• Home
  • About
  • International Relations
    • Journal Articles
    • Books
  • Journalism
    • Karya Jurnalistik
  • Commentary
  • Lecture
    • Politik Luar Negeri Indonesia
    • Pengantar Hubungan Internasional
    • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Academic Profile

Jurnal Asep Setiawan

Jurnal Asep Setiawan

Tag Archives: Timur Tengah

Strategi Palestina Pasca Pengakuan Internasional

22 Tuesday Jul 2025

Posted by Setiawan in International Relations, Journal Articles, Middle East

≈ Leave a comment

Tags

palestina, Timur Tengah

 Oleh Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Gelombang pengakuan negara Palestina oleh negara-negara Eropa pada pertengahan tahun 2024, yang dipelopori oleh Spanyol, Norwegia, dan Irlandia, menandai titik balik krusial dalam sejarah perjuangan diplomasi Palestina. Fenomena ini bukan sekadar simbolisme politik, melainkan sebuah pergeseran tektonik dalam paradigma “Solusi Dua Negara” yang selama ini didominasi oleh hegemoni negosiasi bilateral yang gagal. Pengakuan ini secara efektif mendekonstruksi narasi bahwa kedaulatan Palestina adalah “hadiah” yang harus menunggu persetujuan Israel, dan sebaliknya menegaskan bahwa kedaulatan adalah hak inheren yang tidak dapat diveto oleh kekuatan pendudukan (Eide, 2024). Langkah berani dari blok Eropa ini menciptakan preseden hukum dan politik yang mendesak Uni Eropa (UE) untuk mengevaluasi ulang Perjanjian Asosiasi UE-Israel, terutama terkait klausul hak asasi manusia yang selama ini sering diabaikan demi kepentingan dagang pragmatis.

Lebih jauh, momentum pengakuan ini memberikan legitimasi baru bagi Otoritas Palestina (PA) untuk bertindak sebagai aktor negara penuh dalam sistem internasional, bukan lagi sekadar entitas non-negara atau pengamat. Dalam konteks realisme politik, pengakuan ini meningkatkan bargaining power Palestina vis-à-vis Israel dan Amerika Serikat. Jika sebelumnya Palestina terjebak dalam asimetri kekuatan yang ekstrem, dukungan formal dari negara-negara G7 dan anggota NATO seperti Spanyol dan Norwegia menyediakan perisai diplomatik yang lebih kuat. Analisis menunjukkan bahwa pengakuan ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan “amunisi” diplomatik yang harus dikonversi menjadi tekanan konkret, seperti sanksi ekonomi terhadap produk pemukiman ilegal dan embargo senjata bagi pihak yang melanggar hukum humaniter internasional (Al-Haq, 2024).

Namun, tantangan terbesar tetap berada pada implementasi di lapangan (de facto). Kesenjangan antara pengakuan de jure dan realitas pendudukan militer Israel yang semakin mengakar di Tepi Barat dan Jalur Gaza menuntut strategi yang melampaui diplomasi konvensional. Palestina harus merumuskan strategi hibrida yang menggabungkan tekanan internasional “dari atas” (top-down) melalui institusi multilateral, dengan resistensi sipil dan ketahanan ekonomi “dari bawah” (bottom-up). Tabel berikut merangkum lanskap pengakuan diplomatik terkini dan implikasi strategisnya bagi posisi tawar Palestina di panggung global.

Tabel Kronologi dan Implikasi Strategis Pengakuan Negara Palestina oleh Negara Eropa (2024-2025)

Negara (Tanggal Pengakuan)Dasar Hukum & Alasan PolitikImplikasi Strategis bagi PalestinaReaksi & Dampak pada Hubungan dengan Israel
Spanyol (28 Mei 2024)Menegakkan Solusi Dua Negara; Keadilan historis pasca-konflik Gaza.Membuka pintu lobi di dalam Dewan Uni Eropa untuk sanksi terhadap pemukim ilegal; Memperkuat legitimasi hukum internasional.Penarikan duta besar; Ketegangan diplomatik tinggi; Spanyol memimpin blok pro-Palestina di UE.
Norwegia (28 Mei 2024)Konsistensi dengan peran sebagai mediator (Oslo Accords); Menolak status quo pendudukan permanen.Sinyal kegagalan kerangka Oslo lama; Mendorong donor internasional untuk menyalurkan dana langsung ke institusi negara, bukan sekadar bantuan kemanusiaan.Israel menahan dana pajak yang ditransfer melalui Norwegia; Pembekuan status diplomatik perwakilan Norwegia.
Irlandia (28 Mei 2024)Solidaritas sejarah anti-kolonial; Penegakan HAM universal.Penguatan narasi dekolonisasi di forum Barat; Advokasi kuat untuk pelarangan perdagangan dengan pemukiman ilegal (Occupied Territories Bill).Kritik keras Israel menuduh Irlandia “menghadiahi terorisme”; Perang retorika diplomatik yang intens.
Slovenia (Juni 2024)Mengikuti momentum Eropa; Menegakkan hukum internasional pasca-putusan ICJ.Menambah suara mayoritas di Majelis Umum PBB; Memperluas konsensus Eropa Timur/Tengah yang sebelumnya pro-Israel.Menunjukkan retaknya dukungan blok Eropa Timur terhadap kebijakan ekspansionis Israel.
Prancis & Inggris (2025)Tekanan domestik dan geopolitik; Syarat “irreversible path” menuju kemerdekaan.Potensi game changer di Dewan Keamanan PBB; Kemungkinan tidak lagi menggunakan veto untuk melindungi Israel secara otomatis.(Proyeksi) Isolasi total Israel di Eropa Barat; Tekanan ekonomi yang signifikan melalui instrumen perdagangan UE.

Sumber: Diolah dari Kementerian Luar Negeri Spanyol (2024), Laporan Reuters (2024), dan Analisis European Council on Foreign Relations (2025).

Sumber: Diolah dari Kementerian Luar Negeri Spanyol (2024), Laporan Reuters (2024), dan Analisis European Council on Foreign Relations (2025).

Internasionalisasi Konflik: Strategi “Lawfare” dan Diplomasi Multilateral

Strategi utama pasca-pengakuan harus berfokus pada kapitalisasi keputusan hukum internasional, khususnya Opini Nasihat Mahkamah Internasional (ICJ) Juli 2024 yang menyatakan pendudukan Israel ilegal dan harus diakhiri “secepat mungkin”. Putusan ini memberikan landasan hukum yang tak terbantahkan bagi Palestina untuk menuntut penarikan mundur pasukan dan pemukim tanpa syarat, bukan melalui negosiasi pertukaran tanah yang merugikan (ICJ, 2024). Palestina harus menggunakan momentum ini untuk mendesak Majelis Umum PBB mengaktifkan mekanisme “Uniting for Peace” (Resolusi 377A) jika Dewan Keamanan kembali lumpuh akibat veto AS. Tujuannya adalah membentuk koalisi internasional yang bertugas mengawasi pembongkaran rezim apartheid dan pendudukan, serupa dengan sanksi global terhadap Afrika Selatan di masa lalu.

Selain ICJ, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) menjadi arena pertempuran krusial. Dengan status negara yang diakui oleh lebih banyak pihak, Palestina memiliki legitimasi lebih kuat untuk mendesak percepatan penyidikan atas kejahatan perang di Gaza dan Tepi Barat. Strategi ini, yang sering disebut sebagai lawfare, bertujuan untuk meningkatkan biaya politik dan moral bagi Israel dan sekutunya. Pejabat Israel yang terlibat dalam kebijakan pemukiman atau operasi militer harus menghadapi risiko penangkapan internasional, yang secara efektif mengisolasi elit politik Israel (Power, 2025). Diplomasi Palestina harus agresif dalam menuntut negara-negara penandatangan Statuta Roma, termasuk negara-negara Eropa yang baru mengakui Palestina, untuk mematuhi kewajiban hukum mereka dalam menangkap buronan ICC.

Di tingkat multilateral, Palestina harus menargetkan keanggotaan penuh di PBB. Meskipun veto AS masih menjadi penghalang utama di Dewan Keamanan, dukungan masif dari 140+ negara anggota PBB adalah modal politik yang besar. Strategi yang harus ditempuh adalah “pengepungan diplomatik” di mana Palestina bergabung dengan setiap organisasi internasional, traktat, dan konvensi yang memungkinkan—mulai dari WHO, Interpol, hingga WTO. Setiap aksesi memperkuat atribut kedaulatan negara dan membuat pendudukan Israel semakin terlihat sebagai anomali ilegal. Ini juga mencakup pemanfaatan forum BRICS+ (di mana Palestina memiliki sekutu kuat seperti Afrika Selatan, Brasil, dan Tiongkok) untuk mengimbangi dominasi narasi Barat dan mencari alternatif dukungan ekonomi (Kementerian Luar Negeri RI, 2024).

Konsolidasi Politik Internal: Implementasi Deklarasi Beijing dan Reformasi Institusional

Kelemahan fundamental yang kerap melemahkan posisi Palestina adalah perpecahan faksional antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Pengakuan internasional tidak akan efektif jika tidak ada pemerintahan tunggal yang representatif dan mampu menjalankan kedaulatan di seluruh wilayah teritorial. Oleh karena itu, implementasi “Deklarasi Beijing” Juli 2024 yang menyepakati pembentukan pemerintahan persatuan nasional sementara adalah imperatif strategis yang mendesak (Xinhua, 2024). Rekonsiliasi ini bukan sekadar kebutuhan politik, tetapi prasyarat teknis untuk pembangunan kembali Gaza dan penyatuan sistem administrasi negara. Tanpa persatuan, Israel akan terus menggunakan narasi “tidak ada mitra perdamaian” untuk melegitimasi pendudukan dan aneksasi bertahap.

Reformasi Otoritas Palestina (PA) juga harus menjadi prioritas. PA sering dikritik karena korupsi, inefisiensi, dan persepsi sebagai “subkontraktor keamanan” bagi Israel. Strategi negara Palestina harus mencakup revitalisasi legitimasi demokratis melalui pemilihan umum yang bebas dan adil—legislatif dan presiden—yang telah tertunda selama hampir dua dekade. Pemerintahan baru harus inklusif, melibatkan teknokrat, masyarakat sipil, dan diaspora. Transparansi fiskal dan akuntabilitas publik akan meningkatkan kepercayaan donor internasional, khususnya Uni Eropa yang telah mensyaratkan reformasi tata kelola sebagai bagian dari paket bantuan keuangan mereka (European Commission, 2025).

Lebih lanjut, reformasi sektor keamanan sangat krusial. Doktrin keamanan Palestina harus bergeser dari sekadar menjaga ketertiban internal (yang sering kali menguntungkan keamanan pemukim Israel) menjadi doktrin “Keamanan Nasional” yang berfokus pada perlindungan warga negara Palestina dari serangan pemukim dan militer Israel. Ini membutuhkan keberanian politik untuk meninjau ulang koordinasi keamanan dengan Israel, menjadikannya kondisional pada penghentian serangan Israel ke kota-kota Palestina (Area A). Konsolidasi internal ini akan menghilangkan dalih komunitas internasional yang meragukan kesiapan institusional Palestina untuk merdeka.

Strategi Ekonomi Resiliensi: Menuju “Disengagement” dan Kemandirian Ekonomi

Ketergantungan ekonomi Palestina pada Israel adalah salah satu hambatan terbesar menuju kemerdekaan sejati. Saat ini, ekonomi Palestina terikat oleh Protokol Paris 1994 yang memberikan Israel kontrol penuh atas perbatasan, bea cukai, dan kebijakan moneter. Strategi negara pasca-pengakuan harus berfokus pada “Disengagement” (pelepasan) bertahap dari ekonomi Israel dan pembangunan “Ekonomi Perlawanan” (Resistance Economy) atau Sumud (UNCTAD, 2023). Hal ini mencakup diversifikasi mitra dagang, terutama dengan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan negara-negara Arab tetangga seperti Yordania dan Mesir. Palestina perlu mengembangkan infrastruktur logistik independen, seperti menuntut hak pengelolaan pelabuhan di Gaza dan bandara di Tepi Barat, serta mengaktifkan kembali koridor darat yang menghubungkan kedua wilayah tersebut.

Sektor energi menjadi prioritas strategis lainnya. Ketergantungan 100% pada pasokan listrik dan bahan bakar dari Israel memberikan “tombol pemati” bagi kehidupan ekonomi Palestina. Strategi energi harus beralih ke pengembangan sumber energi terbarukan, khususnya tenaga surya di Tepi Barat dan gas alam di lepas pantai Gaza (Gaza Marine). Eksplorasi gas ini, yang secara hukum adalah milik negara Palestina, harus segera dikelola bekerja sama dengan mitra internasional (seperti Mesir atau perusahaan Eropa) untuk menjamin kedaulatan energi dan pendapatan negara yang signifikan (World Bank, 2024). Pendapatan ini krusial untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada dana transfer pajak (clearance revenues) yang sering ditahan secara sewenang-wenang oleh Israel sebagai alat pemerasan politik.

Di sisi mikro, strategi ekonomi harus memberdayakan sektor produktif lokal, terutama pertanian dan manufaktur ringan, untuk mengurangi impor barang konsumsi dari Israel. Gerakan “Beli Produk Palestina” harus ditransformasi dari kampanye sosial menjadi kebijakan negara yang didukung oleh subsidi dan insentif pajak. Selain itu, pengembangan ekonomi digital dan sektor jasa berbasis teknologi (tech-outsourcing) menawarkan jalan keluar untuk mengatasi blokade fisik, memungkinkan pemuda Palestina yang terdidik untuk bekerja di pasar global tanpa harus melintasi pos pemeriksaan Israel. Tabel berikut merinci kerangka kerja strategis yang komprehensif untuk mewujudkan visi kemerdekaan ini.

Kerangka Strategis Menuju Kemerdekaan Penuh Pasca-Pengakuan (Roadmap 2025-2030)

Pilar StrategisTujuan UtamaLangkah Taktis & Kebijakan PrioritasIndikator Keberhasilan (KPI)
Diplomasi & HukumKeanggotaan Penuh PBB & Isolasi Israel1. Mengajukan kembali mosi keanggotaan penuh PBB setiap tahun. 2. Menuntut sanksi UE atas produk pemukiman. 3. Mendorong ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi pejabat militer Israel.Status “Member State” PBB; Embargo senjata oleh 5+ negara NATO; Putusan bersalah di ICC.
Politik InternalPenyatuan Wilayah & Legitimasi Demokratis1. Pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (Teknokrat). 2. Penyelenggaraan Pemilu Legislatif & Presiden dalam 12 bulan. 3. Integrasi kementerian Tepi Barat & Gaza.Satu pemerintahan tunggal di Ramallah & Gaza; Tingkat partisipasi pemilu >70%; Stabilitas keamanan internal.
Ekonomi & PembangunanKemandirian Fiskal & Ketahanan Pangan1. Revisi/Pembatalan sepihak Protokol Paris. 2. Eksplorasi ladang gas Gaza Marine. 3. Pengembangan ‘Solar Energy Grid’ independen. 4. Kanal perdagangan langsung via Yordania.Penurunan impor dari Israel sebesar 30%; Ekspor gas alam pertama; Surplus neraca perdagangan dengan negara Arab.
Sosial & SipilPenguatan Identitas & Resistensi Sipil (Sumud)1. Kurikulum pendidikan nasional anti-kolonial. 2. Dukungan dana negara untuk LSM & aktivis akar rumput. 3. Kampanye boikot budaya & akademik global terhadap institusi pendudukan.Peningkatan solidaritas global di kampus-kampus Barat; Penurunan emigrasi kaum muda (Brain Drain).

Sumber: Sintesis Penulis berdasarkan Dokumen Strategi Nasional Palestina (2023), Rekomendasi MAS (Palestine Economic Policy Research Institute) (2024), dan Laporan UNDP (2025).

Peran Masyarakat Sipil dan Solidaritas Transnasional

Strategi negara tidak bisa berjalan dalam ruang hampa elit politik; ia membutuhkan basis dukungan sosial yang kuat. Masyarakat sipil Palestina memiliki sejarah panjang dalam mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara atau otoritas yang lemah. Dalam fase pasca-pengakuan ini, peran LSM, serikat pekerja, dan organisasi kemahasiswaan harus diintegrasikan ke dalam “Grand Strategy” negara. Mereka berfungsi sebagai penjaga gawang moral yang mendokumentasikan pelanggaran HAM untuk keperluan litigasi internasional, serta sebagai motor penggerak gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang telah terbukti efektif menekan korporasi multinasional untuk menarik diri dari keterlibatan dalam pendudukan (Barghouti, 2024).

Pemerintah Palestina harus memfasilitasi, bukan membatasi, ruang gerak masyarakat sipil. Diplomasi publik (soft diplomacy) yang dilakukan oleh seniman, akademisi, dan diaspora Palestina seringkali lebih efektif dalam memenangkan hati dan pikiran publik global dibandingkan diplomasi resmi. Narasi Palestina harus bergeser dari sekadar korban kemanusiaan menjadi narasi pejuang kemerdekaan yang menuntut hak politik yang setara. Solidaritas transnasional, seperti demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2024, menunjukkan bahwa opini publik Barat sedang berubah drastis. Negara Palestina harus mengkapitalisasi ini dengan membangun jaringan “Friends of Palestine” yang terlembaga di parlemen-parlemen negara Barat untuk menekan kebijakan luar negeri pemerintah mereka masing-masing.

Terakhir, konsep Sumud (keteguhan) harus dimaknai ulang bukan hanya sebagai bertahan hidup pasif, tetapi sebagai “resistensi transformatif”. Ini berarti membangun institusi pendidikan, kesehatan, dan budaya yang unggul dan mandiri sebagai bukti kesiapan bernegara. Keberhasilan Palestina dalam mempertahankan identitas budaya dan kohesi sosial di tengah upaya penghapusan sistematis (scholasticide/cultural genocide) adalah bentuk perlawanan tertinggi. Oleh karena itu, investasi dalam modal manusia—pendidikan dan kesehatan—adalah bagian integral dari strategi pertahanan nasional.

Sebagai sintesis, pengakuan oleh lebih dari 10 negara Eropa dan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alat strategis (strategic leverage) yang membuka peluang baru bagi Palestina. Strategi ke depan menuntut pendekatan multidimensi yang mensinergikan tekanan diplomatik-hukum internasional, reformasi politik internal yang demokratis, dan pembangunan ekonomi yang resisten. Kemerdekaan penuh tidak akan diberikan secara sukarela oleh kekuatan pendudukan; ia harus direbut melalui akumulasi tekanan politik, biaya ekonomi bagi penjajah, dan ketahanan nasional yang tak terpatahkan. Dengan memanfaatkan momentum global 2024-2025, Palestina memiliki jendela kesempatan historis untuk mengubah peta geopolitik Timur Tengah dan mewujudkan kedaulatan yang nyata, bukan sekadar di atas kertas.

Daftar Pustaka

Al-Haq. (2024). Legal Implications of European Recognition: A Strategic Analysis. Ramallah: Al-Haq Organization.

Barghouti, O. (2024). Boycott as Resistance: The Future of the Global Solidarity Movement. London: Verso Books.

Eide, E. B. (2024). Norway’s Recognition of Palestine: A Call for a Renewed Peace Process. Oslo: Ministry of Foreign Affairs Norway.

European Commission. (2025). EU-Palestine Action Plan: Supporting State Building and Democratic Reform. Brussels: European Union External Action Service.

International Court of Justice. (2024). Legal Consequences arising from the Policies and Practices of Israel in the Occupied Palestinian Territory, including East Jerusalem (Advisory Opinion). The Hague: ICJ.

Kementerian Luar Negeri RI. (2024). Laporan Tahunan Diplomasi Indonesia: Fokus pada Isu Palestina dan Kerja Sama Selatan-Selatan. Jakarta: Kemlu RI.

MAS (Palestine Economic Policy Research Institute). (2024). Economic Disengagement from Israel: Scenarios and Strategic Options. Ramallah: MAS.

Power, S. (2025). The Role of International Courts in Conflict Resolution: Case Studies from the Middle East. New York: Oxford University Press.

Reuters. (2024). Spain, Ireland and Norway recognise Palestinian statehood. London: Reuters News Agency.

UNCTAD. (2023). Report on UNCTAD assistance to the Palestinian people: Developments in the economy of the Occupied Palestinian Territory. Geneva: United Nations.

World Bank. (2024). Palestinian Economic Monitoring Report: Energy Security and Fiscal Stability. Washington DC: The World Bank Group.

Xinhua. (2024). Beijing Declaration on Ending Division and Strengthening Palestinian National Unity. Beijing: Xinhua News Agency.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

Perjuangan Palestina: Dari Pengakuan ke Kedaulatan Efektif

01 Sunday Jun 2025

Posted by Setiawan in International Relations, Journal Articles

≈ Leave a comment

Tags

palestina, Palestine, Timur Tengah

Oleh

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina yang terjadi antara tahun 2024 dan 2025 menandai momentum historis dalam perjuangan diplomatik rakyat Palestina untuk mencapai kemerdekaan penuh dari pendudukan Israel. Pada Mei 2024, Irlandia, Norwegia, dan Spanyol secara terkoordinasi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, diikuti oleh Slovenia pada Juni 2024 (Euronews, 2025).

 Momentum ini mencapai puncaknya pada September 2025 ketika negara-negara besar termasuk Prancis, Inggris Raya, Kanada, Australia, Portugal, Belgia, Luksemburg, dan Malta secara resmi mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB ke-80, sehingga total pengakuan mencapai 156 dari 193 negara anggota PBB (Le Monde, 2025).

Pengakuan dari negara-negara Eropa Barat dan anggota G7 ini merupakan terobosan signifikan, mengingat selama ini mereka cenderung menahan diri untuk mengakui Palestina tanpa persetujuan Israel dan Amerika Serikat (Crisis Group, 2025). Namun, pengakuan diplomatik semata tidak secara otomatis menghasilkan kedaulatan teritorial yang efektif, sehingga Palestina perlu merumuskan strategi komprehensif untuk mentransformasikan pengakuan simbolik menjadi kemerdekaan substantif.

Transformasi Pengakuan Diplomatik Menjadi Kekuatan Politik

Pengakuan internasional terhadap negara Palestina membuka peluang strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam lanskap diplomatik global. Pengakuan dari negara-negara Eropa Barat, khususnya Prancis sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan negara G7 pertama yang mengakui Palestina, secara fundamental mengubah narasi politik internasional tentang konflik Israel-Palestina (Council on Foreign Relations, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan harus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi Otoritas Palestina sebagai representasi sah rakyat Palestina, meskipun terdapat kelemahan struktural internal (Carnegie Endowment, 2025). Pengakuan diplomatik juga membuka akses yang lebih luas bagi Palestina untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional khusus dan memperkuat upaya akuntabilitas hukum terhadap Israel melalui Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional, meskipun prospek ini sangat bergantung pada keseimbangan kekuatan dalam institusi-institusi internasional tersebut (Carnegie Endowment, 2025).

Strategi pemanfaatan pengakuan internasional harus berorientasi pada penciptaan fakta politik di lapangan melalui penguatan institusi-institusi negara Palestina. Otoritas Palestina perlu mempercepat reformasi internal untuk meningkatkan legitimasi domestik dan kapasitas tata kelola, mengingat krisis legitimasi yang dihadapinya akibat tidak adanya pemilihan umum sejak 2006 dan perpecahan dengan Hamas (Conversation, 2025). Perdana Menteri Mohammad Mustafa menekankan bahwa Otoritas Palestina telah memulai reformasi dan bahwa tata kelola yang efektif serta tindakan nyata lebih penting daripada pengaturan sementara internasional (Reuters, 2025). Reformasi ini mencakup demokratisasi institusi, peningkatan transparansi fiskal, penguatan supremasi hukum, dan pembangunan kapasitas administratif untuk membuktikan bahwa Palestina siap menjadi negara yang fungsional dan demokratis. Tabel berikut merangkum prioritas strategis Palestina dalam memanfaatkan pengakuan internasional:

Tabel 1. Prioritas Strategis Palestina Pasca Pengakuan Internasional

Dimensi StrategiTujuan UtamaLangkah ImplementasiTantangan
Diplomasi MultilateralMemperkuat status kenegaraan di PBB dan organisasi internasionalMengaktifkan keanggotaan penuh di badan-badan PBB khusus; meningkatkan kehadiran diplomatik globalVeto AS di Dewan Keamanan PBB; resistensi Israel terhadap partisipasi Palestina
Akuntabilitas HukumMenuntut pertanggungjawaban Israel atas pelanggaran hukum internasionalMengajukan kasus ke ICC dan ICJ; memanfaatkan status negara untuk yurisdiksi teritorialKeterbatasan penegakan keputusan internasional; tekanan politik dari negara-negara pendukung Israel
Reformasi InstitusionalMeningkatkan legitimasi dan kapasitas tata kelola Otoritas PalestinaMenyelenggarakan pemilu demokratis; reformasi sektor keamanan; peningkatan transparansi fiskalPerpecahan Fatah-Hamas; keterbatasan kontrol teritorial; resistensi elit politik terhadap perubahan
Pembangunan EkonomiMengurangi ketergantungan pada bantuan asing dan membangun ekonomi yang berdaulatDiversifikasi ekonomi; pengembangan infrastruktur; pembangunan zona ekonomiPembatasan pergerakan oleh Israel; fragmentasi teritorial; keterbatasan akses sumber daya
Persatuan NasionalMengakhiri perpecahan internal dan menciptakan front politik terpaduRekonsiliasi Fatah-Hamas; pembentukan pemerintahan persatuan nasional; integrasi faksi-faksi perlawananPerbedaan ideologis mendalam; kepentingan politik berbeda; pengaruh eksternal regional

Pengakuan internasional juga memberikan Palestina leverage diplomatik yang lebih kuat dalam negosiasi masa depan dengan Israel. Keputusan negara-negara seperti Inggris, Kanada, dan Australia untuk mengakui Palestina meskipun dengan kondisi tertentu seperti demiliterisasi, pengembalian sandera Hamas, dan eksklusi Hamas dari struktur pemerintahan menunjukkan bahwa pengakuan tidak bersifat tanpa syarat (Council on Foreign Relations, 2025). Palestina harus menavigasi kondisi-kondisi ini dengan hati-hati, memastikan bahwa prasyarat tersebut tidak mengorbankan kedaulatan esensial atau hak-hak fundamental rakyat Palestina. Strategi yang bijaksana adalah menggunakan pengakuan sebagai insentif untuk reformasi internal yang memang diperlukan untuk membangun negara yang fungsional, sambil menolak prasyarat yang dapat melemahkan posisi negosiasi Palestina atau mengabadikan dominasi Israel.

Mengatasi Perpecahan Internal dan Membangun Persatuan Nasional

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Palestina dalam merealisasikan kenegaraan penuh adalah perpecahan internal antara Fatah yang menguasai Tepi Barat dan Hamas yang mengendalikan Gaza sejak 2007. Perpecahan ini tidak hanya bersifat politik tetapi juga ideologis dan sosial, yang menghambat penyatuan wilayah Palestina dan penciptaan kerangka politik yang mencakup semua faksi serta mematuhi prinsip-prinsip fundamental pembentukan negara (Future UAE, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan internasional harus memprioritaskan rekonsiliasi nasional dan pembentukan pemerintahan persatuan sebagai prasyarat untuk transformasi Otoritas Palestina menjadi negara yang berdaulat dan fungsional. Tanpa persatuan internal, pengakuan internasional akan tetap bersifat simbolik dan tidak dapat diterjemahkan menjadi kedaulatan efektif di lapangan.

Proses rekonsiliasi Fatah-Hamas menghadapi hambatan struktural yang kompleks. Hamas, sebagai gerakan perlawanan Islam yang menolak pengakuan terhadap Israel, memiliki agenda politik dan ideologi yang berbeda fundamental dengan Fatah yang telah mengadopsi pendekatan negosiasi dan kompromi melalui Perjanjian Oslo (MJSS, 2016). Prinsip dasar Hamas dalam hubungan luar negeri adalah keterbukaan terhadap semua negara, partai politik, dan organisasi internasional kecuali Israel, dengan penekanan pada kepentingan publik rakyat Palestina (MJSS, 2016). Namun, kondisi yang ditetapkan oleh banyak negara yang baru mengakui Palestina, khususnya pengembalian sandera dan eksklusi Hamas dari pemerintahan Gaza, menciptakan tekanan eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kompromi politik. Prancis, misalnya, menetapkan bahwa hubungan diplomatik penuh hanya akan terjadi setelah Hamas mengembalikan semua sandera Israel dan Hamas tidak boleh memiliki bentuk kontrol apapun di dalam atau di luar Gaza (EU News, 2025).

Strategi rekonsiliasi yang realistis harus mengakui bahwa basis dukungan domestik Hamas di Gaza dan legitimasi perlawanannya terhadap pendudukan Israel tidak dapat diabaikan dalam rumusan politik Palestina yang inklusif. Survei menunjukkan bahwa antara 40 hingga 60 persen rakyat Palestina menginginkan negara sendiri, dengan peningkatan signifikan setelah bertahun-tahun dukungan menurun, yang menunjukkan bahwa gagasan kenegaraan menawarkan rasa keamanan di saat banyak Palestina merasa berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya (Crisis Group, 2025). Otoritas Palestina harus memanfaatkan aspirasi ini untuk membangun konsensus nasional yang melampaui perpecahan faktional. Proposal yang diadvokasi oleh Arab Saudi dan Prancis menekankan peran sentral Otoritas Palestina yang telah direformasi dan terpilih secara demokratis dalam pemerintahan Gaza, menggantikan Hamas dalam administrasi Jalur Gaza (EU News, 2025). Implementasi proposal ini memerlukan kompromi dari semua pihak: Hamas harus bersedia melepaskan kontrol eksklusif atas Gaza dan berpartisipasi dalam struktur politik demokratis, sementara Fatah harus mengakui legitimasi partisipasi politik Hamas dalam kerangka demokratis.

Pembentukan pemerintahan persatuan nasional yang inklusif juga memerlukan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil untuk Dewan Legislatif Palestina dan kepresidenan, yang tidak dilakukan sejak 2006. Pemilu demokratis akan memberikan legitimasi yang diperbaharui kepada kepemimpinan Palestina dan menciptakan mandat yang kuat untuk negosiasi dengan Israel dan pengejaran kenegaraan penuh. Namun, penyelenggaraan pemilu di bawah pendudukan militer Israel menghadapi tantangan praktis yang signifikan, termasuk pembatasan kampanye politik, penangkapan kandidat dan aktivis, dan ketidakmampuan Palestina di Yerusalem Timur untuk berpartisipasi secara penuh (Conversation, 2025). Israel historis telah menolak memberikan Otoritas Palestina kontrol administratif atas Palestina di Yerusalem Timur, yang seharusnya diatasi setelah periode lima tahun negosiasi tentang isu-isu status akhir termasuk Yerusalem, pemukiman Israel, perbatasan, pengungsi, dan keamanan (Conversation, 2025). Strategi Palestina harus menggunakan tekanan diplomatik internasional, khususnya dari negara-negara yang baru mengakui Palestina, untuk memaksa Israel mengizinkan proses elektoral yang inklusif dan bebas di semua wilayah Palestina termasuk Yerusalem Timur.

Membangun Kedaulatan Teritorial di Tengah Fragmentasi

Tantangan fundamental dalam realisasi kenegaraan Palestina adalah fragmentasi teritorial yang diakibatkan oleh ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat, khususnya di Area C yang mencakup sekitar 60 persen Tepi Barat dan berada di bawah kontrol penuh Israel. Pemukiman Israel telah menciptakan patchwork kantong-kantong Palestina yang terisolasi, yang dibandingkan dengan Bantustan era apartheid Afrika Selatan, dan membuat kontinuitas teritorial yang merupakan aspek fundamental dari kenegaraan menjadi hampir mustahil (GEODI, 2025). Operasi militer Israel yang berkelanjutan dan kekerasan pemukim semakin memperburuk ketegangan dan merusak prospek perdamaian (GEODI, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan internasional harus fokus pada pembalikan dinamika kolonial ini melalui kombinasi tekanan diplomatik, akuntabilitas hukum internasional, dan pembangunan fakta di lapangan yang mengkonsolidasikan kehadiran Palestina di wilayah-wilayah kritis.

Pengakuan internasional memberikan Palestina instrumen hukum yang lebih kuat untuk menantang legalitas pemukiman Israel dan aneksasi teritorial. Sebagai negara yang diakui, Palestina memiliki hak untuk menuntut kedaulatan atas wilayah teritorial dan ruang udaranya sebagai negara berdaulat yang diakui PBB, dan memberikan rakyat Palestina hak untuk menuntut kedaulatan atas wilayah mereka di Mahkamah Internasional dan mengajukan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, termasuk pendudukan ilegal atas wilayah negara Palestina, terhadap Israel di ICC (Wikipedia, 2025). Pada Desember 2014, ICC mengakui Palestina sebagai negara tanpa prasangka terhadap penentuan yudisial masa depan tentang isu kenegaraan (Wikipedia, 2025). Strategi litigasi internasional harus diperkuat dengan dokumentasi sistematis pelanggaran hukum internasional oleh Israel, termasuk kejahatan perang, transfer paksa populasi sipil, penghancuran properti, dan pembangunan pemukiman ilegal di wilayah yang diduduki.

Secara paralel dengan upaya hukum internasional, Palestina harus mengintensifkan diplomasi untuk mengamankan sanksi internasional terhadap Israel atas pelanggaran hukum internasional dan penolakan untuk mengakhiri pendudukan. Komisi Eropa telah mengusulkan sanksi terhadap Israel, dan dengan meningkatnya jumlah negara anggota Uni Eropa yang mengakui Palestina dari 12 menjadi potensi 17 negara, keseimbangan politik di tingkat Uni Eropa berubah untuk mendukung langkah-langkah yang lebih tegas terhadap kebijakan Israel (EU News, 2025). Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan kepala diplomat Uni Eropa Kaja Kallas menyebut penderitaan di Gaza sebagai tidak tertahankan dan tidak dapat dipertahankan (Euronews, 2025). Palestina harus memanfaatkan momentum politik ini untuk mendorong Uni Eropa mengadopsi sanksi ekonomi yang terukur terhadap Israel, termasuk penangguhan perjanjian asosiasi EU-Israel, embargo senjata, dan larangan impor produk dari pemukiman ilegal.

Di lapangan, strategi Palestina harus fokus pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi di Area C dan Yerusalem Timur untuk mengkonsolidasikan kehadiran Palestina dan mencegah ekspansi lebih lanjut pemukiman Israel. Ini termasuk pembangunan perumahan, sekolah, klinik kesehatan, dan infrastruktur dasar lainnya untuk komunitas Palestina yang menghadapi tekanan demografis dan ekonomi dari pemukiman Israel. Meskipun Israel memberlakukan pembatasan ketat pada pembangunan Palestina di Area C, pengakuan internasional memberikan Palestina argumen hukum dan politik yang lebih kuat untuk menantang pembatasan ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara yang diakui. Koordinasi dengan donor internasional untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di wilayah-wilayah yang diperebutkan juga krusial untuk menciptakan fakta di lapangan yang mendukung klaim kedaulatan Palestina.

Strategi Ekonomi untuk Kedaulatan yang Berkelanjutan

Kedaulatan politik Palestina tidak akan berkelanjutan tanpa kedaulatan ekonomi yang memungkinkan negara untuk membiayai fungsi-fungsi dasarnya dan menyediakan layanan kepada warganya tanpa ketergantungan yang berlebihan pada bantuan asing. Otoritas Palestina saat ini sangat bergantung pada bantuan internasional untuk membiayai operasinya, dan penelitian menunjukkan bahwa bantuan asing sering kali bertujuan mengakhiri perjuangan Palestina melawan pendudukan dan mendorong massa dan institusi Palestina untuk mendepolitisasi agenda mereka dan meninggalkan tujuan nasional (Granthaalayah, 2020). Bantuan asing tidak memiliki masalah dengan kelanjutan pendudukan Israel atau bahwa Palestina tidak pernah memiliki negara yang berdaulat; yang terpenting bagi donor sejak dimulainya proses perdamaian adalah menjaga keamanan Israel dan mempertahankan otoritas Palestina yang terbatas tanpa kapasitas untuk menimbulkan ancaman terhadap Israel (Granthaalayah, 2020). Strategi ekonomi Palestina pasca pengakuan harus fokus pada pembangunan ekonomi yang berdaulat dan berkelanjutan yang mengurangi ketergantungan pada bantuan yang bersifat politis.

Diversifikasi ekonomi adalah prioritas utama untuk mengurangi kerentanan ekonomi Palestina dan menciptakan sumber pendapatan yang stabil. Ekonomi Palestina saat ini sangat bergantung pada sektor jasa dan pekerjaan di Israel, yang membuat Palestina rentan terhadap pembatasan pergerakan dan kebijakan ekonomi Israel. Pengembangan sektor manufaktur, pertanian modern, teknologi informasi, dan pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja domestik dan mengurangi ketergantungan pada Israel. Namun, pembangunan ekonomi menghadapi hambatan struktural yang signifikan termasuk pembatasan pergerakan barang dan orang oleh Israel, fragmentasi teritorial yang menghambat integrasi ekonomi antara Tepi Barat dan Gaza, dan keterbatasan akses ke sumber daya alam termasuk air dan tanah subur di Area C.

Strategi untuk mengatasi hambatan ini meliputi negosiasi dengan Israel untuk perjanjian ekonomi yang lebih adil yang memberikan Palestina kontrol lebih besar atas perbatasan, perdagangan, dan sumber daya alamnya. Protokol Ekonomi Paris 1994 yang mengatur hubungan ekonomi Israel-Palestina telah dikritik karena menciptakan ketergantungan asimetris yang menguntungkan Israel dan membatasi kemampuan Palestina untuk mengembangkan kebijakan ekonomi independen. Revisi atau penggantian protokol ini harus menjadi prioritas dalam negosiasi masa depan, dengan tujuan memberikan Palestina kedaulatan penuh atas kebijakan perdagangan, fiskal, dan moneternya. Pengakuan internasional juga membuka peluang untuk Palestina mengakses pasar internasional secara lebih langsung dan mengembangkan hubungan perdagangan bilateral dengan negara-negara yang mengakui kedaulatannya, mengurangi peran Israel sebagai perantara ekonomi yang dominan.

Investasi dalam infrastruktur ekonomi juga krusial untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ini termasuk pembangunan pelabuhan laut di Gaza yang akan memberikan Palestina akses langsung ke perdagangan internasional tanpa melalui Israel, pengembangan bandara internasional, modernisasi infrastruktur energi untuk mengurangi ketergantungan pada listrik Israel, dan pembangunan zona ekonomi khusus yang menarik investasi asing. Donor internasional dan negara-negara yang mengakui Palestina harus diminta untuk memberikan dukungan teknis dan finansial untuk proyek-proyek infrastruktur strategis ini sebagai bagian dari komitmen mereka terhadap kenegaraan Palestina yang viable. Tabel berikut merangkum tantangan ekonomi utama dan strategi untuk mengatasinya:

Tabel 2. Tantangan Ekonomi dan Strategi Pembangunan Kedaulatan Ekonomi Palestina

Tantangan EkonomiDampak terhadap KedaulatanStrategi MitigasiAktor Pendukung
Ketergantungan pada bantuan asingKeterbatasan otonomi kebijakan; kerentanan terhadap tekanan politik donorDiversifikasi sumber pendapatan domestik; reformasi fiskal; pengembangan sektor produktifNegara-negara pengakui Palestina; organisasi pembangunan internasional
Pembatasan pergerakan dan akses oleh IsraelFragmentasi ekonomi; biaya transaksi tinggi; keterbatasan akses pasarNegosiasi perjanjian ekonomi yang lebih adil; pembangunan infrastruktur konektivitas internalMediator internasional; Uni Eropa sebagai fasilitator
Fragmentasi teritorial Tepi Barat-GazaKetidakmampuan menciptakan pasar internal terintegrasi; duplikasi infrastrukturPembangunan koridor fisik menghubungkan Gaza-Tepi Barat; harmonisasi regulasi ekonomiDukungan internasional untuk infrastruktur; koordinasi Otoritas Palestina-Hamas
Keterbatasan akses sumber daya (air, tanah, energi)Hambatan pengembangan pertanian dan industri; ketergantungan pada imporPenguatan hak kedaulatan atas sumber daya alam; investasi dalam teknologi efisiensi sumber dayaDukungan hukum internasional; bantuan teknis untuk manajemen sumber daya
Protokol Ekonomi Paris yang asimetrisKeterbatasan otonomi kebijakan perdagangan, fiskal, dan moneterRenegosiasi atau penggantian protokol; pengembangan kebijakan ekonomi independenNegara-negara yang mengakui Palestina sebagai pendukung negosiasi
Keterbatasan akses pasar internasionalKetergantungan pada Israel sebagai perantara; keterbatasan diversifikasi eksporPembangunan pelabuhan dan bandara; pengembangan perjanjian perdagangan bilateralNegara-negara pengakui sebagai mitra dagang; organisasi perdagangan internasional

Memanfaatkan Momentum Internasional untuk Solusi Dua Negara

Gelombang pengakuan internasional terhadap Palestina pada 2024-2025 sebagian besar didorong oleh komitmen untuk menghidupkan kembali solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan keluar yang viable dari konflik Israel-Palestina. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bahwa di tengah meningkatnya kengerian di Timur Tengah, Inggris bertindak untuk menjaga kemungkinan perdamaian dan solusi dua negara yang berarti Israel yang aman dan terjamin bersama dengan negara Palestina yang viable, dan saat ini tidak ada yang satu atau yang lain (EU News, 2025). Namun, prospek solusi dua negara menghadapi tantangan yang sangat besar dari pemerintahan sayap kanan Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu yang secara eksplisit menolak pembentukan negara Palestina dalam bentuk apapun dan berkomitmen pada visi Israel Raya yang mencakup seluruh Palestina historis (Richard Falk, 2025).

Netanyahu menandakan melalui serangan Doha pada 13 September yang berusaha membunuh tim negosiasi Hamas bahwa prioritas Israel tetap pada pemusnahan Hamas sebagai sumber perlawanan, mendiskreditkan Otoritas Palestina sebagai tidak mampu menjadi mitra perdamaian, dan komitmen yang tidak tergoyahkan terhadap Israel Raya yang mengimplikasikan penolakan terhadap bentuk kenegaraan Palestina apapun, betapapun terbatasnya (Richard Falk, 2025). Dalam konteks ini, strategi Palestina tidak dapat mengandalkan kesediaan Israel untuk bernegosiasi dengan itikad baik atau menerima solusi dua negara melalui kompromi bilateral. Sebaliknya, Palestina harus memanfaatkan tekanan internasional yang meningkat pada Israel untuk mengubah kalkulasi cost-benefit kebijakan penolakan Israel terhadap kenegaraan Palestina.

Strategi ini memerlukan koordinasi yang erat dengan negara-negara yang baru mengakui Palestina untuk memastikan bahwa pengakuan bukan hanya gestur diplomatik satu kali tetapi komitmen berkelanjutan untuk tindakan konkret yang mendukung realisasi kenegaraan Palestina. Crisis Group menekankan bahwa para pembuat kebijakan perlu bergulat dengan bagaimana membuat kenegaraan menjadi kendaraan yang efektif untuk hak, keamanan, dan penentuan nasib sendiri Palestina, bukan tujuan itu sendiri; agar pengakuan memiliki dampak apapun, itu harus menjadi komitmen berkelanjutan untuk bertindak, bukan gestur diplomatik satu kali, dan para pemimpin dunia harus berjanji untuk melakukan langkah-langkah spesifik yang akan memiliki efek langsung dan nyata (Crisis Group, 2025). Langkah-langkah konkret ini dapat mencakup sanksi ekonomi bertarget terhadap pemukiman Israel dan pemukim yang terlibat dalam kekerasan, embargo senjata terhadap Israel selama melanjutkan pendudukan, penangguhan perjanjian perdagangan preferensial dengan Israel, dan dukungan aktif untuk yurisdiksi ICC dan ICJ atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Palestina.

Palestina juga harus memperkuat aliansi dengan negara-negara berkembang dan gerakan solidaritas global yang mendukung perjuangan pembebasan Palestina. Pengalaman Amerika Selatan dalam pengakuan diplomatik negara Palestina menunjukkan bahwa solidaritas Selatan-Selatan dapat menjadi kekuatan yang kuat dalam mengubah norma-norma internasional tentang konflik (Social Science Journal, 2016). Semua negara Amerika Selatan kecuali satu telah memberikan beberapa bentuk pengakuan diplomatik kepada Palestina sebagai isu sentral Konvensi Montevideo tentang Kenegaraan (Social Science Journal, 2016). Memperkuat hubungan dengan BRICS, Gerakan Non-Blok, Organisasi Kerjasama Islam, dan Liga Arab dapat memberikan Palestina dukungan diplomatik, ekonomi, dan politik yang lebih luas untuk mengimbangi dukungan yang diberikan negara-negara Barat kepada Israel.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina oleh lebih dari 150 negara, termasuk negara-negara Eropa Barat dan anggota G7, merupakan pencapaian diplomatik yang signifikan yang membuka peluang strategis baru untuk mewujudkan kemerdekaan penuh. Namun, pengakuan diplomatik semata tidak cukup untuk mengakhiri pendudukan Israel atau menciptakan negara Palestina yang berdaulat dan fungsional di lapangan. Strategi Palestina pasca pengakuan harus komprehensif dan multi-dimensi, mencakup penguatan institusi domestik melalui reformasi dan demokratisasi, pencapaian persatuan nasional dengan mengakhiri perpecahan Fatah-Hamas, pembangunan kedaulatan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan asing, pemanfaatan instrumen hukum internasional untuk menantang legalitas pendudukan dan pemukiman Israel, mobilisasi tekanan diplomatik internasional untuk sanksi terhadap pelanggaran Israel, dan konsolidasi kehadiran fisik Palestina di wilayah-wilayah yang diperebutkan melalui pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi.

Keberhasilan strategi ini bergantung pada kemampuan kepemimpinan Palestina untuk mengatasi perpecahan internal, meningkatkan legitimasi domestik melalui proses demokratis, dan membangun aliansi internasional yang luas yang berkomitmen tidak hanya pada pengakuan simbolik tetapi pada tindakan konkret yang mendukung realisasi kedaulatan Palestina. Pengakuan internasional harus ditransformasikan dari gestur diplomatik menjadi komitmen berkelanjutan untuk aksi yang menciptakan biaya nyata bagi kelanjutan pendudukan Israel dan memberikan dukungan material untuk pembangunan negara Palestina yang viable. Hanya dengan strategi yang koheren dan komprehensif yang menggabungkan tekanan internasional, reformasi internal, persatuan nasional, dan pembangunan ekonomi, pengakuan internasional dapat diterjemahkan menjadi kemerdekaan substantif dan kedaulatan penuh bagi rakyat Palestina.

DAFTAR PUSTAKA

Carnegie Endowment. (2025). Palestine, the wave of Western recognition, and a global system in flux. Carnegie Endowment for International Peace.

Council on Foreign Relations. (2025). The quest for Palestinian statehood: What to know. CFR.

Crisis Group. (2025). Can the world make recognition of Palestine’s statehood matter? International Crisis Group.

EU News. (2025). France and four other EU countries ready, states that recognise Palestine almost 160. EU News.

Euronews. (2025). Which EU countries recognise Palestine amid France’s decision? Euronews.

Future UAE. (2025). Implementing the two-state solution: Prospects and challenges after the Gaza war. Future for Advanced Research and Studies.

GEODI. (2025). Assessing the two-state solution: Feasibility, challenges and alternatives. GEODI International Relations.

Granthaalayah. (2020). Palestinian perspectives on foreign aid. International Journal of Research.

Le Monde. (2025). Map: The countries that recognize a Palestinian state. Le Monde.

MJSS. (2016). Exploring the key principles of Hamas foreign relations. Mediterranean Journal of Social Sciences.

Reuters. (2025). Palestinian Authority plans for major role in post-war Gaza despite US blueprint. Reuters.

Richard Falk. (2025). Palestinian statehood and the winding road to Palestinian self-determination. Richard Falk Official Website.

Social Science Journal. (2016). Diplomatic dominos: South America and the recognition of Palestine. Social Science Journal.

The Conversation. (2025). The Palestinian Authority is facing a legitimacy crisis: Can it be reformed to govern a Palestinian state? The Conversation.

Wikipedia. (2025). International recognition of Palestine. Wikipedia.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...

Rencana Aneksasi Israel terhadap Tepi Barat Berbahaya

10 Friday Jul 2020

Posted by Setiawan in Hubungan Internasional

≈ Leave a comment

Tags

palestina, Tepi Barat, Timur Tengah

Rencana aneksasi Israel terhadap 30 persen Tepi Barat merupakan langkah yang berbahaya bagi perdamaian di Timur Tengah. Rencana ini jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum internasional setelah pendudukan terhadap Tepi Barat yang sudah berlangsung 70 tahun ini. (to be continued)

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
  • Click to print (Opens in new window) Print
Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • Bencana Alam di Sumatera: Pemicu dan Solusi Berkelanjutan
  • Statecraft 3.0: AI dan Masa Depan Diplomasi
  • Perang Dagang Amerika-China 2025: Analisis Implikasi terhadap Ekonomi Asia Tenggara
  • Strategi Palestina Pasca Pengakuan Internasional
  • Perjuangan Palestina: Dari Pengakuan ke Kedaulatan Efektif

Archives

Categories

My Tweets

Pages

  • About
  • Academic Profile
  • Bahasa Inggris Diplomasi
  • Karya Jurnalistik
  • My Books
  • Pengantar Hubungan Internasional
  • Politik Luar Negeri Indonesia

Create a website or blog at WordPress.com

  • Subscribe Subscribed
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • Jurnal Asep Setiawan
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d