Oleh Asep SetiawanLawatan sembilan hari Presiden AS Bill Clinton menunjukkan hasil yang cukup memuaskan bagi kedua pihak. AS menguraikan daftar keberhasilan diplomasinya yang disebut sebagai kemitraan strategis (strategic partnership) secaca lengkap. Demikian pula majalah Time edisi 13 Juli membuat semacam resume apa saja yang diperoleh kedua pihak.Sebelum KTT itu berlangsung, media massa Barat sudah mengajukan berbagai prediksi tentang agenda pembicaraan kedua pemimpin nasional. Berbagai versi tentang agenda perundingan itu ikut membantu mengidentifikasi apa yang sesungguhnya menjadi isu-isu utama dalam hubungan dua negara besar.Cina dengan 1,2 milyar dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-10 persen dalam satu dekade terakhir memberikan peluang bagi investasi yang tak terbatas. Peralihan kepemimpinan nasional dari Deng Xiaoping (92) ke Presiden Jiang Zemin membuka pintu lebnar-lebar stabilitas Cina dalam jangka waktu dua atau tiga dekade mendatang.Tanda-tanda perebutan kekuasaan yang semua dikhawatirkan karena berakhirnya era Deng ternyata sejauh ini tidak menunjukkan fenomena berarti. Jiang secara perlahan-lahan mampu mengkonsolidasikan kekuasaannya dalam 10 tahun terakhir, sejak Tiananmen 1989.Kecepatan Jiang membangun basis kekuatan politik dan militernya ini memuluskan jalan bagi kunjungan dia ke Amerika Serikat tahun 1997. Kemitraan strategis dikukuhkan dalam lawatan sembilan hari di negeri Paman Sam. Begitu pulang dari Washington, Jiang langsung mengimbangi kemitraan strategisnya dengan mengadakan pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Boris Yeltsin. Dengan demikian ia memberika landasan yang solid dan prakarsa bahwa Cina ingin memainkan peran sebagai poros dalam percaturan negara besar di Asia Pasifik.Hasil KTT Cina-ASMajalah Newsweek edisi 13 Juli melihat lebih jauh keberhasilan KTT itu tidak semata-mata pada perekatan hubungan dengan Washington yang tertunda-tunda dan dingin sejak tragedi Tiananmen 1989. Dalam tafsiran lebih jauh, Washington malah memiliki posisi aktif untuk merumuskan dan mengendalikan kemitraannya yang baru dengan Jepang. Jika pembaruan perjanjian keamanan 1997 menjadi bahan kritik Beijing, maka dengan kedatangannya ke Cina, Clinton membuktikan tidak perlu kekhawatiran itu muncul dari kalangan pemimpin Cina soal doktrin keamanan AS-Jepang.Berikut ini hasil KTT Cina-AS yang disarikan majalah Time 13 Juli lalu.Apa yang Cina dapatkan- Pengakuan peran barunya sebagau penggerak utama Asia dan pendorong (prime mover and shaker), serta pujian untuk mempertahankan mata uangnya.- Pernyataan tegas Clinton tentang kebijakan “satu Cina” Amerika.- Dorongan politik bagi Jiang Zemin. Dengan mengijinkan tamu agungnya mengadakan ‘upacara’ (sermon) demokrasi yang dilihat secara nasional, ia dinilai secara luas sebagai orang yang berpikiran terbuka dan mampu memelihara posisinya.Apa yang didapatkan AS- Janji Cina untuk ‘secara aktif mempelajari” untuk bergabung dengan Missile Technoloby Control Regime (MTCR).- Sebuah kesepakatan “menghapus target” rudal nuklir ke masing-masing wilayahnya.- Dorongan politik bagi Clinton. Dengan berbicara ramah tentang hak-hak asasi manusia di depan televisi Cina, ia membungkam kritik dari kalangan Partai RepublikDengan hasil-hasil diplomasi Clinton itu, Jepang mulai menginterpretasikan hasil pendekatan baru AS yang selama ini sangat gencar memojokkan Cina dalam soal praktek HAM.Nihon Keizai Shimbun, salah satu surat kabar bergengsi di Jepang, memberikan komentar yang bersifat analitik. Disebutkan, sikap AS kini beralih dari “japan bashing” menuju “Japan passing. Bahkan mungkin menuju “Japan nothing”.Masaru Ikei, profesor politik internasional di Keio University, malah memberikan komentar lebih dalam arti kunjungan Clinton. Dikatakan, Clinton tak pernah menghabiskan waktunya lebih dari tiga hari di Jepang sedangkan di Cina ia melakukan perjalanan dengan jumlah total sembilan hari, plus didalamnya bersantai-santai di sebuah sungai dan melihat-lihat terakota.Namun demikian sebenarnya, lamanya kunjungan Clinton ke Cina itu dianggap sebagai sebuah usaha untuk meredakan kecemasan Beijing terhadap perjanjian keamanan AS-Jepang. Itulah antara lain pendapat yang dikemukakan mantan Dubes AS untuk Cina, James Lilley.Jepang memang tidak bisa diremehkan begitu saja meskipun saat ini mengalami krisis yang akut.“Apakah Anda suka atau tidak Jepang , negara ii adalah penganut ekonomi pasar bebas yang memiliki dampak lebih besar di dunia daripada Cina,”komentar Kent Harrington, mantan pejabat CIA di Asia Timur.Oleh sebab itulah meskipun ada pendekatan yang intensif secara ekonomi dan politik terhadap Cina, namun Washington tak begitu saja akan meninggalkan Jepang, sekutunya yang terpercaya sejak berakhir Perang Dunia II.Sedangkan Cina sendiri masih belum menunjukkan negara yang bisa dijadikan sekutu dekat. Keterbukaan terhadap ekonomi dunia masih dibatasi di sejumlah kawasan pertumbuhan seperti Shanghai. Akibatnya, masuknya kedalam WTO juga tidak mudah. Di samping itu, Cina masih menunjukkan sikap ragu-ragu untuk tidak sama sekali mengeksepor teknologi senjatanya, komoditi yang bernilai tinggi dibandingkan ekspor apapun.Hanya kelebihan dari Cina adalah potensinya untuk menjadi pemimpin Asia. Di kalangan para pemimpin Cina benih-benih pemikiran Cina memimpin Asia lebih besar dibandingkan dengan Jepang yang masih trauma dengan kepemimpinan militer yang membuat rakyat Asia menderita. Berbagai ramalanpun menunjukkan, jika perjalanan ekonomi dan politiknya relatif mulus, maka Cina akan sampai pada posisi sebagai salah satu negara adidaya yang perlu diperhitungkan tidak hanya di Asia Pasifik tapi juga dunia.Menurut Weng dari Chinese University, selama 20 tahun Jepang memiliki peluang untuk jadi pemimpin Asia tapi tidak meraihnya. Sebaliknya Cina selalu memposisikan diri sebagai pemimpin Asia tidak hanya secara ekonomi tapi juga politik.Jika kedua negara besar ini mampu mengendalikan konflik untuk tidak menjadi sebuah perang dingin, maka pada abad ke-21 akan dapat disaksikan bagaimana kedua bangsa ini berdiplomasi lebih intensif lagi untuk keuntungan bersama. Jepang yang kini terseok-seok karena krisis moneter dan pemerintahan sudah tidak bisa diharapkan lagi bagi AS sebagai pengimbang di Asia. Tak mengherankan pilihan Washington untuk mengadakan KTT di Beijing ini bersamaan dengan peralihan strategi AS yang semua menganut politik pembendungan menjadi politik hubungan yang konstruksif.Daftar PustakaMajalah Time, 13 Juli 1998Majalah Newsweek, 20 Juli 1998MaJALAH Newsweek, 13 Juli 1998
Kemitraan Strategis AS dari Jepang ke Cina
26 Monday Oct 2009
Posted Archives, Asian Affairs
in