Salah satu ujian dalam peliputan di lapangan adalah kesabaran menunggu nara sumber. Mengejar nara sumber utama bukanlah soal mudah. Anda bisa mengejarnya sampai berhari-hari mungkin juga berminggu-minggu. Jadi kalau satu hari tidak berhasil mendapatkan nara sumber, jangan menyerah. Apalagi hanya kalau menunggu berjam-jam dari pagi sampai sore, anggaplah sebuah bagian dari profesi. Di sela-sela menunggu masih banyak hal bisa dikerjakan mulai dari ngobrol dengan sesama rekan sampai merencanakan bentuk pertanyaan, kemungkinan jawaban dan tanggapan terhadap jawaban itu.
Dalam karir awal di bidang jurnalistik, saya pernah diminta wawancara kepala bidang politik LIPI Alfian. Nama beliau sangat harum sebagai analis politik yang jernih. Dalam situasi dimana kajian politik menjadi bahan tabu di masa Orde Baru, Alfian masih bisa memiliki ruang untuk manuver dan memberikan komentarnya.
Saya ditugaskan untuk wawancara Alfian dalam memberikan komentar terhadap sebuah peristiwa politik. Hanya dia satu-satunya yang dianggap bisa memberikan pendapat secara berbobot. Setelah mencari ke kantor dengan menelponnya akhirnya ditemukan kalau tidak salah di Gedung Pers di Jakarta Pusat lagi menghadiri sebuah rapat. Lalu segera bergerak ke sana dan karena sedang sidang maka ditunggulah di luar. Jam makan siang beliau keluar sebentar dan ditemui serta menyatakan kesediannya untuk sebuah wawancara.
Beberapa jam menunggu dan akhirnya setelah lewat pukul 15.00 lebih Dr Alfian keluar dari ruang sidang yang tampaknya sudah diselesai. Segera ditemui dengan harapan sudah siap dengan sebuah wawancara. Namun apa jawaban beliau: "Saya sudah lelah hari ini, bagaimana kalau besok saja ?"
Mendapat jawaban seperti itu setelah menunggu berjam-jam, mau tidak mau ya diterima saja. Nara sumber apalagi yang penting tidak bisa main paksa memberikan pendapat. Terpaksa kita mengalah untuk mendapatkan jawaban berkualitas. Ini juga bagian dari penghormatan kepada nara sumber terhadap sikap dan kondisinya.
Kalau mengikuti kata hati mungkin ada perasaan jengkel dan kesal. Apalagi harus laporan kepada editor, lalu apa kata editor nanti ?
Itulah bagian dari liku-liku liputan di lapangan. Semua nara sumber harus diantisipasi sulit dan waktunya sempit. Hampir semua nara sumber yang utama adalah orang penting yang super sibuk. Apakah dia menteri, pejabat tinggi, akademisi, pengusaha, selebriti atau pengacara, semuanya tidak mudah ditemui dan tidak mudah menyisihkan waktunya. Itulah salah satu yang harus dibiasakan ketika menghadapai nara sumber. Bukan mengalah terhadap "kepentingan" mereka, tetapi memaklumi sehingga bisa terjadi negosiasi untuk menentukan waktu dan tempat wawancara.
Dr Juwono Sudarsono ketika aktif di Universitas Indonesia adalah salah satu nara sumber untuk masalah internasional. Beliau juga orang sibuk namun kalau perlu dikerja ke rumahnya, meskipun sore hari, untuk sebuah wawancara. Perjalanan wawancara memang menuntut kemampuan dalam menyiasati transportasi seperti di Jakarta atau di daerah yang jauh.
Pengalaman liputan di Zamboanga sampai masuk keluar pulau hanya untuk ketemu Nur Misuari merupakan bagian dari perburuan mendapatkan sumber berita penting. Liputan di Rangoon juga terjadi hal yang sama, menunggu dan menyiasati supaya bisa dekat ke nara sumber. Demikian pula ketika berusaha berjumpa dengan mantan Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim dan Wan Azizh Wan Ismail, istrinya, dalam sebuah liputan di Malaysia.
Liputan di luar negeri lebih memerlukan kesabaran lagi karena medan yang masih asing dan perlu penyesuaian terlebih dahulu serta perhitungan secara cermat supaya waktu tidak terbuang percumah.
Mampir mas ke blog bapak. Tukar pikiran, masukan dan kritikan selalu dinanti.
numpang baca-baca
makasih mas amnda telah membantu saya dalam mengembangkan keinginan saya sebagai jurnalis. saya ingin mas memberikan lebih banyak tips untuk membuat ide ide baru dalam membuat pertanyaan segar bagi jurnlistk yang baru berkarir,termasuk saya. saya berharap mas dapat membantu saya makasih