Tags

,

Musim Semi Demokrasi di Myanmar

Oleh Asep Setiawan

 

Setidaknya setelah 25 tahun sistem politik Myanmar dibelenggu oleh junta militer, kini angin demokrasi mulai berhembus di negeri ini. Pemilu 1990 merupakan pesta demokrasi terakhir Myanmar karena kemudian kemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung Suu Kyi dicekal kemenangannya. Sesudah itu masa kelam kehidupan politik Myanmar tidak pernah lagi melihat cahaya harapan bahkan di bidang ekonomi pun terpuruk.

Kini Myanmar memasuki musim semi demokrasi dimana elit politik yang berkuasa memberikan peluang adanya pemilihan umum 8 November nanti. Bahkan persiapan untuk pemilu dilakukan secara serius agar Myanmar melampui perjalanan sejarahnya sejajar dengan negara-negara tetangganya. Selama ini Myanmar dikucilkan oleh Barat dan hanya dibela negara-negara Asia Tenggara.

Penyebabnya tidak lain adalah sikap otoriter terhadap oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi, putri salah satu pendiri negeri itu Jenderal Aung San. Suu Kyi diperlakukan keras bahkan dikenai tahanan rumah sampai 15 tahun dari 21 tahun penahanan aktivitas politiknya. Nobel Perdamaian pun mampir kepadanya ketika masih dalam tahanan rumah tahun 1991.

Jika 25 tahun terakhir Myanmar masih mencari bentuk lanskap politiknya, kini pemilu yang demokratis sepertinya menjadi pilihannya. Perjalanan Myanmar ke arah demokrasi ini tentu melegakan sembilan anggota ASEAN karena selama inilah mereka yakin suatu saat kehidupan demokratis akan sampai ke Myanmar. Sebaliknya Barat tidak yakin pendekatan ASEAN akan mujarab untuk mendorong demokrasi di Myanmar.

Keberatan Barat terhadap militer Myanmar yang sering disebut Tatmadaw bisa dipahami. Sejak kemerdekaan 1948, Tatmadaw sudah menguasai negeri ini. Ancaman permberontakan dari suku minoritas menyebabkan militer selalu memiliki dalih untuk tetap berkuasa. Bahkan saat transisi diumumkan 2011 oleh Thein Sein, Myanmar masih harus dikendalikan oleh junta militer meski bajunya diganti menjadi pejabat sipil.

Semangat partisipasi

Pada awal musim kampanye awal September, Aung San Suu Kyi menyerukan masyarakat internasional agar menjamin terjadinya perubahan politik dan pemerintahan yang sejati. “Untuk pertama alinya dalam beberapa dasa warsa ini rakyat memiliki peluang nyata membawa perubahan,” kata Suu Kyi dalam pesan yang disiarkan LND.

Semangat partisipasi 30 juta rakyat dalam pemilu kali ini diperlihatkan dengan hadirnya 92 partai politik. Demikian juga kandidat independen yang akan mengisi badan legislatif sudah cukup besar jumlahnya mencapai 6.189 orang.

Komisi Pemilihan Umum Myanmar sudah meloloskan 1.772 calon untuk lembaga Pyithu Hluttaw, institusi setingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan untuk lembaga Amyotha Hluttaw yang setingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat di Indonesia, KPU Myanmar meloloskan 913 calon. Selain untuk mengisi lembaga legislatif tingkat nasional, sekitar 3.300 calon untuk lembag legislatif daerah juga telah disahkan komisi pemilihan umum.

Parlemen Myanmar sendiri terdiri dari dua kamar yakni Majelis Tinggi yang dipegang Amyotha Hluttaw dan Majelis Rendah Pyithu Hluttaw. Namun demikian militer masih mempertahankan eksistensinya di parlemen. Berdasarkan konstitusi Myanmar, 75 persen anggota parlemen dipilih rakyat sedangkan 25 persen sisanya ditunjuk oleh militer. Jadi kalau total jumlah anggota Pyitu Hluttaw setingkat DPR 440 orang maka sebanyak 110 diantaranya diperuntukkan militer. Sementara itu lembaga setingkat MPR atau Amyotha Hluttaw akan diisi oleh 224 anggota yang 56 diantaranya sudah dialokasikan untuk wakil dari militer.

Komposisi anggota di parlemen ini seperti ini seolah-olah merupakan pesan kepada dunia bahwa bagaimanapun langkah demokrasi Myanmar melalui pemilu, militer masih memegang kunci penting. Dengan kata lain, militer tidak akan membiarkan bebas Myanmar mengikuti kehendaknya dalam jalur demokrasi apalagi didikte oleh asing.

Atmosfir demokrasi yang mulai tumbuh di Myanmar bukan tanpa hambatan. Kepentingan elit militer masih menjadi bahan pertimbangan terhadap peran para politisi. Keistimewaan yang selama ini dinikmati oleh militer akan berkurang dan ini bisa menimbulkan konflik internal. Namun karena keterbukaan ekonomi dan politik yang sudah dimulai setidaknya dalam lima tahun ini memberikan peluang bahwa semangat berdemokrasi di Myanmar akan menghasikan sistem politik yang kuat.

Persoalan yang muncul di kalangan pemilih adalah tidak diakomodasinya etnik minoritas. Ratusan ribu warga dari etnik Rohingya ditolak hak pilihnya. Etnik Rohingnya yang tinggal di negara bagian Rakhine ini umumnya beragama Islam. Tampaknya Myanmar masih menghadapi masalah bagaimana menghadapi etnik minoritas termasuk dengan Karen.

Persaingan tingkat elit

Adanya persaingan yang terbuka diantara elit politik sudah terlihat. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi berkoalisi dengan tokoh pro reformasi yakni Shwe Mann, ketua parlemen dan tokoh senior nomor tiga di rejim sekarang. Namun jabatan Shwe Mann sebagai pejabat partai yang berkuasa telah dicopot. Padahal Shwe Mann sudah lama diramalkan sebagai pengganti Presiden Thein Sein.

Koalisi Suu Kyi-Shwe Mann ini juga membuat dinamika politik Myanmar menarik. Selain akan menambah kekuatan bagi Suu Kyi karena Shwe Mann tidak lain adalah manta anggota junta militer yang pro reformasi. Kekuatan politik LND akan semakin solid dengan kehadiran mantan penguasa itu.

Namun elit penguasa kini menggunakan kendaraan Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer. Bahkan sebagian dari pengurus USDP adalah mereka yang menjadi pentolan dalam junta militer belakangan ini. Kehadiran USDP ini akan menjadi perhatian peninjau pemilu karena sudah ada dugaan bahwa pesta demokrasi nanti akan disusupi mereka yang berbuat curang dalam penghitungan suara.

Presiden Thein Sein yang diperkirakan masih akan berkuasa lagi masih menunjukkan kekuatan yang kukuh. Kebijakannya yang pro reformasi akan menjadi salah satu kekuatannya. Sejauh ini di bidang politik dia sudah mencabut sejumlah pembatasan baik di bidang media maupun pers. Bahkan di sektor ekonomi, Myanmar menyambut investor asing. Dengan kata lain Thein Sein lah yang telah membawa perubahan banyak terhadap postur politik dan ekonomi Myanmar kini, bukan Suu Kyi. Namun tentu nama Suu Kyi lebih diharapkan daripada Thein Sein yang berlatarbelakang militer.

Kalau pemilu sela tahun 2012 dijadikan sebagai sebuah indikator kebangkitan oposisi maka pemilu mendatang bisa jadi Aung San Suu Kyi dan pendukungnya meraih kemenangan pula. Dalam pemilu sela 2012, Suu Kyi memenangkan kursi di Kawhmu. Bahkan Liga Nasional Demokrasi yang dipimpinnya meraih 43 dari 44 kursi yang diperebutkan. Kalau ditarik ke tingkat nasional maka perebutan 330 kursi di majelis rendah dan 168 di majelis rendah akan berlangsung sengit antara LND pimpinan Suu Kyi melawan USDP pimpinan Presiden Thein Shein.

Musim semi demokrasi, meskipun merupakan perkembangan menarik dalam seperempat abad ini di Myanmar, belum tentu menghasilkan parlemen dan eksekutif yang dikehendaki. Konstitusi melarang orang yang bersuamikan warga asing seperti Aung San Suu Kyi menjadi pejabat tinggi eksekutif. Dan untuk mencegah Suu Kyi berkuasa pun, parlemen sekarang menentang amandemen konstitusi 25 Juni 2015 untuk mengubah pasal soal syarat-syarat presiden. ***

Asep Setiawan, jurnalis Metro TV dan pengamat masalah internasional.