Tags
Asep Setiawan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina yang terjadi antara tahun 2024 dan 2025 menandai momentum historis dalam perjuangan diplomatik rakyat Palestina untuk mencapai kemerdekaan penuh dari pendudukan Israel. Pada Mei 2024, Irlandia, Norwegia, dan Spanyol secara terkoordinasi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, diikuti oleh Slovenia pada Juni 2024 (Euronews, 2025).
Momentum ini mencapai puncaknya pada September 2025 ketika negara-negara besar termasuk Prancis, Inggris Raya, Kanada, Australia, Portugal, Belgia, Luksemburg, dan Malta secara resmi mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB ke-80, sehingga total pengakuan mencapai 156 dari 193 negara anggota PBB (Le Monde, 2025).
Pengakuan dari negara-negara Eropa Barat dan anggota G7 ini merupakan terobosan signifikan, mengingat selama ini mereka cenderung menahan diri untuk mengakui Palestina tanpa persetujuan Israel dan Amerika Serikat (Crisis Group, 2025). Namun, pengakuan diplomatik semata tidak secara otomatis menghasilkan kedaulatan teritorial yang efektif, sehingga Palestina perlu merumuskan strategi komprehensif untuk mentransformasikan pengakuan simbolik menjadi kemerdekaan substantif.
Transformasi Pengakuan Diplomatik Menjadi Kekuatan Politik
Pengakuan internasional terhadap negara Palestina membuka peluang strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam lanskap diplomatik global. Pengakuan dari negara-negara Eropa Barat, khususnya Prancis sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan negara G7 pertama yang mengakui Palestina, secara fundamental mengubah narasi politik internasional tentang konflik Israel-Palestina (Council on Foreign Relations, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan harus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi Otoritas Palestina sebagai representasi sah rakyat Palestina, meskipun terdapat kelemahan struktural internal (Carnegie Endowment, 2025). Pengakuan diplomatik juga membuka akses yang lebih luas bagi Palestina untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional khusus dan memperkuat upaya akuntabilitas hukum terhadap Israel melalui Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional, meskipun prospek ini sangat bergantung pada keseimbangan kekuatan dalam institusi-institusi internasional tersebut (Carnegie Endowment, 2025).
Strategi pemanfaatan pengakuan internasional harus berorientasi pada penciptaan fakta politik di lapangan melalui penguatan institusi-institusi negara Palestina. Otoritas Palestina perlu mempercepat reformasi internal untuk meningkatkan legitimasi domestik dan kapasitas tata kelola, mengingat krisis legitimasi yang dihadapinya akibat tidak adanya pemilihan umum sejak 2006 dan perpecahan dengan Hamas (Conversation, 2025). Perdana Menteri Mohammad Mustafa menekankan bahwa Otoritas Palestina telah memulai reformasi dan bahwa tata kelola yang efektif serta tindakan nyata lebih penting daripada pengaturan sementara internasional (Reuters, 2025). Reformasi ini mencakup demokratisasi institusi, peningkatan transparansi fiskal, penguatan supremasi hukum, dan pembangunan kapasitas administratif untuk membuktikan bahwa Palestina siap menjadi negara yang fungsional dan demokratis. Tabel berikut merangkum prioritas strategis Palestina dalam memanfaatkan pengakuan internasional:
Tabel 1. Prioritas Strategis Palestina Pasca Pengakuan Internasional
| Dimensi Strategi | Tujuan Utama | Langkah Implementasi | Tantangan |
| Diplomasi Multilateral | Memperkuat status kenegaraan di PBB dan organisasi internasional | Mengaktifkan keanggotaan penuh di badan-badan PBB khusus; meningkatkan kehadiran diplomatik global | Veto AS di Dewan Keamanan PBB; resistensi Israel terhadap partisipasi Palestina |
| Akuntabilitas Hukum | Menuntut pertanggungjawaban Israel atas pelanggaran hukum internasional | Mengajukan kasus ke ICC dan ICJ; memanfaatkan status negara untuk yurisdiksi teritorial | Keterbatasan penegakan keputusan internasional; tekanan politik dari negara-negara pendukung Israel |
| Reformasi Institusional | Meningkatkan legitimasi dan kapasitas tata kelola Otoritas Palestina | Menyelenggarakan pemilu demokratis; reformasi sektor keamanan; peningkatan transparansi fiskal | Perpecahan Fatah-Hamas; keterbatasan kontrol teritorial; resistensi elit politik terhadap perubahan |
| Pembangunan Ekonomi | Mengurangi ketergantungan pada bantuan asing dan membangun ekonomi yang berdaulat | Diversifikasi ekonomi; pengembangan infrastruktur; pembangunan zona ekonomi | Pembatasan pergerakan oleh Israel; fragmentasi teritorial; keterbatasan akses sumber daya |
| Persatuan Nasional | Mengakhiri perpecahan internal dan menciptakan front politik terpadu | Rekonsiliasi Fatah-Hamas; pembentukan pemerintahan persatuan nasional; integrasi faksi-faksi perlawanan | Perbedaan ideologis mendalam; kepentingan politik berbeda; pengaruh eksternal regional |
Pengakuan internasional juga memberikan Palestina leverage diplomatik yang lebih kuat dalam negosiasi masa depan dengan Israel. Keputusan negara-negara seperti Inggris, Kanada, dan Australia untuk mengakui Palestina meskipun dengan kondisi tertentu seperti demiliterisasi, pengembalian sandera Hamas, dan eksklusi Hamas dari struktur pemerintahan menunjukkan bahwa pengakuan tidak bersifat tanpa syarat (Council on Foreign Relations, 2025). Palestina harus menavigasi kondisi-kondisi ini dengan hati-hati, memastikan bahwa prasyarat tersebut tidak mengorbankan kedaulatan esensial atau hak-hak fundamental rakyat Palestina. Strategi yang bijaksana adalah menggunakan pengakuan sebagai insentif untuk reformasi internal yang memang diperlukan untuk membangun negara yang fungsional, sambil menolak prasyarat yang dapat melemahkan posisi negosiasi Palestina atau mengabadikan dominasi Israel.
Mengatasi Perpecahan Internal dan Membangun Persatuan Nasional
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Palestina dalam merealisasikan kenegaraan penuh adalah perpecahan internal antara Fatah yang menguasai Tepi Barat dan Hamas yang mengendalikan Gaza sejak 2007. Perpecahan ini tidak hanya bersifat politik tetapi juga ideologis dan sosial, yang menghambat penyatuan wilayah Palestina dan penciptaan kerangka politik yang mencakup semua faksi serta mematuhi prinsip-prinsip fundamental pembentukan negara (Future UAE, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan internasional harus memprioritaskan rekonsiliasi nasional dan pembentukan pemerintahan persatuan sebagai prasyarat untuk transformasi Otoritas Palestina menjadi negara yang berdaulat dan fungsional. Tanpa persatuan internal, pengakuan internasional akan tetap bersifat simbolik dan tidak dapat diterjemahkan menjadi kedaulatan efektif di lapangan.
Proses rekonsiliasi Fatah-Hamas menghadapi hambatan struktural yang kompleks. Hamas, sebagai gerakan perlawanan Islam yang menolak pengakuan terhadap Israel, memiliki agenda politik dan ideologi yang berbeda fundamental dengan Fatah yang telah mengadopsi pendekatan negosiasi dan kompromi melalui Perjanjian Oslo (MJSS, 2016). Prinsip dasar Hamas dalam hubungan luar negeri adalah keterbukaan terhadap semua negara, partai politik, dan organisasi internasional kecuali Israel, dengan penekanan pada kepentingan publik rakyat Palestina (MJSS, 2016). Namun, kondisi yang ditetapkan oleh banyak negara yang baru mengakui Palestina, khususnya pengembalian sandera dan eksklusi Hamas dari pemerintahan Gaza, menciptakan tekanan eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kompromi politik. Prancis, misalnya, menetapkan bahwa hubungan diplomatik penuh hanya akan terjadi setelah Hamas mengembalikan semua sandera Israel dan Hamas tidak boleh memiliki bentuk kontrol apapun di dalam atau di luar Gaza (EU News, 2025).
Strategi rekonsiliasi yang realistis harus mengakui bahwa basis dukungan domestik Hamas di Gaza dan legitimasi perlawanannya terhadap pendudukan Israel tidak dapat diabaikan dalam rumusan politik Palestina yang inklusif. Survei menunjukkan bahwa antara 40 hingga 60 persen rakyat Palestina menginginkan negara sendiri, dengan peningkatan signifikan setelah bertahun-tahun dukungan menurun, yang menunjukkan bahwa gagasan kenegaraan menawarkan rasa keamanan di saat banyak Palestina merasa berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya (Crisis Group, 2025). Otoritas Palestina harus memanfaatkan aspirasi ini untuk membangun konsensus nasional yang melampaui perpecahan faktional. Proposal yang diadvokasi oleh Arab Saudi dan Prancis menekankan peran sentral Otoritas Palestina yang telah direformasi dan terpilih secara demokratis dalam pemerintahan Gaza, menggantikan Hamas dalam administrasi Jalur Gaza (EU News, 2025). Implementasi proposal ini memerlukan kompromi dari semua pihak: Hamas harus bersedia melepaskan kontrol eksklusif atas Gaza dan berpartisipasi dalam struktur politik demokratis, sementara Fatah harus mengakui legitimasi partisipasi politik Hamas dalam kerangka demokratis.
Pembentukan pemerintahan persatuan nasional yang inklusif juga memerlukan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil untuk Dewan Legislatif Palestina dan kepresidenan, yang tidak dilakukan sejak 2006. Pemilu demokratis akan memberikan legitimasi yang diperbaharui kepada kepemimpinan Palestina dan menciptakan mandat yang kuat untuk negosiasi dengan Israel dan pengejaran kenegaraan penuh. Namun, penyelenggaraan pemilu di bawah pendudukan militer Israel menghadapi tantangan praktis yang signifikan, termasuk pembatasan kampanye politik, penangkapan kandidat dan aktivis, dan ketidakmampuan Palestina di Yerusalem Timur untuk berpartisipasi secara penuh (Conversation, 2025). Israel historis telah menolak memberikan Otoritas Palestina kontrol administratif atas Palestina di Yerusalem Timur, yang seharusnya diatasi setelah periode lima tahun negosiasi tentang isu-isu status akhir termasuk Yerusalem, pemukiman Israel, perbatasan, pengungsi, dan keamanan (Conversation, 2025). Strategi Palestina harus menggunakan tekanan diplomatik internasional, khususnya dari negara-negara yang baru mengakui Palestina, untuk memaksa Israel mengizinkan proses elektoral yang inklusif dan bebas di semua wilayah Palestina termasuk Yerusalem Timur.
Membangun Kedaulatan Teritorial di Tengah Fragmentasi
Tantangan fundamental dalam realisasi kenegaraan Palestina adalah fragmentasi teritorial yang diakibatkan oleh ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat, khususnya di Area C yang mencakup sekitar 60 persen Tepi Barat dan berada di bawah kontrol penuh Israel. Pemukiman Israel telah menciptakan patchwork kantong-kantong Palestina yang terisolasi, yang dibandingkan dengan Bantustan era apartheid Afrika Selatan, dan membuat kontinuitas teritorial yang merupakan aspek fundamental dari kenegaraan menjadi hampir mustahil (GEODI, 2025). Operasi militer Israel yang berkelanjutan dan kekerasan pemukim semakin memperburuk ketegangan dan merusak prospek perdamaian (GEODI, 2025). Strategi Palestina pasca pengakuan internasional harus fokus pada pembalikan dinamika kolonial ini melalui kombinasi tekanan diplomatik, akuntabilitas hukum internasional, dan pembangunan fakta di lapangan yang mengkonsolidasikan kehadiran Palestina di wilayah-wilayah kritis.
Pengakuan internasional memberikan Palestina instrumen hukum yang lebih kuat untuk menantang legalitas pemukiman Israel dan aneksasi teritorial. Sebagai negara yang diakui, Palestina memiliki hak untuk menuntut kedaulatan atas wilayah teritorial dan ruang udaranya sebagai negara berdaulat yang diakui PBB, dan memberikan rakyat Palestina hak untuk menuntut kedaulatan atas wilayah mereka di Mahkamah Internasional dan mengajukan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, termasuk pendudukan ilegal atas wilayah negara Palestina, terhadap Israel di ICC (Wikipedia, 2025). Pada Desember 2014, ICC mengakui Palestina sebagai negara tanpa prasangka terhadap penentuan yudisial masa depan tentang isu kenegaraan (Wikipedia, 2025). Strategi litigasi internasional harus diperkuat dengan dokumentasi sistematis pelanggaran hukum internasional oleh Israel, termasuk kejahatan perang, transfer paksa populasi sipil, penghancuran properti, dan pembangunan pemukiman ilegal di wilayah yang diduduki.
Secara paralel dengan upaya hukum internasional, Palestina harus mengintensifkan diplomasi untuk mengamankan sanksi internasional terhadap Israel atas pelanggaran hukum internasional dan penolakan untuk mengakhiri pendudukan. Komisi Eropa telah mengusulkan sanksi terhadap Israel, dan dengan meningkatnya jumlah negara anggota Uni Eropa yang mengakui Palestina dari 12 menjadi potensi 17 negara, keseimbangan politik di tingkat Uni Eropa berubah untuk mendukung langkah-langkah yang lebih tegas terhadap kebijakan Israel (EU News, 2025). Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan kepala diplomat Uni Eropa Kaja Kallas menyebut penderitaan di Gaza sebagai tidak tertahankan dan tidak dapat dipertahankan (Euronews, 2025). Palestina harus memanfaatkan momentum politik ini untuk mendorong Uni Eropa mengadopsi sanksi ekonomi yang terukur terhadap Israel, termasuk penangguhan perjanjian asosiasi EU-Israel, embargo senjata, dan larangan impor produk dari pemukiman ilegal.
Di lapangan, strategi Palestina harus fokus pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi di Area C dan Yerusalem Timur untuk mengkonsolidasikan kehadiran Palestina dan mencegah ekspansi lebih lanjut pemukiman Israel. Ini termasuk pembangunan perumahan, sekolah, klinik kesehatan, dan infrastruktur dasar lainnya untuk komunitas Palestina yang menghadapi tekanan demografis dan ekonomi dari pemukiman Israel. Meskipun Israel memberlakukan pembatasan ketat pada pembangunan Palestina di Area C, pengakuan internasional memberikan Palestina argumen hukum dan politik yang lebih kuat untuk menantang pembatasan ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara yang diakui. Koordinasi dengan donor internasional untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di wilayah-wilayah yang diperebutkan juga krusial untuk menciptakan fakta di lapangan yang mendukung klaim kedaulatan Palestina.
Strategi Ekonomi untuk Kedaulatan yang Berkelanjutan
Kedaulatan politik Palestina tidak akan berkelanjutan tanpa kedaulatan ekonomi yang memungkinkan negara untuk membiayai fungsi-fungsi dasarnya dan menyediakan layanan kepada warganya tanpa ketergantungan yang berlebihan pada bantuan asing. Otoritas Palestina saat ini sangat bergantung pada bantuan internasional untuk membiayai operasinya, dan penelitian menunjukkan bahwa bantuan asing sering kali bertujuan mengakhiri perjuangan Palestina melawan pendudukan dan mendorong massa dan institusi Palestina untuk mendepolitisasi agenda mereka dan meninggalkan tujuan nasional (Granthaalayah, 2020). Bantuan asing tidak memiliki masalah dengan kelanjutan pendudukan Israel atau bahwa Palestina tidak pernah memiliki negara yang berdaulat; yang terpenting bagi donor sejak dimulainya proses perdamaian adalah menjaga keamanan Israel dan mempertahankan otoritas Palestina yang terbatas tanpa kapasitas untuk menimbulkan ancaman terhadap Israel (Granthaalayah, 2020). Strategi ekonomi Palestina pasca pengakuan harus fokus pada pembangunan ekonomi yang berdaulat dan berkelanjutan yang mengurangi ketergantungan pada bantuan yang bersifat politis.
Diversifikasi ekonomi adalah prioritas utama untuk mengurangi kerentanan ekonomi Palestina dan menciptakan sumber pendapatan yang stabil. Ekonomi Palestina saat ini sangat bergantung pada sektor jasa dan pekerjaan di Israel, yang membuat Palestina rentan terhadap pembatasan pergerakan dan kebijakan ekonomi Israel. Pengembangan sektor manufaktur, pertanian modern, teknologi informasi, dan pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja domestik dan mengurangi ketergantungan pada Israel. Namun, pembangunan ekonomi menghadapi hambatan struktural yang signifikan termasuk pembatasan pergerakan barang dan orang oleh Israel, fragmentasi teritorial yang menghambat integrasi ekonomi antara Tepi Barat dan Gaza, dan keterbatasan akses ke sumber daya alam termasuk air dan tanah subur di Area C.
Strategi untuk mengatasi hambatan ini meliputi negosiasi dengan Israel untuk perjanjian ekonomi yang lebih adil yang memberikan Palestina kontrol lebih besar atas perbatasan, perdagangan, dan sumber daya alamnya. Protokol Ekonomi Paris 1994 yang mengatur hubungan ekonomi Israel-Palestina telah dikritik karena menciptakan ketergantungan asimetris yang menguntungkan Israel dan membatasi kemampuan Palestina untuk mengembangkan kebijakan ekonomi independen. Revisi atau penggantian protokol ini harus menjadi prioritas dalam negosiasi masa depan, dengan tujuan memberikan Palestina kedaulatan penuh atas kebijakan perdagangan, fiskal, dan moneternya. Pengakuan internasional juga membuka peluang untuk Palestina mengakses pasar internasional secara lebih langsung dan mengembangkan hubungan perdagangan bilateral dengan negara-negara yang mengakui kedaulatannya, mengurangi peran Israel sebagai perantara ekonomi yang dominan.
Investasi dalam infrastruktur ekonomi juga krusial untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ini termasuk pembangunan pelabuhan laut di Gaza yang akan memberikan Palestina akses langsung ke perdagangan internasional tanpa melalui Israel, pengembangan bandara internasional, modernisasi infrastruktur energi untuk mengurangi ketergantungan pada listrik Israel, dan pembangunan zona ekonomi khusus yang menarik investasi asing. Donor internasional dan negara-negara yang mengakui Palestina harus diminta untuk memberikan dukungan teknis dan finansial untuk proyek-proyek infrastruktur strategis ini sebagai bagian dari komitmen mereka terhadap kenegaraan Palestina yang viable. Tabel berikut merangkum tantangan ekonomi utama dan strategi untuk mengatasinya:
Tabel 2. Tantangan Ekonomi dan Strategi Pembangunan Kedaulatan Ekonomi Palestina
| Tantangan Ekonomi | Dampak terhadap Kedaulatan | Strategi Mitigasi | Aktor Pendukung |
| Ketergantungan pada bantuan asing | Keterbatasan otonomi kebijakan; kerentanan terhadap tekanan politik donor | Diversifikasi sumber pendapatan domestik; reformasi fiskal; pengembangan sektor produktif | Negara-negara pengakui Palestina; organisasi pembangunan internasional |
| Pembatasan pergerakan dan akses oleh Israel | Fragmentasi ekonomi; biaya transaksi tinggi; keterbatasan akses pasar | Negosiasi perjanjian ekonomi yang lebih adil; pembangunan infrastruktur konektivitas internal | Mediator internasional; Uni Eropa sebagai fasilitator |
| Fragmentasi teritorial Tepi Barat-Gaza | Ketidakmampuan menciptakan pasar internal terintegrasi; duplikasi infrastruktur | Pembangunan koridor fisik menghubungkan Gaza-Tepi Barat; harmonisasi regulasi ekonomi | Dukungan internasional untuk infrastruktur; koordinasi Otoritas Palestina-Hamas |
| Keterbatasan akses sumber daya (air, tanah, energi) | Hambatan pengembangan pertanian dan industri; ketergantungan pada impor | Penguatan hak kedaulatan atas sumber daya alam; investasi dalam teknologi efisiensi sumber daya | Dukungan hukum internasional; bantuan teknis untuk manajemen sumber daya |
| Protokol Ekonomi Paris yang asimetris | Keterbatasan otonomi kebijakan perdagangan, fiskal, dan moneter | Renegosiasi atau penggantian protokol; pengembangan kebijakan ekonomi independen | Negara-negara yang mengakui Palestina sebagai pendukung negosiasi |
| Keterbatasan akses pasar internasional | Ketergantungan pada Israel sebagai perantara; keterbatasan diversifikasi ekspor | Pembangunan pelabuhan dan bandara; pengembangan perjanjian perdagangan bilateral | Negara-negara pengakui sebagai mitra dagang; organisasi perdagangan internasional |
Memanfaatkan Momentum Internasional untuk Solusi Dua Negara
Gelombang pengakuan internasional terhadap Palestina pada 2024-2025 sebagian besar didorong oleh komitmen untuk menghidupkan kembali solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan keluar yang viable dari konflik Israel-Palestina. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bahwa di tengah meningkatnya kengerian di Timur Tengah, Inggris bertindak untuk menjaga kemungkinan perdamaian dan solusi dua negara yang berarti Israel yang aman dan terjamin bersama dengan negara Palestina yang viable, dan saat ini tidak ada yang satu atau yang lain (EU News, 2025). Namun, prospek solusi dua negara menghadapi tantangan yang sangat besar dari pemerintahan sayap kanan Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu yang secara eksplisit menolak pembentukan negara Palestina dalam bentuk apapun dan berkomitmen pada visi Israel Raya yang mencakup seluruh Palestina historis (Richard Falk, 2025).
Netanyahu menandakan melalui serangan Doha pada 13 September yang berusaha membunuh tim negosiasi Hamas bahwa prioritas Israel tetap pada pemusnahan Hamas sebagai sumber perlawanan, mendiskreditkan Otoritas Palestina sebagai tidak mampu menjadi mitra perdamaian, dan komitmen yang tidak tergoyahkan terhadap Israel Raya yang mengimplikasikan penolakan terhadap bentuk kenegaraan Palestina apapun, betapapun terbatasnya (Richard Falk, 2025). Dalam konteks ini, strategi Palestina tidak dapat mengandalkan kesediaan Israel untuk bernegosiasi dengan itikad baik atau menerima solusi dua negara melalui kompromi bilateral. Sebaliknya, Palestina harus memanfaatkan tekanan internasional yang meningkat pada Israel untuk mengubah kalkulasi cost-benefit kebijakan penolakan Israel terhadap kenegaraan Palestina.
Strategi ini memerlukan koordinasi yang erat dengan negara-negara yang baru mengakui Palestina untuk memastikan bahwa pengakuan bukan hanya gestur diplomatik satu kali tetapi komitmen berkelanjutan untuk tindakan konkret yang mendukung realisasi kenegaraan Palestina. Crisis Group menekankan bahwa para pembuat kebijakan perlu bergulat dengan bagaimana membuat kenegaraan menjadi kendaraan yang efektif untuk hak, keamanan, dan penentuan nasib sendiri Palestina, bukan tujuan itu sendiri; agar pengakuan memiliki dampak apapun, itu harus menjadi komitmen berkelanjutan untuk bertindak, bukan gestur diplomatik satu kali, dan para pemimpin dunia harus berjanji untuk melakukan langkah-langkah spesifik yang akan memiliki efek langsung dan nyata (Crisis Group, 2025). Langkah-langkah konkret ini dapat mencakup sanksi ekonomi bertarget terhadap pemukiman Israel dan pemukim yang terlibat dalam kekerasan, embargo senjata terhadap Israel selama melanjutkan pendudukan, penangguhan perjanjian perdagangan preferensial dengan Israel, dan dukungan aktif untuk yurisdiksi ICC dan ICJ atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Palestina.
Palestina juga harus memperkuat aliansi dengan negara-negara berkembang dan gerakan solidaritas global yang mendukung perjuangan pembebasan Palestina. Pengalaman Amerika Selatan dalam pengakuan diplomatik negara Palestina menunjukkan bahwa solidaritas Selatan-Selatan dapat menjadi kekuatan yang kuat dalam mengubah norma-norma internasional tentang konflik (Social Science Journal, 2016). Semua negara Amerika Selatan kecuali satu telah memberikan beberapa bentuk pengakuan diplomatik kepada Palestina sebagai isu sentral Konvensi Montevideo tentang Kenegaraan (Social Science Journal, 2016). Memperkuat hubungan dengan BRICS, Gerakan Non-Blok, Organisasi Kerjasama Islam, dan Liga Arab dapat memberikan Palestina dukungan diplomatik, ekonomi, dan politik yang lebih luas untuk mengimbangi dukungan yang diberikan negara-negara Barat kepada Israel.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina oleh lebih dari 150 negara, termasuk negara-negara Eropa Barat dan anggota G7, merupakan pencapaian diplomatik yang signifikan yang membuka peluang strategis baru untuk mewujudkan kemerdekaan penuh. Namun, pengakuan diplomatik semata tidak cukup untuk mengakhiri pendudukan Israel atau menciptakan negara Palestina yang berdaulat dan fungsional di lapangan. Strategi Palestina pasca pengakuan harus komprehensif dan multi-dimensi, mencakup penguatan institusi domestik melalui reformasi dan demokratisasi, pencapaian persatuan nasional dengan mengakhiri perpecahan Fatah-Hamas, pembangunan kedaulatan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan asing, pemanfaatan instrumen hukum internasional untuk menantang legalitas pendudukan dan pemukiman Israel, mobilisasi tekanan diplomatik internasional untuk sanksi terhadap pelanggaran Israel, dan konsolidasi kehadiran fisik Palestina di wilayah-wilayah yang diperebutkan melalui pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi.
Keberhasilan strategi ini bergantung pada kemampuan kepemimpinan Palestina untuk mengatasi perpecahan internal, meningkatkan legitimasi domestik melalui proses demokratis, dan membangun aliansi internasional yang luas yang berkomitmen tidak hanya pada pengakuan simbolik tetapi pada tindakan konkret yang mendukung realisasi kedaulatan Palestina. Pengakuan internasional harus ditransformasikan dari gestur diplomatik menjadi komitmen berkelanjutan untuk aksi yang menciptakan biaya nyata bagi kelanjutan pendudukan Israel dan memberikan dukungan material untuk pembangunan negara Palestina yang viable. Hanya dengan strategi yang koheren dan komprehensif yang menggabungkan tekanan internasional, reformasi internal, persatuan nasional, dan pembangunan ekonomi, pengakuan internasional dapat diterjemahkan menjadi kemerdekaan substantif dan kedaulatan penuh bagi rakyat Palestina.
DAFTAR PUSTAKA
Carnegie Endowment. (2025). Palestine, the wave of Western recognition, and a global system in flux. Carnegie Endowment for International Peace.
Council on Foreign Relations. (2025). The quest for Palestinian statehood: What to know. CFR.
Crisis Group. (2025). Can the world make recognition of Palestine’s statehood matter? International Crisis Group.
EU News. (2025). France and four other EU countries ready, states that recognise Palestine almost 160. EU News.
Euronews. (2025). Which EU countries recognise Palestine amid France’s decision? Euronews.
Future UAE. (2025). Implementing the two-state solution: Prospects and challenges after the Gaza war. Future for Advanced Research and Studies.
GEODI. (2025). Assessing the two-state solution: Feasibility, challenges and alternatives. GEODI International Relations.
Granthaalayah. (2020). Palestinian perspectives on foreign aid. International Journal of Research.
Le Monde. (2025). Map: The countries that recognize a Palestinian state. Le Monde.
MJSS. (2016). Exploring the key principles of Hamas foreign relations. Mediterranean Journal of Social Sciences.
Reuters. (2025). Palestinian Authority plans for major role in post-war Gaza despite US blueprint. Reuters.
Richard Falk. (2025). Palestinian statehood and the winding road to Palestinian self-determination. Richard Falk Official Website.
Social Science Journal. (2016). Diplomatic dominos: South America and the recognition of Palestine. Social Science Journal.
The Conversation. (2025). The Palestinian Authority is facing a legitimacy crisis: Can it be reformed to govern a Palestinian state? The Conversation.
Wikipedia. (2025). International recognition of Palestine. Wikipedia.