• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Category Archives: Commentary

ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI TIMUR TENGAH  

02 Tuesday Jun 2020

Posted by Setiawan in Commentary, Journal Articles, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

Arab Spring, Timur Tengah

ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI TIMUR TENGAH

 

Oleh Asep Setiawan

 Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: الثورات العربية‎, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir;  perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain,  Suriah,  and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat.[1]

Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah. Slogan pengunjuk rasa di dunia Arab yaitu Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (“Rakyat ingin menumbangkan rezim ini”).

Serangkaian protes dan demonstrasi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara telah dikenal luas dengan sebutan “The Arab Spring dan kadang “Musim Semi dan Dingin Arab”, “Kebangkitan Arab” atau “Pemberontakan Arab” meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.

Rangkaian ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18 Desember 2010 setelah pembakaran diri Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsi polisi dan perawatan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain, dengan unjuk rasa terbesar dan paling terorganisir terjadi pada “hari kemarahan”, biasanya hari Jumat setelah salat Jumat. Protes ini juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.

Per Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi tanggal 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia, dan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Selama periode kerusuhan regional ini, beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir.

Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014, meski unjuk rasa semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Protes di Yordania juga mengakibatkan pengunduran diri pemerintah sehingga mantan Perdana Menteri and Duta Besar Yordania untuk Israel Marouf al-Bakhit ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Raja Abdullah dan ditugaskan membentuk pemerintahan baru.

Pemimpin lain, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman, mengumumkan pada 23 April bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu 30 hari dengan imbalan kekebalan hukum, sebuah persetujuan yang diterima oposisi Yaman secara tidak formal pada 26 April; Saleh kemudian mengingkari persetujuan ini dan semakin memperpanjang pemberontakan di Yaman. Pemimpin Libya Muammar al-Gaddafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi.

Dampak protes ini secara geopolitik telah menarik perhatian global, termasuk usulan agar sejumlah pengunjuk rasa dicalonkan untuk menerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011.Tawakel Karman dari Yaman merupakan salah satu penerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011 sebagai salah seorang pemimpin penting dalam Musim Semi Arab.

 

Sebab dan Implikasi Arab Spring

Sebelum The Arab Spring bergejolak, ketiga negaranegara Arab tersebut (Tunisia, Mesir, dan Suriah) mempunyai beberapa kesamaan kondisi sosial ekonomi dan politik yang mempengaruhi The Arab Spring bergejolak. [2]

Pertama, ketiga negara tersebut masing-masing dipimpin oleh pemimpin otoriter yang berkuasa cukup lama serta pemimpin yang meraih kekuasaan dengan tidak melalui proses pemilihan yang demokratis. Di Tunisia, Ben Ali berkuasa sejak tahun

1987 melalui kudeta tidak berdarah. Ben Ali mengkudeta Habib Bourguiba setelah dia diangkat menjadi Perdana Menteri satu bulan sebelumnya.

Di Mesir, Hosni Mubarak menjadi Presiden Mesir pada tahun 1981 setelah Anwar Sadat terbunuh, sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Di Suriah, perjalanan Bashar al-Assad untuk menjadi

Presiden Suriah karena menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal pada 10 Juni 2000. Jauh sebelum Hafez al-Assad meninggal dunia, Bashar alAssad sebenarnya sudah dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua. Tariq Ramadan menambahkan bahwa rezim kediktatoran di negara-negara Arab sudah cukup lama memerlihatkan dirinya pada dunia sebagai kejahatan yang penting (a necessary evil), sebagai benteng pertahanan melawan kebangkitan gerakan politik Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah secara lebih luas (Barakat: 13).

Kedua, ketiga negara tersebut membangun rezim politik dengan sistem satu partai; di Tunisia, Ben Ali menguasai panggung politik dengan Rassemblement Constitutionnel Demoecratique (RCD), di Mesir, Mubarak125 berkuasa bersama dengan partai Hizbul Wathan (HW), di Suriah, al-Assad menguasai panggung politiknya dengan dominasi partai Ba’ath. Ketiga, negara-negara tersebut mempunyai banyak catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta membatasi ruang berekspresi kepada rakyatnya, termasuk dengan tidak adanya kebebasan pers. Keempat, krisis ekonomi dan pengangguran melanda rakyat yang dipimpinnya serta meningkatnya tingkat pengangguran. Hussein A. Hassouna juga mencatat bahwa mayoritas negaranegara Arab adalah negara sedang berkembang yang mana tingkat buta hurufnya sangat tinggi. Data pada tahun 2009 menunjukkan bahwatingkat buta huruf di Tunisia m encapai angkat 22,3, Mesir mencapai angka 33,6, dan Suria berada pada angka 16,9.

Oleh karena itu, gerakan massa yang berlangsung di negara-negara Arab mempunyai karakteristik yang sama, yaitu protes melawan kondisi sosial dan ekonomi, menolak kediktatoran, dan berjuang melawan korupsi. Nadar Hashemi juga melihatnya demikian. Menurutnya The Arab Spring merupakan kelanjutan dari perjuangan dan pencarian panjang dari dunia Arab yang mayoritas Islam untuk dapat menentukan dirinya sendiri, lepas dari cengkeraman, baik dari luar (asing) maupun dari kekuatan otoritarian internal sendiri (the Arab Spring is the continuation of a longer struggle and quest by the ArabIslamic world for self-determination from both external and internal authoritarian forces).

Kondisi kemiskinan, pengangguran yang dirasakan sejak zaman kolonialisme hingga sekarang masih dialami. Padahal kawasan Timur Tengah memiliki sumber daya alam minyak yang melimpah. Sementara negara-negara tetangga mereka di kawasan Eropa telah menikmati kemakmuran di abad ke-20. Rata-rata pendapatan per kapita rakyat di kawasan Timur Tengah 2 dolar per hari.

Kekayaan alam memang dikelola oleh negara, namun dikuasai oleh segelintir orang yang dekat dengan penguasa, termasuk aset-aset negara yang berupa perusahaan dan badan usaha. Sehingga kekayaan itu hanya menumpuk pada penguasa dan orang-orang yang dekat dengannya. Berangkat dari situasi sosial dan ekonomi politik yang terjadi dari ketiga negara tersebut, dapat dikatakan bahwa bergejolaknya The Arab Spring yang masih berlangsung hingga hari ini sebagai puncak dari gunung es akan harapan rakyat untuk hidup dengan kebebasan (demokratis).

Hidup dalam tekanan, penderitaan, dan penyiksaan oleh rezim yang sewenangwenang yang terjadi pada diri Mohammed Bouazizi sebenarnya dirasakan langsung oleh rakyat Tunisia pada umumnya dan rakyat negara-negara Arab secara lebih luas. Oleh karena itu, gejolak The Arab Spring yang menjadi awal untuk mengakhiri rezim otoritarianisme dan bangkitnya ekspektasi publik untuk kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi oleh ketiga negara tersebut.

Dalam membaca gerakan perlawanan oleh rakyat negara-negara Arab sejak 2011 lalu, L. Wilardjo memberikan analogi yang cukup menarik bahwa balon yang ditekan terus akhirnya meletus. Demikian pula masyarakat yang ditindas terus oleh penguasa akhirnya tidak tahan lagi, lalu pecahlah perlawanan. Teori Ign. Ismanto membenarkan hal tersebut. menurut Ismanto, setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi berakhirnya rezim otoritarian, yaitu

  1. Tekanan demokratisasi dari elemen-elemen yang berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi.
  2. Krisis ekonomi.

Dalam teori perubahan sosial, The Arab Spring ini merupakan perubahan sosial yang datangnya dari free market (pasar bebas), bukan perubahan yang dating dari negara yang mana kita ketahui bahwa perubahan sosial itu merupakan keniscayaan. Membahasa perubahan social itu sendiri tidak dapat lepas dari konteks filsafat barat, yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya.

Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa faktor bergejolaknya The Arab Spring sejak awal Januari 2011 lalu karena dua hal.

Pertama, kelompok-kelompok intelektual yang bergerak untuk perubahan rezim (untuk demokrasi) sudah lama tumbuh dan terus bergerak untuk membangun kesadaran masyarakat. Selain itu, inisia inisiatif untuk membangun sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara yang demokratis di negaranegara Arab sudah dilakukan, baik itu datangnya dar pihak luar (asing) maupun dari internal. Hal itu terlihat bahwa pada tahun 1994, Liga Arab telah menerima Piagam Hak Asasi Manusia/human right charter. Langkah ini merupakan salah satu upaya untu membangun sistem pemerintahan yang terbuka (transparan), akuntabel, dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik Maka dari itu, Nader Hashemi berpandangan bahwa The Arab Spring memungkinkan untuk diistilahkan “Fourth  wave of Democratization”, sebagai gelombang keempat demokratisasi .

Kedua, peran media massa. Peran media, selain peran intelektual, sangatlah besar dalam gejolak The Arab Spring di negara-negara Arab yang berlangsung sejak awal 2011 lalu. Karena media memainkan peran kunci itulah sehingga beberapa pengamat menyebutnya dengan istilah “Internet revolutions”. Media massalah yang berfungsi secara efektif dan massif menyampaikan protes dari rakyat terhadap rezim Ben Ali di Tunisia ke seluruh negara-negara Arab, bahkan
dunia. ***

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_dunia_Arab

[2] Ahmad Sahide, Syamsul Hadi, Siti Muti’ah Setiawati dan Bambang Cipto.2015.”The Arab Spring: Membaca Kronologi dan Faktor Penyebabnya”. Jurnal Hubungan Internasional, Vol 4. No 2.

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Coronavirus Pandemic and Changing of Global Politics

01 Friday May 2020

Posted by Setiawan in Commentary, International Relations

≈ Leave a comment

Tags

china, corona virus, covid-19, Global Politics, pandemic

Some scholars view that corona virus pandemic has influence the way global politics on process. The changes would be in interaction among countries, organization and even people. Countries’ s border as can be seen nowadays already in very tight supervision. One of implication of border issues is no regular flight in and out in easy way.

Transportation is one field which already felt it. Several airlines in the world even the most profitable one should adjust the new situation. After five month since January when covid-19 was still in China, some airlines has talked on reducing its staff. Some airline companies has grounded most of its air fleet.

Other implication of Covid-19 is related to economic situation at almost all countries. As transportation restriction become common in the world, goods traffic are also on halted. Export and import of manufacturing good except essential one like food and medicine might decline more than 50%. It means that export countries could send their product and in same time importing country could received regular product.

In one side, relations among countries mostly depend on importance of issues and needed. Political issues among countries might in less important compare to survival measures in every countries to keep Covid-19 contained and to make people secure. It could be solidarity in the world in raised compare to conflict mood.

However, one of prediction of Covid-19 is the raising of China in world scene. The China – origin of Covid-19 – in very short time could contain and recover from the disease. At least the China’s decisive responses to the pandemic has gave the country ability to maneuver in the world. For example, global diplomacy of China has helped it to establish image as strong and capable country. In this particular situation, China seems be viewed as winner one compare with US, for example. ***

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Musim Semi Demokrasi di Myanmar

14 Friday Dec 2018

Posted by Setiawan in Commentary, International Relations

≈ Leave a comment

Tags

Democracy, Myanmar

Musim Semi Demokrasi di Myanmar

Oleh Asep Setiawan

 

Setidaknya setelah 25 tahun sistem politik Myanmar dibelenggu oleh junta militer, kini angin demokrasi mulai berhembus di negeri ini. Pemilu 1990 merupakan pesta demokrasi terakhir Myanmar karena kemudian kemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung Suu Kyi dicekal kemenangannya. Sesudah itu masa kelam kehidupan politik Myanmar tidak pernah lagi melihat cahaya harapan bahkan di bidang ekonomi pun terpuruk.

Kini Myanmar memasuki musim semi demokrasi dimana elit politik yang berkuasa memberikan peluang adanya pemilihan umum 8 November nanti. Bahkan persiapan untuk pemilu dilakukan secara serius agar Myanmar melampui perjalanan sejarahnya sejajar dengan negara-negara tetangganya. Selama ini Myanmar dikucilkan oleh Barat dan hanya dibela negara-negara Asia Tenggara.

Penyebabnya tidak lain adalah sikap otoriter terhadap oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi, putri salah satu pendiri negeri itu Jenderal Aung San. Suu Kyi diperlakukan keras bahkan dikenai tahanan rumah sampai 15 tahun dari 21 tahun penahanan aktivitas politiknya. Nobel Perdamaian pun mampir kepadanya ketika masih dalam tahanan rumah tahun 1991.

Jika 25 tahun terakhir Myanmar masih mencari bentuk lanskap politiknya, kini pemilu yang demokratis sepertinya menjadi pilihannya. Perjalanan Myanmar ke arah demokrasi ini tentu melegakan sembilan anggota ASEAN karena selama inilah mereka yakin suatu saat kehidupan demokratis akan sampai ke Myanmar. Sebaliknya Barat tidak yakin pendekatan ASEAN akan mujarab untuk mendorong demokrasi di Myanmar.

Keberatan Barat terhadap militer Myanmar yang sering disebut Tatmadaw bisa dipahami. Sejak kemerdekaan 1948, Tatmadaw sudah menguasai negeri ini. Ancaman permberontakan dari suku minoritas menyebabkan militer selalu memiliki dalih untuk tetap berkuasa. Bahkan saat transisi diumumkan 2011 oleh Thein Sein, Myanmar masih harus dikendalikan oleh junta militer meski bajunya diganti menjadi pejabat sipil.

Semangat partisipasi

Pada awal musim kampanye awal September, Aung San Suu Kyi menyerukan masyarakat internasional agar menjamin terjadinya perubahan politik dan pemerintahan yang sejati. “Untuk pertama alinya dalam beberapa dasa warsa ini rakyat memiliki peluang nyata membawa perubahan,” kata Suu Kyi dalam pesan yang disiarkan LND.

Semangat partisipasi 30 juta rakyat dalam pemilu kali ini diperlihatkan dengan hadirnya 92 partai politik. Demikian juga kandidat independen yang akan mengisi badan legislatif sudah cukup besar jumlahnya mencapai 6.189 orang.

Komisi Pemilihan Umum Myanmar sudah meloloskan 1.772 calon untuk lembaga Pyithu Hluttaw, institusi setingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan untuk lembaga Amyotha Hluttaw yang setingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat di Indonesia, KPU Myanmar meloloskan 913 calon. Selain untuk mengisi lembaga legislatif tingkat nasional, sekitar 3.300 calon untuk lembag legislatif daerah juga telah disahkan komisi pemilihan umum.

Parlemen Myanmar sendiri terdiri dari dua kamar yakni Majelis Tinggi yang dipegang Amyotha Hluttaw dan Majelis Rendah Pyithu Hluttaw. Namun demikian militer masih mempertahankan eksistensinya di parlemen. Berdasarkan konstitusi Myanmar, 75 persen anggota parlemen dipilih rakyat sedangkan 25 persen sisanya ditunjuk oleh militer. Jadi kalau total jumlah anggota Pyitu Hluttaw setingkat DPR 440 orang maka sebanyak 110 diantaranya diperuntukkan militer. Sementara itu lembaga setingkat MPR atau Amyotha Hluttaw akan diisi oleh 224 anggota yang 56 diantaranya sudah dialokasikan untuk wakil dari militer.

Komposisi anggota di parlemen ini seperti ini seolah-olah merupakan pesan kepada dunia bahwa bagaimanapun langkah demokrasi Myanmar melalui pemilu, militer masih memegang kunci penting. Dengan kata lain, militer tidak akan membiarkan bebas Myanmar mengikuti kehendaknya dalam jalur demokrasi apalagi didikte oleh asing.

Atmosfir demokrasi yang mulai tumbuh di Myanmar bukan tanpa hambatan. Kepentingan elit militer masih menjadi bahan pertimbangan terhadap peran para politisi. Keistimewaan yang selama ini dinikmati oleh militer akan berkurang dan ini bisa menimbulkan konflik internal. Namun karena keterbukaan ekonomi dan politik yang sudah dimulai setidaknya dalam lima tahun ini memberikan peluang bahwa semangat berdemokrasi di Myanmar akan menghasikan sistem politik yang kuat.

Persoalan yang muncul di kalangan pemilih adalah tidak diakomodasinya etnik minoritas. Ratusan ribu warga dari etnik Rohingya ditolak hak pilihnya. Etnik Rohingnya yang tinggal di negara bagian Rakhine ini umumnya beragama Islam. Tampaknya Myanmar masih menghadapi masalah bagaimana menghadapi etnik minoritas termasuk dengan Karen.

Persaingan tingkat elit

Adanya persaingan yang terbuka diantara elit politik sudah terlihat. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi berkoalisi dengan tokoh pro reformasi yakni Shwe Mann, ketua parlemen dan tokoh senior nomor tiga di rejim sekarang. Namun jabatan Shwe Mann sebagai pejabat partai yang berkuasa telah dicopot. Padahal Shwe Mann sudah lama diramalkan sebagai pengganti Presiden Thein Sein.

Koalisi Suu Kyi-Shwe Mann ini juga membuat dinamika politik Myanmar menarik. Selain akan menambah kekuatan bagi Suu Kyi karena Shwe Mann tidak lain adalah manta anggota junta militer yang pro reformasi. Kekuatan politik LND akan semakin solid dengan kehadiran mantan penguasa itu.

Namun elit penguasa kini menggunakan kendaraan Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer. Bahkan sebagian dari pengurus USDP adalah mereka yang menjadi pentolan dalam junta militer belakangan ini. Kehadiran USDP ini akan menjadi perhatian peninjau pemilu karena sudah ada dugaan bahwa pesta demokrasi nanti akan disusupi mereka yang berbuat curang dalam penghitungan suara.

Presiden Thein Sein yang diperkirakan masih akan berkuasa lagi masih menunjukkan kekuatan yang kukuh. Kebijakannya yang pro reformasi akan menjadi salah satu kekuatannya. Sejauh ini di bidang politik dia sudah mencabut sejumlah pembatasan baik di bidang media maupun pers. Bahkan di sektor ekonomi, Myanmar menyambut investor asing. Dengan kata lain Thein Sein lah yang telah membawa perubahan banyak terhadap postur politik dan ekonomi Myanmar kini, bukan Suu Kyi. Namun tentu nama Suu Kyi lebih diharapkan daripada Thein Sein yang berlatarbelakang militer.

Kalau pemilu sela tahun 2012 dijadikan sebagai sebuah indikator kebangkitan oposisi maka pemilu mendatang bisa jadi Aung San Suu Kyi dan pendukungnya meraih kemenangan pula. Dalam pemilu sela 2012, Suu Kyi memenangkan kursi di Kawhmu. Bahkan Liga Nasional Demokrasi yang dipimpinnya meraih 43 dari 44 kursi yang diperebutkan. Kalau ditarik ke tingkat nasional maka perebutan 330 kursi di majelis rendah dan 168 di majelis rendah akan berlangsung sengit antara LND pimpinan Suu Kyi melawan USDP pimpinan Presiden Thein Shein.

Musim semi demokrasi, meskipun merupakan perkembangan menarik dalam seperempat abad ini di Myanmar, belum tentu menghasilkan parlemen dan eksekutif yang dikehendaki. Konstitusi melarang orang yang bersuamikan warga asing seperti Aung San Suu Kyi menjadi pejabat tinggi eksekutif. Dan untuk mencegah Suu Kyi berkuasa pun, parlemen sekarang menentang amandemen konstitusi 25 Juni 2015 untuk mengubah pasal soal syarat-syarat presiden. ***

Asep Setiawan, jurnalis Metro TV dan pengamat masalah internasional.

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Recent Posts

  • Ninik Rahayu dan Asep Setiawan Lengkapi Kepengurusan Dewan Pers 2022-2025
  • Ketua Dewan Pers yang Baru 2022-2025 Dr Ninik Rahayu
  • Dawn of New Era under King Charles III
  • Random scenarios for Ukraine War
  • Politik Luar Negeri Iran

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Follow Following
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...
 

    %d bloggers like this: