Pengalaman pertama selalu teringat, begitu kata orang. Liputan pertama saya adalah memenuhi undangan dari Uni Emirat Arab. Kebetulan Kompas memberikan kesempatan kepada saya untuk berkunjung ke sana tahun 1989 kalau tidak salah, sebelum perang Teluk.
Kunjungan ke luar negeri memang exciting. Paspor harus dibuat untuk pertama kalinya. Membuat paspor pada zaman itu tidaklah mudah. Namun karena diantar oleh petugas dari Kompas, urusan lancar-lancar saja. Jadilah sebuah paspor lengkap lalu visa diurus ke Kedutaan Besar Emirat di Jakarta.
Ternyata saya berangka berombongan dengan wartawan TVRI, Antara, Jakarta Post dan kalau tidak salah juga Tempo. Karena berada dalam rombongan, perasaan tidak begitu menakutkan pergi ke luar negeri itu.
Naik pesawat ke luar negeri memang pertama kali jadi serba baru dan serba kaku. Demikian juga terkagum-kagum ketika transit di Changi Singapura.
Yang paling mudah lagi, semuanya sudah disediakan. Di airport sudah ada penjemput pejabat dari kementerian penerangan meskipun tiba menjelang subuh.
Saya masih ingat bersama seorang teman langsung memesan makan sahur untuk enam orang ! Asuminya rekan-rekan lain akan ikut makan sahur karena sedang berkunjung ke sebuah negara Arab.
Ternyata yang berpuasa cuma berdua. Lebih hebat lagi ternyata memang ada keringanan kalau sedang musafir. Waktu ke Al Ain, sekitar satu jam naik mobil, orang lain makan siang, kami hanya berdiam di restoran. Pengantar orang Arab pun ternyata makan dengan lahap.
Inilah pengetahuan pertama tentang lingkungan baru seperti di Emirat Arab. Pandangan kita yang ketat karena Ramadhan ternyata tidak demikian. Keringanan itu digunakan, apalagi liputan diantar terus dari satu restoran ke restoran lain.
Menginap di Hotel Le Meridien – begitu ingatan saya – ada beberapa restoran dan semuanya dicicipi karena gratis !
Liputan pun diantar. Ke pasar, ke gedung penerangan, ke pusat kebudayaan, ke pantai, wawancara dengan menteri penerangan dan bahkan ketemu Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan yang sekarang sudah almarhum diantar pula. Semuanya serba diantar karena memang liputan untuk persiapan kunjungan Sang Emir ke Indonesia.
Wawancara bersama berlangsung menjelang tengah malam karena beliau banyak tamu, mulai dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi.
Wawancara berlangsung enak, karena diterjemahkan langsung ke bahasa Indonesia ! Ada pertanyaan soal bola, niat kunjungan, sosial politik dsb.
Hanya karena belum pengalaman, membawa kamera wide angle tidak begitu banyak manfaatnya. Hasil jepretan pun tidak begitu bagus, maklum pemula.
Kamera memang penting kalau liputan ke lapangan meskipun kita mungkin merekam atau menulis. Kamera bagus akan memberikan nilai tambah pada liputan kemudian.
Liputan ke lapangan, apalagi rombongan adalah yang paling mudah dan memiliki kesempatan bertukar pikiran dengan sesama rekan Indonesia. Kadang di Indonesia sendiri tidak sempat bertemu maka pengalaman ke luar negeri sekalipun hanya satu minggu banyak sekali manfaatnya.