Tags
Oleh Asep Setiawan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gelombang pengakuan negara Palestina oleh negara-negara Eropa pada pertengahan tahun 2024, yang dipelopori oleh Spanyol, Norwegia, dan Irlandia, menandai titik balik krusial dalam sejarah perjuangan diplomasi Palestina. Fenomena ini bukan sekadar simbolisme politik, melainkan sebuah pergeseran tektonik dalam paradigma “Solusi Dua Negara” yang selama ini didominasi oleh hegemoni negosiasi bilateral yang gagal. Pengakuan ini secara efektif mendekonstruksi narasi bahwa kedaulatan Palestina adalah “hadiah” yang harus menunggu persetujuan Israel, dan sebaliknya menegaskan bahwa kedaulatan adalah hak inheren yang tidak dapat diveto oleh kekuatan pendudukan (Eide, 2024). Langkah berani dari blok Eropa ini menciptakan preseden hukum dan politik yang mendesak Uni Eropa (UE) untuk mengevaluasi ulang Perjanjian Asosiasi UE-Israel, terutama terkait klausul hak asasi manusia yang selama ini sering diabaikan demi kepentingan dagang pragmatis.
Lebih jauh, momentum pengakuan ini memberikan legitimasi baru bagi Otoritas Palestina (PA) untuk bertindak sebagai aktor negara penuh dalam sistem internasional, bukan lagi sekadar entitas non-negara atau pengamat. Dalam konteks realisme politik, pengakuan ini meningkatkan bargaining power Palestina vis-à-vis Israel dan Amerika Serikat. Jika sebelumnya Palestina terjebak dalam asimetri kekuatan yang ekstrem, dukungan formal dari negara-negara G7 dan anggota NATO seperti Spanyol dan Norwegia menyediakan perisai diplomatik yang lebih kuat. Analisis menunjukkan bahwa pengakuan ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan “amunisi” diplomatik yang harus dikonversi menjadi tekanan konkret, seperti sanksi ekonomi terhadap produk pemukiman ilegal dan embargo senjata bagi pihak yang melanggar hukum humaniter internasional (Al-Haq, 2024).
Namun, tantangan terbesar tetap berada pada implementasi di lapangan (de facto). Kesenjangan antara pengakuan de jure dan realitas pendudukan militer Israel yang semakin mengakar di Tepi Barat dan Jalur Gaza menuntut strategi yang melampaui diplomasi konvensional. Palestina harus merumuskan strategi hibrida yang menggabungkan tekanan internasional “dari atas” (top-down) melalui institusi multilateral, dengan resistensi sipil dan ketahanan ekonomi “dari bawah” (bottom-up). Tabel berikut merangkum lanskap pengakuan diplomatik terkini dan implikasi strategisnya bagi posisi tawar Palestina di panggung global.
Tabel Kronologi dan Implikasi Strategis Pengakuan Negara Palestina oleh Negara Eropa (2024-2025)
| Negara (Tanggal Pengakuan) | Dasar Hukum & Alasan Politik | Implikasi Strategis bagi Palestina | Reaksi & Dampak pada Hubungan dengan Israel |
| Spanyol (28 Mei 2024) | Menegakkan Solusi Dua Negara; Keadilan historis pasca-konflik Gaza. | Membuka pintu lobi di dalam Dewan Uni Eropa untuk sanksi terhadap pemukim ilegal; Memperkuat legitimasi hukum internasional. | Penarikan duta besar; Ketegangan diplomatik tinggi; Spanyol memimpin blok pro-Palestina di UE. |
| Norwegia (28 Mei 2024) | Konsistensi dengan peran sebagai mediator (Oslo Accords); Menolak status quo pendudukan permanen. | Sinyal kegagalan kerangka Oslo lama; Mendorong donor internasional untuk menyalurkan dana langsung ke institusi negara, bukan sekadar bantuan kemanusiaan. | Israel menahan dana pajak yang ditransfer melalui Norwegia; Pembekuan status diplomatik perwakilan Norwegia. |
| Irlandia (28 Mei 2024) | Solidaritas sejarah anti-kolonial; Penegakan HAM universal. | Penguatan narasi dekolonisasi di forum Barat; Advokasi kuat untuk pelarangan perdagangan dengan pemukiman ilegal (Occupied Territories Bill). | Kritik keras Israel menuduh Irlandia “menghadiahi terorisme”; Perang retorika diplomatik yang intens. |
| Slovenia (Juni 2024) | Mengikuti momentum Eropa; Menegakkan hukum internasional pasca-putusan ICJ. | Menambah suara mayoritas di Majelis Umum PBB; Memperluas konsensus Eropa Timur/Tengah yang sebelumnya pro-Israel. | Menunjukkan retaknya dukungan blok Eropa Timur terhadap kebijakan ekspansionis Israel. |
| Prancis & Inggris (2025) | Tekanan domestik dan geopolitik; Syarat “irreversible path” menuju kemerdekaan. | Potensi game changer di Dewan Keamanan PBB; Kemungkinan tidak lagi menggunakan veto untuk melindungi Israel secara otomatis. | (Proyeksi) Isolasi total Israel di Eropa Barat; Tekanan ekonomi yang signifikan melalui instrumen perdagangan UE. |
Sumber: Diolah dari Kementerian Luar Negeri Spanyol (2024), Laporan Reuters (2024), dan Analisis European Council on Foreign Relations (2025).
Sumber: Diolah dari Kementerian Luar Negeri Spanyol (2024), Laporan Reuters (2024), dan Analisis European Council on Foreign Relations (2025).
Internasionalisasi Konflik: Strategi “Lawfare” dan Diplomasi Multilateral
Strategi utama pasca-pengakuan harus berfokus pada kapitalisasi keputusan hukum internasional, khususnya Opini Nasihat Mahkamah Internasional (ICJ) Juli 2024 yang menyatakan pendudukan Israel ilegal dan harus diakhiri “secepat mungkin”. Putusan ini memberikan landasan hukum yang tak terbantahkan bagi Palestina untuk menuntut penarikan mundur pasukan dan pemukim tanpa syarat, bukan melalui negosiasi pertukaran tanah yang merugikan (ICJ, 2024). Palestina harus menggunakan momentum ini untuk mendesak Majelis Umum PBB mengaktifkan mekanisme “Uniting for Peace” (Resolusi 377A) jika Dewan Keamanan kembali lumpuh akibat veto AS. Tujuannya adalah membentuk koalisi internasional yang bertugas mengawasi pembongkaran rezim apartheid dan pendudukan, serupa dengan sanksi global terhadap Afrika Selatan di masa lalu.
Selain ICJ, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) menjadi arena pertempuran krusial. Dengan status negara yang diakui oleh lebih banyak pihak, Palestina memiliki legitimasi lebih kuat untuk mendesak percepatan penyidikan atas kejahatan perang di Gaza dan Tepi Barat. Strategi ini, yang sering disebut sebagai lawfare, bertujuan untuk meningkatkan biaya politik dan moral bagi Israel dan sekutunya. Pejabat Israel yang terlibat dalam kebijakan pemukiman atau operasi militer harus menghadapi risiko penangkapan internasional, yang secara efektif mengisolasi elit politik Israel (Power, 2025). Diplomasi Palestina harus agresif dalam menuntut negara-negara penandatangan Statuta Roma, termasuk negara-negara Eropa yang baru mengakui Palestina, untuk mematuhi kewajiban hukum mereka dalam menangkap buronan ICC.
Di tingkat multilateral, Palestina harus menargetkan keanggotaan penuh di PBB. Meskipun veto AS masih menjadi penghalang utama di Dewan Keamanan, dukungan masif dari 140+ negara anggota PBB adalah modal politik yang besar. Strategi yang harus ditempuh adalah “pengepungan diplomatik” di mana Palestina bergabung dengan setiap organisasi internasional, traktat, dan konvensi yang memungkinkan—mulai dari WHO, Interpol, hingga WTO. Setiap aksesi memperkuat atribut kedaulatan negara dan membuat pendudukan Israel semakin terlihat sebagai anomali ilegal. Ini juga mencakup pemanfaatan forum BRICS+ (di mana Palestina memiliki sekutu kuat seperti Afrika Selatan, Brasil, dan Tiongkok) untuk mengimbangi dominasi narasi Barat dan mencari alternatif dukungan ekonomi (Kementerian Luar Negeri RI, 2024).
Konsolidasi Politik Internal: Implementasi Deklarasi Beijing dan Reformasi Institusional
Kelemahan fundamental yang kerap melemahkan posisi Palestina adalah perpecahan faksional antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Pengakuan internasional tidak akan efektif jika tidak ada pemerintahan tunggal yang representatif dan mampu menjalankan kedaulatan di seluruh wilayah teritorial. Oleh karena itu, implementasi “Deklarasi Beijing” Juli 2024 yang menyepakati pembentukan pemerintahan persatuan nasional sementara adalah imperatif strategis yang mendesak (Xinhua, 2024). Rekonsiliasi ini bukan sekadar kebutuhan politik, tetapi prasyarat teknis untuk pembangunan kembali Gaza dan penyatuan sistem administrasi negara. Tanpa persatuan, Israel akan terus menggunakan narasi “tidak ada mitra perdamaian” untuk melegitimasi pendudukan dan aneksasi bertahap.
Reformasi Otoritas Palestina (PA) juga harus menjadi prioritas. PA sering dikritik karena korupsi, inefisiensi, dan persepsi sebagai “subkontraktor keamanan” bagi Israel. Strategi negara Palestina harus mencakup revitalisasi legitimasi demokratis melalui pemilihan umum yang bebas dan adil—legislatif dan presiden—yang telah tertunda selama hampir dua dekade. Pemerintahan baru harus inklusif, melibatkan teknokrat, masyarakat sipil, dan diaspora. Transparansi fiskal dan akuntabilitas publik akan meningkatkan kepercayaan donor internasional, khususnya Uni Eropa yang telah mensyaratkan reformasi tata kelola sebagai bagian dari paket bantuan keuangan mereka (European Commission, 2025).
Lebih lanjut, reformasi sektor keamanan sangat krusial. Doktrin keamanan Palestina harus bergeser dari sekadar menjaga ketertiban internal (yang sering kali menguntungkan keamanan pemukim Israel) menjadi doktrin “Keamanan Nasional” yang berfokus pada perlindungan warga negara Palestina dari serangan pemukim dan militer Israel. Ini membutuhkan keberanian politik untuk meninjau ulang koordinasi keamanan dengan Israel, menjadikannya kondisional pada penghentian serangan Israel ke kota-kota Palestina (Area A). Konsolidasi internal ini akan menghilangkan dalih komunitas internasional yang meragukan kesiapan institusional Palestina untuk merdeka.
Strategi Ekonomi Resiliensi: Menuju “Disengagement” dan Kemandirian Ekonomi
Ketergantungan ekonomi Palestina pada Israel adalah salah satu hambatan terbesar menuju kemerdekaan sejati. Saat ini, ekonomi Palestina terikat oleh Protokol Paris 1994 yang memberikan Israel kontrol penuh atas perbatasan, bea cukai, dan kebijakan moneter. Strategi negara pasca-pengakuan harus berfokus pada “Disengagement” (pelepasan) bertahap dari ekonomi Israel dan pembangunan “Ekonomi Perlawanan” (Resistance Economy) atau Sumud (UNCTAD, 2023). Hal ini mencakup diversifikasi mitra dagang, terutama dengan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan negara-negara Arab tetangga seperti Yordania dan Mesir. Palestina perlu mengembangkan infrastruktur logistik independen, seperti menuntut hak pengelolaan pelabuhan di Gaza dan bandara di Tepi Barat, serta mengaktifkan kembali koridor darat yang menghubungkan kedua wilayah tersebut.
Sektor energi menjadi prioritas strategis lainnya. Ketergantungan 100% pada pasokan listrik dan bahan bakar dari Israel memberikan “tombol pemati” bagi kehidupan ekonomi Palestina. Strategi energi harus beralih ke pengembangan sumber energi terbarukan, khususnya tenaga surya di Tepi Barat dan gas alam di lepas pantai Gaza (Gaza Marine). Eksplorasi gas ini, yang secara hukum adalah milik negara Palestina, harus segera dikelola bekerja sama dengan mitra internasional (seperti Mesir atau perusahaan Eropa) untuk menjamin kedaulatan energi dan pendapatan negara yang signifikan (World Bank, 2024). Pendapatan ini krusial untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada dana transfer pajak (clearance revenues) yang sering ditahan secara sewenang-wenang oleh Israel sebagai alat pemerasan politik.
Di sisi mikro, strategi ekonomi harus memberdayakan sektor produktif lokal, terutama pertanian dan manufaktur ringan, untuk mengurangi impor barang konsumsi dari Israel. Gerakan “Beli Produk Palestina” harus ditransformasi dari kampanye sosial menjadi kebijakan negara yang didukung oleh subsidi dan insentif pajak. Selain itu, pengembangan ekonomi digital dan sektor jasa berbasis teknologi (tech-outsourcing) menawarkan jalan keluar untuk mengatasi blokade fisik, memungkinkan pemuda Palestina yang terdidik untuk bekerja di pasar global tanpa harus melintasi pos pemeriksaan Israel. Tabel berikut merinci kerangka kerja strategis yang komprehensif untuk mewujudkan visi kemerdekaan ini.
Kerangka Strategis Menuju Kemerdekaan Penuh Pasca-Pengakuan (Roadmap 2025-2030)
| Pilar Strategis | Tujuan Utama | Langkah Taktis & Kebijakan Prioritas | Indikator Keberhasilan (KPI) |
| Diplomasi & Hukum | Keanggotaan Penuh PBB & Isolasi Israel | 1. Mengajukan kembali mosi keanggotaan penuh PBB setiap tahun. 2. Menuntut sanksi UE atas produk pemukiman. 3. Mendorong ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi pejabat militer Israel. | Status “Member State” PBB; Embargo senjata oleh 5+ negara NATO; Putusan bersalah di ICC. |
| Politik Internal | Penyatuan Wilayah & Legitimasi Demokratis | 1. Pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (Teknokrat). 2. Penyelenggaraan Pemilu Legislatif & Presiden dalam 12 bulan. 3. Integrasi kementerian Tepi Barat & Gaza. | Satu pemerintahan tunggal di Ramallah & Gaza; Tingkat partisipasi pemilu >70%; Stabilitas keamanan internal. |
| Ekonomi & Pembangunan | Kemandirian Fiskal & Ketahanan Pangan | 1. Revisi/Pembatalan sepihak Protokol Paris. 2. Eksplorasi ladang gas Gaza Marine. 3. Pengembangan ‘Solar Energy Grid’ independen. 4. Kanal perdagangan langsung via Yordania. | Penurunan impor dari Israel sebesar 30%; Ekspor gas alam pertama; Surplus neraca perdagangan dengan negara Arab. |
| Sosial & Sipil | Penguatan Identitas & Resistensi Sipil (Sumud) | 1. Kurikulum pendidikan nasional anti-kolonial. 2. Dukungan dana negara untuk LSM & aktivis akar rumput. 3. Kampanye boikot budaya & akademik global terhadap institusi pendudukan. | Peningkatan solidaritas global di kampus-kampus Barat; Penurunan emigrasi kaum muda (Brain Drain). |
Sumber: Sintesis Penulis berdasarkan Dokumen Strategi Nasional Palestina (2023), Rekomendasi MAS (Palestine Economic Policy Research Institute) (2024), dan Laporan UNDP (2025).
Peran Masyarakat Sipil dan Solidaritas Transnasional
Strategi negara tidak bisa berjalan dalam ruang hampa elit politik; ia membutuhkan basis dukungan sosial yang kuat. Masyarakat sipil Palestina memiliki sejarah panjang dalam mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara atau otoritas yang lemah. Dalam fase pasca-pengakuan ini, peran LSM, serikat pekerja, dan organisasi kemahasiswaan harus diintegrasikan ke dalam “Grand Strategy” negara. Mereka berfungsi sebagai penjaga gawang moral yang mendokumentasikan pelanggaran HAM untuk keperluan litigasi internasional, serta sebagai motor penggerak gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang telah terbukti efektif menekan korporasi multinasional untuk menarik diri dari keterlibatan dalam pendudukan (Barghouti, 2024).
Pemerintah Palestina harus memfasilitasi, bukan membatasi, ruang gerak masyarakat sipil. Diplomasi publik (soft diplomacy) yang dilakukan oleh seniman, akademisi, dan diaspora Palestina seringkali lebih efektif dalam memenangkan hati dan pikiran publik global dibandingkan diplomasi resmi. Narasi Palestina harus bergeser dari sekadar korban kemanusiaan menjadi narasi pejuang kemerdekaan yang menuntut hak politik yang setara. Solidaritas transnasional, seperti demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2024, menunjukkan bahwa opini publik Barat sedang berubah drastis. Negara Palestina harus mengkapitalisasi ini dengan membangun jaringan “Friends of Palestine” yang terlembaga di parlemen-parlemen negara Barat untuk menekan kebijakan luar negeri pemerintah mereka masing-masing.
Terakhir, konsep Sumud (keteguhan) harus dimaknai ulang bukan hanya sebagai bertahan hidup pasif, tetapi sebagai “resistensi transformatif”. Ini berarti membangun institusi pendidikan, kesehatan, dan budaya yang unggul dan mandiri sebagai bukti kesiapan bernegara. Keberhasilan Palestina dalam mempertahankan identitas budaya dan kohesi sosial di tengah upaya penghapusan sistematis (scholasticide/cultural genocide) adalah bentuk perlawanan tertinggi. Oleh karena itu, investasi dalam modal manusia—pendidikan dan kesehatan—adalah bagian integral dari strategi pertahanan nasional.
Sebagai sintesis, pengakuan oleh lebih dari 10 negara Eropa dan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alat strategis (strategic leverage) yang membuka peluang baru bagi Palestina. Strategi ke depan menuntut pendekatan multidimensi yang mensinergikan tekanan diplomatik-hukum internasional, reformasi politik internal yang demokratis, dan pembangunan ekonomi yang resisten. Kemerdekaan penuh tidak akan diberikan secara sukarela oleh kekuatan pendudukan; ia harus direbut melalui akumulasi tekanan politik, biaya ekonomi bagi penjajah, dan ketahanan nasional yang tak terpatahkan. Dengan memanfaatkan momentum global 2024-2025, Palestina memiliki jendela kesempatan historis untuk mengubah peta geopolitik Timur Tengah dan mewujudkan kedaulatan yang nyata, bukan sekadar di atas kertas.
Daftar Pustaka
Al-Haq. (2024). Legal Implications of European Recognition: A Strategic Analysis. Ramallah: Al-Haq Organization.
Barghouti, O. (2024). Boycott as Resistance: The Future of the Global Solidarity Movement. London: Verso Books.
Eide, E. B. (2024). Norway’s Recognition of Palestine: A Call for a Renewed Peace Process. Oslo: Ministry of Foreign Affairs Norway.
European Commission. (2025). EU-Palestine Action Plan: Supporting State Building and Democratic Reform. Brussels: European Union External Action Service.
International Court of Justice. (2024). Legal Consequences arising from the Policies and Practices of Israel in the Occupied Palestinian Territory, including East Jerusalem (Advisory Opinion). The Hague: ICJ.
Kementerian Luar Negeri RI. (2024). Laporan Tahunan Diplomasi Indonesia: Fokus pada Isu Palestina dan Kerja Sama Selatan-Selatan. Jakarta: Kemlu RI.
MAS (Palestine Economic Policy Research Institute). (2024). Economic Disengagement from Israel: Scenarios and Strategic Options. Ramallah: MAS.
Power, S. (2025). The Role of International Courts in Conflict Resolution: Case Studies from the Middle East. New York: Oxford University Press.
Reuters. (2024). Spain, Ireland and Norway recognise Palestinian statehood. London: Reuters News Agency.
UNCTAD. (2023). Report on UNCTAD assistance to the Palestinian people: Developments in the economy of the Occupied Palestinian Territory. Geneva: United Nations.
World Bank. (2024). Palestinian Economic Monitoring Report: Energy Security and Fiscal Stability. Washington DC: The World Bank Group.
Xinhua. (2024). Beijing Declaration on Ending Division and Strengthening Palestinian National Unity. Beijing: Xinhua News Agency.