Tags
Oleh Asep Setiawan
Pendahuluan
Tuntutan akan nilai-nilai yang melekat kepada pemimpin sebenarnya masih tetap sama. Ia harus memegang amanah, jujur, terbuka, berinovasi, tegas,kreatif dan menjadi model bagi mereka yang dipimpinnya. Dalam masa krisis seperti di Indonesia, tuntutan terhadap pemimpin yang jujur merupakan sebuah kesulitan. Banyak dari pemimpin hanya berkepentingan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Bahkan dalam mengungkapkan kualitas pemimpin itu dengan berbagai gelar yang dipubliksikan terkandung egoisme untuk memperkuat basis kepemimpinannya.Jika para pemimpin lebih sibuk dengan dirinya sendiri maka rakyat atau massa pengikutnya hanya sekedar obyek yang akan menderita di kemudian hari apabila terjadi sesuatu kepada para pemimpinnya. Terbukti di Indonesia ketika para pemimpin politik, sosial dan bisnis banyak yang terlibat skandal yang mengakibatkan krisis kepercayaan, krisis ekonomi dan krisis politik, rakyat harus merasakan penderitaannya. Rakyat bahkan harus membela dirinya sendiri agar tidak jatuh kelaparan.Dari kasus di Indonesia itu jelas bahwa peran kepemimpinan sangatlah penting dalam masyarakat. Para pemimpin yang menjalankan sebuah sistem kepemimpinan bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya tetapi juga kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kesalahan yang dilakukan pemimpin karena mengabaikan saran dan kritik massa yang dipimpinnya mengakibatkan krisis yang parah sehingga satu generasi akan merasakannya. Dalam persoalan Indonesia, krisis kepemimpinan itu melahirkan utang rakyat Indonesia yang sangat besar lebih dari 150 milyar dollar AS kepada dunia internasional.Langkanya pemimpin yang berkualitas di satu sisi dengan periode transformasi di abad ke-21 di sisi lain merupakan persoalan pelik yang harus dipecahkan sejak dini. Abad ke-21 dicirikan oleh sebuah globalisasi ekonomi, informasi dan nilai-nilai kemanusiaan sehingga tuntutan kepada suatu kepemimpinan tidak hanya berkualitas dasar seperti jujur dan amanah tetapi juga mampu membawa masyarakat dalam abad yang sangat kompetitif.Artikel ini akan berusaha mengulas bagaimana paradigma kepemimpinan masa depan dalam era yang senantiasa berubah. Islam sendiri telah memberikan dasar-dasar nilai yang jelas tentang ciri-ciri kepemimpinan yang mashlahat. Namun ada baiknya pula kita melihat bagaimana perkembangan kepemimpinan di dunia internasional.
Paradigma Kepemimpinan
Steven Covey (1997) membagi paradigma baru kepemimpinan dalam tiga fungsi. Pertama, pathfinding (pencarian alur). Esensi dari pathfinding diperoleh dalam visi dan misi yang pasti. Pathfinding akan memiliki arti yang lebih mendalam di masa depan. Menurut Covey, pencarian itu membuat budaya dibekali dan terangsang mengenai suatu tujuan yang lebih bernilai.Dalam Islam, tujuan yang bernilai itu adalah mencari Ridha Allah. Melalui nilai inilah, umat Islam berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan masyarakat yang diridhai Allah melalui negeri yang aman penuh pengampunan. Rasulullah telah mempraktekkan kepemimpinannya dengan menekankan aspek Tauhid dalam setiap gerak langkahnya.Fungsi kedua, Aligning (Penyelarasan). Kegiatan ini memastikan bahwa struktur, sistem dan proses operasional organisasi memberi dukungan pada pencapaian misi dan visi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan dari penyelarasan adalah memberikan dukungan. Oleh karena itu hal terbesar dari prinsip ini muncul jika mereka yang dipimpin merasa selaras dengan misi, visi dan strategi pemimpinnya.Menurut Covey, jika massa yang dipimpin menghayati pemahaman akan kebutuhan, berbagai keterikatan yang kuat untuk mencapai visi, terpanggil untuk menciptakan dam secara kontinu memperbaiki struktur dan sistem yang memenuhi kebutuhan, ini berarti pemimpin itu memiliki penyelarasan. Tanpa kondisi manusiawi ini, pemimpin tidak akan memperoleh mutu yang berkelas dunia dan apa yang dicapai capai hanyalah program-program rapuh.Fungsi ketiga, empowerment (pemberdayaan). Setiap individu biasanya memiliki bakat, kecerdikan, kecerdasan dan kreativitas yang luar biasa, tetapi kebanyakan sifat itu masih belum tergali. Jika pemimpin bekerja erat dengan massanya menuju visi dan misi bersama, maka ia mulai berbagi misi dengan orang-orang itu. Tujuan dan misi perseorangan dipersatukan dengan misi organisasi . Bila tujuan-tujuan itu saling mengisi, maka terciptalah sinergi yang besar. Suatu semangat yang digerakkan dalam diri individu yang mempraktekkan bakat, kecerdikan dan kreativitas untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati untuk mencapai nilai, visi dan misi bersama dalam melayani kebutuhan masyarakat, itulah yang disebut pemberdayaan.Dalam Islam prinsip pemberdayaan didasarkan pada semangat bahwa setiap individu itu merupakan makhluk yang mulia. Namun ia bisa juga jatuh menjadi pribadi yang tidak bernilai. Oleh sebab itu manusia harus diajak senantiasa dalam menempuh jalan kebenaran dan senantiasa saling mengingatkan seperti terungkap dalam Surat Al Ashr.Tiga fungsi tersebut, lebih tepat lagi tiga prinsip itu merupakan pilar dari paradigma kepemimpinan era masa depan. Paradigma itu berbeda dengan pola pikir manajemen tradisional. Antara manajemen dan kepemimpinan terdapat perbedaan yang berarti. Kepemimpinan berfokus pada mengerjalan hal dengan benar, sedangkan manajemen memusatkan perhatian pada pengerjaan secara tepat. Covey menyatakan, kepemimpinan memastikan tangga yang didaki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan bahwa mereka mendaki tangga seefisien mungkin.Pemimpin masa depan memiliki rasa rendah hati menerima prinsip-prinsip hidupnya yang berdasarkan nilai agama dan memiliki keberanian untuk menyelaraskannya yang memerlukan pengorbanan yang besar. Dari kerendahan hati, keberanian dan pengorbanan akan muncul individu yang memiliki integritas. Pemimpin seperti itu merupakan sebuah keluarga yang utuh dimana dia memiliki kerendahan hati untuk mengikuti nilai-nilai dasar hidupnya, keberanian untuk menyelaraskan prinsip-prinsip hidupnya dan melawan asumsi-asumsi lama dan memiliki integritas.Caela Farren dan Beverly L Kaye (1997) menyatakan fokus kepemimpinan telah bergeser dari mengarahkan dan menggurui kepada memfasilitasi dan memberdayakan. Mereka mengemukakan adanya lima peranan pemimpin masa depan yakni fasilitator, penilai, peramal, penasihat dan pemberdaya.Sedangkan Warren Bennis (1997) ikut memperkaya ciri-ciri pemimpin masa depan dengan menyebutkan beberapa hal. Pertama, pemimpin masa depan harus memiliki tujuan hidup yang kuat yang dapat didefinisikan. Kedua, kapasitas untuk mengartikulasikan visi dengan jelas. Ketiga, menciptakan kepercayaan di kalangam massa yang dipimpinnya. “Pemimpin harus dilihat sebagai insan yang dapat dipercaya,” tulis Warren Bennis, pakar kepemimpinan.
Penutup
Kepemimpinan pada era transformasi di abad ke-21 mensyarakatkan sebuah paradigma baru yang bercirikan tiga fungsi yakni pencarian alur, penyelaras, pemberdayaan. Dengan bekal paradigma baru ini diharapkan kepemimpinan masa depan bisa menghadapi dunia yang berubah terus menerus dengan kecepatan tinggi.Krisis kepemimpinan terjadi apabila para pemimpin tidak lagi memiliki prinsip hidup yang dipegangnya. Islam yang kaya menawarkan prinsip kehidupan ini menjadi pilar berarti dalam menyongsong masa depan. Kepemimpinan di bidang apapun tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai Islami yang sudah terbukti dalam sejarah kehandalannya. Penyelarasan dengan nilai Islam ini memang memerlukan perjuangan dan pengorbanan namun imbalan yang ditawarkanpun tidak hanya kebahagiaan di dunia tetapi juga kebahagiaan di akhirat. Insya Allah.
Daftar Pustaka
Covey, Stephen, Principle Centered Leadership. New York, Simon & Schuster,1992.Gibson, Rowan, Rehinking te Future. London: Nicholas Brealey Publishing, 1997.Hesselbein, Frances dkk, Pemimpin Masa Depan. Jakarta: Elex Media Komputindo,1997.Kellerman, Barbara, Leadership: Multidisiplinary Perspectives. New Jersey,Prentice-Hall Inc., 1984.Maududi, Sayyid Abul A’la, Let Us Be Muslims. Leiceste
r, The Islamic Foundation,1983.