Tags

, , , , ,

Inilah salah satu konsekuensi jika reformasi lebih dari 10 tahun tidak dibarengi dengan perbaikan sumber daya manusia khususnya di kalangan pemerintah. Para pejabat menengah setingkat dirjen, sekjen atau irjen masihlah “orang lama” dengan wajah baru. Mereka seperti nafas reformasi tetapi jiwanya masih “orde korupsi”Artinya mentalitas mereka masih menganggap bahwa uang dan fasilitas negara merupakan keniscayaan karena mereka memiliki jabatan itu. Jabatan yang kadang dicapai dengan susah payah, dengan berkeringat dan tidak jarang dengan tabrakan dengan kepentingan teman sejawat. Mentalitas mereka mungkin akan hilang setelah setengah abad dimana secara alamiah sudah pensiun.Mengapa korupsi itu selalu terkait dengan pejabat? Karena kebanyakan anggaran pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia berasal dari pemerintah. Anggaran inilah yang dialokasikan untuk membeli dan memperluas jasa sebuah institusi. Sudah sering terdengar bahkan di departemen sosial untuk pembelian mesjin jahit untuk keperluan bantuan pun dikutip. Di Departemen Agama yang sudah seharusnya lebih religius terbukti pejabatnya dari tingkat menteri terjerat kasus korupsi karena ketidaktahuan atau pura-pura tidak tahu. Semuanya melempar tanggungjawab. Bagaimana ini bisa terjadi setelah satu dekade reformasi dan keterbukaan.Sungguh menyedihkan dan sekaligus lecutan ketika “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong mengumumkan bahwa Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada 2010. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69.Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja sebagai negara paling korup. Kemudian diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura.Responden survei berjumlah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.Tampaknya ini membuktikan bahwa upaya pemerintah reformis tidak menghasilkan pegawai dan pejabat bebas korupsi. Semua masih berlomba menggali lubang di anggaran masing-masing untuk keuntungan jangka pendek.Ancaman hukum dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi belum membuat jera para koruptor. Mereka masih terang-terangan bertindak di tengah masyarakat. Dengan gaji yang sudah ditentukan negara mereka bisa hidup bergelimang kemewahan. Oleh sebab itu para pejabat dan pegawai negeri yang benar-benar bersih sering menjadi korban mereka. Para pejabat yang berdedikasi ini harus mengurut dada karena rekan sejawatnya menghancurkan negeri ini dengan korupsi.Jika hukuman dunia bisa membuat jera koruptor, agaknya itulah yang harus ditempuh. Hukuman mati memang mengenaskan dan mengerikan namun jika negeri ini begini saja akan hancur tanpa jejak digerus oleh kemajuan peradaban.Selain hukuman fisik, hukuman sosial mungkin lebih kuat sehingga mereka yang terindikasi dan terbukti korupsi bisa dikucilkan oleh masyarakat. Memang menyakitkan tetapi jika tidak demikian akan hancurlah negeri ini dalam beberapa dasa warsa lagi.Sebenarnya dengan keberadaan nilai religius yang mengakar di Indonesia, agama-agama besar seharusnya berperan besar. Hidup bersih, hidup shaleh, jauh dari pada barang haram merupakan moto yang seharunya menjadi bagian hidup, bukan kemewahan dan menunjukkan harta. Sumber inspirasi dari agama inilah yang akan menjadi lembaga-lembaga penting Indonesia ini bersih.Dalam Islam terdapat istilah Ihsan. Istilah ini merujuk kepada pengawasan Allah yang terus menerus sehingga kalaupun kita tidak melihatNya sesungguhnya Allah memperhatikan kita setiap saat.Kesadaran Ihsan inilah yang akan menjadi penjaga sehingga calon koruptor akan malu di hadapan Tuhan jika dia mengambil barang yang bukan haknya. Wallahu’alambishawab.

Reblog this post [with Zemanta]