berkembang kesadaran diantara para pengkritik bahwa perpanjangan dari Pemilu dan daya beli yang meningkat  sampai kepada masyarakat biasa telah dimanfaatkan oleh para demagog dan propagandis yang menggunakan mitos,cerita-cerita dan imbauan yang utopis.

            Studi lebih lanjut pula muncul seperti ditulis ilmuwan Amerika Harold D Lasswell dalam karyanya Propaganda Techinuque in the World wAr. Buku ini melukiskan dan menganalisa propaganda secara besar-besaran yagn dilakukan negara yang bermusuhan pada Perang Dunia I. Kemudian muncul pula studi propaganda komunis dan berbagai bentuk komunikasi. Dalam beberapa tahun kemudian banyak ilmuwan sosial disamping sejarawan, wartawan dan psikolog yang melahirkan berbagai bentuk publikasi yang menganalisa propaganda militer, politik dan komersial. Pada Perang Dunia II dan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, banyak peneliti dan penulis melakukan propaganda.

     
      

Penutup

            Pada perjalanan sejarah teori-teori propaganda terlihat adanya satu benang merah tentang dasar-dasar yang menjadi teori propaganda. Di satu pihak ada kelompok yang berusaha membentuk pikiran massa demi keuntungan penguasa atau mereka yang memiliki akses terhadap kekuatan ekonomi dan militer. Merekalah yang merancang berbagai teori dan konsep untuk melakukan propaganda.

            Di sisi lain terdapat obyek yang jadi sasaran dari propaganda. Mereka inilah yang merupakan kelinci percobaan berbagai teori lama maupun modern. Dalam alam modern maka teori propaganda digunakan baik di bidang militer, ekonomi maupun politik. Meskipun demikian banyak kritik dilontarkan terhadap kelompok yang memanfaatkan rendahnya pendidikan masyarakat demi keuntungan mereka yang berkuasa. ***

 

            

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • An Analysis of Current Indo-Pacific Dynamics
  • Challenges Faced by Journalism
  • Role of Indonesia in Shaping Indo-Pacific
  • In Seeking Global Supremacy in Technology: A Case of Rivalry The US-China
  • Ninik Rahayu dan Asep Setiawan Lengkapi Kepengurusan Dewan Pers 2022-2025

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Follow Following
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: