Tags
Pernyataan maaf itu disampaikannya kepada Kompas melalui layanan pesan singkat yang diterima Rabu (10/2/2010). Berikut isinya: “Saya cuma ingin bilang mohon maaf atas semuanya. Saya sudah memberikan surat pengunduran diri dari Unpar sebagai bentuk pertanggungjawaban saya tindakan saya….
Sungguh mengagetkan Prof. Banyu Perwita dari Universitas Parahyangan Bandung harus melakukan plagiarisme hanya untuk menulis artikel di surat kabar Jakarta Post. Sungguh tidak sayang dengan gelar Doktor dan Profesornya yang merupakan gelar akademis tertinggi yang dicapai malah pada usia 41 tahun ! Luar biasa prestasi itu.Tulisan Hireka Heric di Kompasiana malah membongkar beberapa tulisan yang ternyata juga pernah dilakukan Banyu. Dan untuk itu Hireka menampilkan tulisan yang menunjukkan bahwa ada kalimat-kalimat yang persis sama dan alur pikiran yang juga mirip. Sampai Jakarta Post mengumumkan permintaan maaf.Saya kenal Banyu ketika kuliah di Inggris dan mengikuti prestasinya dari jauh karena punya subjek sama yakni Hubungan Internasional.. Oleh sebab itu super terkejut dengan laporan yang turun hari ini bahkan gelarnya konon akan dicabut ! Kalau itu memang terjadi tragis sekali bagi dunia akademis.Di halaman Facebook Banyu memang mengalir simpati dan meminta dia jangan menyerah, bangkit kembali. Kesalahan yang manusiawi, katanya.Saya juga tentu bersimpati namun kita harus mengakui bahwa kesalahan yang dilakukan Banyu sangat menyentuh fundasi kepercayaan dunia akademis, dunia yang terbuka, ilmiah, lugas dan bahkan bisa diuji orang lain. Jadi dengan kata lain tak ada dusta diantara dunia akademis.Jika memang harus menggunakan alur pikiran orang lain, gagasan ilmuwan lain – jujur lah ! Ini yang sangat mahal sekarang. Jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada Tuhan.Memang menulis artikel dengan mengutip beberapa kalimat dan pikiran tidak menjadi soal asalkan disebutkan siapa sumbernya. Dan asalkan juga dikutip dengan mengikuti tatakrama dunia akademis merephrase kalimat-kalimat ilmuwan lain.Sakit memang tidak hanya bagi Banyu tetapi juga bagi kolega akademis. Apalagi tulisan itu dibuat dalam bahasa Inggris yang bisa diakses di seluruh dunia. Sebuah noda yang akan terasa sampai bertahun-tahun kemudian terutama bagi bidang Hubungan Internasional.Sebenarnya di bidang HI ini sudah biasa kita menopang pandangan dengan mengutip ilmuwan mancanegara. Bahkan mungkin dengan hanya menambahkan gagasan orisinal kita atau cara pandang sendiri bukanlah hal tabu. Namun mengambil kesimpulan yang sama seperti yang ditulis oleh orang lain memang sulit sekali diterima kalangan akademisi.Pelajaran berharga bagi Banyu dan juga bagi semua adalah bahwa sudah saatnya mengutip dengan menyebut sumber atau mengeluarkan gagasan orisinal menjadi pilihan yang benar. Atau sebaiknya tidak perlu menulis lagi atau menuangkan gagasan itu.
Dear kang Asep, mohon izin sedikit berkomentar. Saat ini hampir semua orang menilai tindakan seperti ini adalah kasus ketidak-jujuran dan kebobrokan moral sipelaku. Namun bila dilihat dari kacamata lain, mungkin agak berbeda. Ada beberapa hal yang menurut saya memicu kasus2 semacam ini yang semuanya bersumber dari tata aturan yang tidak applicable dan rancu.1) Para pendidik didorong untuk mengejar jabatan oleh undang-undang, karena jabatan berbanding lurus dengan penghasilan (nb: Prof. adalah jabatan akademis). Permasalahannya, penghasilan dosen biasa sangat dibawah standard, dan beda dengan prof. bisa lebih dari 4x!!. Ini memicu seseorang untuk mengejar jabatan tertinggi dengan tidak hati-hati.2) Aturan penilaian publikasi ilmiah di Indonesia sangat lucu. Tulisan ilmiah tidak perlu yang peer-reviewed, tapi bisa dikata terserah dimana saja. Sehingga kualitas isi tidak terkontrol, dan hasil plagiasi memiliki kemungkinan 50:50 untuk tidak terdeteksi.3) Artikel ilmiah yang ditulis sendiri jauh lebih besar nilainya dibanding dengan yang ditulis bersama rekan peneliti lain. Akibatnya, orang cenderung untuk mencantumkan nama sendiri dalam artikel. Ini sering terjadi ketika seorang dosen membimbing mahasiswa. Sebenarnya, karena dosen itu juga ikut berfikir, maka dia berhak untuk mempublikasikan. Cuma sayangnya jika dia cantumkan nama mahasiswanya, dia kehilangan 40% dari point. Apalagi, jika mengikuti kebiasaan di luar-negri, dosen seharusnya ditulis di belakang, dan mahasiswa yang kerja didepan. Jika mengikuti standard ini, maka dosen hanya mendapat nilai 40%/(jumlah_peneliti-1). Aturan ini sangat rancu, dan tidak menghargai metoda “cooperation”.4) Akses informasi (jurnal ilmiah, dll) sangat minim. Mungkin saja seorang dosen pernah mendengar sebuah “kalimat” yang sesuai dengan ide-nya, tapi dia tidak ingat dari mana. Karena akses informasi ilmiah mahal, sulit bagi dia untuk melakukan tracing. Dia tidak punya data up-to-date tentang apa saja yang sudah dipublish orang. Akhirnya dia tulis saja seingat dia, yang kemudian berakibat fatal. Akses internet di kebanyakan Universitas sangat lemah, dan sangat sedikit (kalo tidak dikatakan nol) yang subscribe Jurnal ilmiah. Yang terjadi, dosen harus berlangganan dari kocek sendiri, padahal gajinya sudah sangat minim!