Tags
PERTUMBUHAN ekonomi Asia yang mengesankan tak hanya menjadi
perhatian para pengambil keputusan di pemerintahan dan pengusaha,
tetapi juga para akademisi. PM Singapura Lee Kuan Yew dan PM Malaysia
Mahathir Mohamad sering mengulas kemajuan ekonomi sebagai bagian dari
keberhasilan membangun sistem politik baru di Asia yang berbeda dengan
Barat.
Sedangkan kalangan akademis mempersoalkan apakah pertumbuhan ekonomi
yang tinggi itu merupakan sebab dari logika yang terjadi di Barat.
Misalnya karena investasi yang naik, stabilitas politik yang
berkesinambungan, atau sebab lain seperti sumber daya alam yang
tersedia berlimpah.
Misteri tentang sebab-sebab atau faktor yang mendukung pertumbuhan
ekonomi sampai soal nilai-nilai Asia (Asian values) yang turut
menentukan arah kemajuan ekonomi, menjadi menarik untuk disimak.
Dari perdebatan mengenai pengaruh nilai-nilai Asia terhadap keajaiban
ekonomi ini setidaknya muncul dua aliran. Pertama, mereka yang yakin
bahwa nilai-nilai Asia itu tidak seperti yang disodorkan para pemimpin
Asia. Nilai yang mereka anut bersifat universial dan keberhasilannya
pun sudah teruji dalam masyakarat lain. Dengan kata lain, mereka
meragukan adanya suatu nilai unik Asia yang jadi faktor penunjang
booming ekonomi.
Kedua, nilai-nilai Asia memang ada dan sangat berpengaruh dalam
perubahan sosial ekonomi di kawasan ini. Keyakinan bahwa nilai-nilai
Asia atau cara-cara Asia dalam pengelolaan ekonomi itu eksis terlihat
dari keberhasilan dalam tiga dekade ini di kawasan Asia.
Esensi nilai-nilai Asia
Yang menjadi sentral perhatian persoalan nilai-nilai Asia adalah
pertanyaan, faktor apa yang menggerakkan masyarakat Asia sehingga
mencapai tahap pertumbuhan ekonomi seperti sekarang ini.
Tommy Koh, pensiunan diplomat senior Singapura mencatat adanya 10
nilai-nilai positif. Ia antara lain menyebutkan hemat, bersahaja,
hormat kepada leluhur dan perhatian yang sangat tinggi terhadap
keluarga. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew bahkan mempertentangkan
paham sentralitas keluarga sebagai nilai Asia yang sangat penting
dibandingkan paham invidualisme yang subur di Barat.
Sebuah lembaga yang menamakan diri Komisi Asia Baru – pimpinan pakar
asal Malaysia Noordin Sopiee – mengidentifikasi 16 premis dasar dan
prinsip-prinsip yang akan menuntun aspirasi Asia pada tahun 2020.
Kembalinya nilai-nilai tradisi yang dipengaruhi agama dan budaya Asia
ikut memberikan warna.
Michael Haas, salah seorang ilmuwan asal Amerika Serikat, lebih
lanjut menghubungkan nilai-nilai itu dalam praktek pemerintah di Asia.
Menurut dia ada dua tahap dan enam prinsip yang perlu dipertimbangkan
untuk memahami gaya Asia (Asian Way). Haas sendiri menganggap ungkapan
Asian Way atau Asian Values dapat dirunut dari ucapan salah seorang
pejabat Malaysia, yakni U Nyun.
Haas menyatakan, “Tahap pertama terdiri dari keyakinan umum dan
orientasi terhadap manusia dan hubungan internasional. Tingkat kedua
terdiri dari praktek-praktek dan prosedur yang diikuti dalam situasi
kongkret”.
Sementara itu Desmond Ball, pakar tentang Asia, mengidentifikasi
faktor-faktor yang fundamental bagi budaya Asia. Ball menyingkatnya
dengan menyebutkan faktor penghormatan terhadap hirarki dan otoritas,
penghindaran konflik dalam hubungan sosial, dan penekanan pada
ketertiban dan harmoni.
Tema tentang nilai Asia ini memang menarik, sehingga David Hitchcock
pun melakukan sebuah penelitian langsung dengan mewawancarai kalangan
eksekutif, akademisi, dan pakar di Asia untuk merumuskan persoalan
ini.
Penulis buku Asian Values and The United States ini akhirnya
menemukan bahwa norma-norma Asia meliputi keluarga, rasa hormat terhadap
otoritas, komunitarianisme dan kerja sama, komitmen kuat terhadap
pendidikan, disiplin diri dan penghargaan terhadap ketertiban,
“negara”, dan “generasi tua”.
Nilai Asia universal
Gubernur Hongkong Chris Patten sebagai seorang praktisi pemerintahan
yakin bahwa apa yang disebut nilai-nilai Asia itu tidak khusus. Ia
berkeyakinan cara Asia dalam pengembangan sektor ekonomi adalah sama
dengan yang pernah berlangsung di Barat.
Alasan pertama, faktor sangat penting dalam kebangkitan Asia adalah
keyakinan dalam hati dan pikiran ratusan juta warga Asia bahwa hidup
“dapat dan harus” dikembangkan untuk mereka dan keluarga.
Dalam artikelnya Is There an ‘Asian Way’?, penjelasan teknis
bagaimanapun dan kekuatan ekonomi apa yang mendorong keberhasilan Asia
adalah tekad untuk memperbaiki keluarga dari kepapaan dan kemiskinan
menuju kehidupan yang lebih baik (Survival, 1996).
Alasan kedua keberhasilan ekonomi adalah kebebasan ekonomi (economic
liberty). Patten melihat, meskipun banyak pemerintahan jauh dari sikap
toleransi terhadap kebebasan sipil dan politik, banyak pula yang
mengakui perlunya memberikan kebebasan ekonomi kepada warga negaranya.
Patten menilai, faktor kedua ini yang menjadi kunci keberhasilan
ekonomi abad yang lalu, namun harus mempelajari hal baru dari fenomena
Asia. Apa yang membuat ekonomi Asia sukses adalah jika pemerintah
menghambat perusahaan dengan pajak tinggi, pasar kelas dua, dan
mendistorsi ekonomi dengan subsidi dan kontrol, sehingga membuat
ekonomi tinggi.
Dengan kata lain, masyarakat hidup dengan ekonomi biaya tinggi,
namun hidup dengan standar lebih rendah dan pelayanan umum yang tak
memadai. Ini bisa berati pula, kata Patten, pengusaha kurang kompetitif
di pasar global dan kurang menarik minat investasi dari luar.
Alasan ketiga bagi keajaiban ekonomi adalah perdagangan bebas (free
trade). Keyakinan terhadap kemajuan dan kebebasan ekonomi telah
membawa masyarakat Asia dalam jalan menuju kemakmuran. Namun menurut
Patten, yang lebih penting lagi justru perdagangan bebas. Akses ke
Amerika Utara dan Eropa Barat memungkinkan pertumbuhan cepat setelah
Perang Dunia II berakhir.
Akhirnya ia menyimpulkan bahwa tiga alasan itu dapat disingkat
sebagai keyakinan akan kemajuan, keyakinan akan economic liberty
(kebebasan ekonomi), dan keyakinan akan perdagangan bebas. Dari seluruh
alasan itu, Patten menilai bahwa tak ada yang bisa dikategorikan nilai
Eropa atau Amerika. Keyakinan itu bagian dari sejarah revolusi industri
Eropa sehingga bersifat univesal.
Nilai Asia unik
Anggapan bahwa nilai Asia unik muncul terutama dari para pemimpin
dan pakar asal Asia. Gagasan ini sendiri mulai menonjol pertengahan
1980-an. Kemudian awal 1990-an dari berbagai pidato dan tulisan para
pemimpin dan tokoh Asia, kajian dan kepercayaan terhadap nilai-nilai
Asia sebagai “bahan bakar” pertumbuhan ekonomi semakin gencar.
Pada umumnya mereka menyerukan agar kembali kepada nilai-nilai
tradisional yang sama bagi masyarakat Asia. Mereka juga menonjolkan
perbedaan apa yang disebut nilai Asia dan Barat.
Sejumlah pakar Jepang berusaha untuk merekonseptualisasi dan
memodernisasi nilai-nilai Asia. Misalnya pakar bernama Yoichi
Funabashi beranggapan bahwa kawasan ini bukannya “di-Asiakan kembali”
(re-Asianised), namun sedang “di-Asiakan” (Asianised).
Funabashi menilai, bukannya kembali kepada nilai-nilai dan praktek
lama, namun menciptakan “benih baru sivilisasi campuran yang subur”,
di mana akan muncul “sivilisasi Cina dan Indo-Cina dikombinasikan
dengan Jepang dan Amerika menjadi satu”.
Sejalan dengan argumen itu, muncul tulisan para pejabat dan pakar
Cina. Li Xianglu yakin, Asia Timur memeluk nilai-nilai Kong Hu Cu, di
mana dukungan terhadap kerja keras, hemat, kesalehan, dan kebanggaan
nasional” telah mendorong pertumbuhan ekonomi.
Peran nilai Asia
Dari perdebatan pro-kontra apakah nilai-nilai Asia itu universal
atau khas, tampaknya fokusnya terlalu disoroti pada konsep-konsep yang
berkaitan dengan budaya, agama, sosial, dan ekonomi, bukan pada peran
nilai-nilai itu bagi pertumbuhan ekonomi.
Sentralitas perhatian bangsa-bangsa di Asia terhadap pentingnya
keluarga atau ikatan kekeluargaan hampir memiliki kesamaan, mulai
Jepang di belahan utara sampai Indonesia di selatan.
Lee Kuan Yew sangat percaya bahwa keluarga dan keutuhan keluarga
menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat Asia. Demikian pula tatkala
menjalankan praktek ekonomi, sulit melepaskan diri dari kultur seperti
ini. Bahkan ketika Singapura semakin makmur pun Lee masih menekankan
bahwa ikatan keluarga menjadi pilar utama kesejahteraan masyarakat.
Praktek yang lahir dalam kegiatan ekonomi berupa kultur senioritas
yang kuat dalam bidang usaha. Senioritas ini melahirkan ketertiban dan
keharmonisan, karena generasi baru tidak berusaha mematahkan ta-tanan
yang sudah tercipta pendahulunya.
Beberapa aspek penting nilai yang ada di Asia seperti penghematan,
bersahaja, dan kepercayaan akan nasib ikut mempengaruhi seperti halnya
nilai-nilai “tidak produktif” yang disebutkan PM Mahathir berupa
feodalisme, anti materialisme yang berlebihan, dan perbedaan otoritas
berlebihan, yang ikut mempengaruhi pola dan arah pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya dapat disimpulkan sementara bahwa, betapapun nilai-nilai
Asia itu memiliki ciri universalitas namun juga kekhasan tertentu.
Nila-nilai Asia hidup bukan di ruang yang vakum, sehingga pengaruh
Barat pun tak terhindarkan lagi. Pengaruh luar itu memang diadaptasi
sesuai dengan kapasitas kulturnya, sehingga tidak serta merta berubah
total.
Nilai-nilai yang dibantu Asia itu pun cukup berperan dalam membentuk
dan menggerakkan mesin ekonomi negara-negara di Asia. Namun tidak
semua nilai-nilai Asia memberikan dukungan terhadap pertumbuhan
ekonomi seperti halnya tidak semua nilai-nilai non Asia berpengaruh
buruk bagi iklim ekonomi Asia. (asep setiawan)
KOMPAS, Selasa, 11-03-1997.